Wisata Malam di Kota Tua Jakarta

Agustus 08, 2010

If you visit Jakarta, don't forget to visit The Old City of Jakarta. Nice place to take pictures and learn history.

Hanya omongan iseng bareng teman-teman SMA, tiba-tiba salah satu di antara kami berkata, "Wisata ke kota tua, yuk." Saya pengen. Tapi, kadang kalau membayangkan jarak tempuh, kayaknya jauh banget. Acaranya pasti dimulai pas pagi-pagi. Males sekali. Namun, teman saya ini bilang, "Kita pergi pas wisata malamnya aja." Lho? Ada toh? Ternyata ada!


Perjalanan tentu dimulai dari rumah saya. Saat nunggu teman di HI, hujan turun seperti dituang-tuang (rain was pouring down). Kelar nunggu teman saya yang lama banget, kami segera menuju ke Museum Mandiri di depan Stasiun Kota. Tiba di sana pas Maghrib. Untung masih ditunggu oleh panitia yang ternyata sobatnya teman saya. Yang jadi tour guide namanya Bambang yang ternyata seangkatan dengan saya waktu S1 dan satu fakultas, cuma beda jurusan.


Saat itu, kami berada di lobi utamanya. Di situ, mirip sekali dengan bank model dulu yang tellernya masih dijagain oleh terali kayu. Di tempat ini, saya registrasi ulang: menyerahkan bukti transfer dan dikasih pin serta buku panduang Kota Tua. Di sinilah kami diberi tahu sebagai kelompok terakhir dari wisata malam ini.

Memang, wisata malam rada-rada serem karena suasana mendukung begitu. Gedung Museum Mandiri sendiri sudah berusia sangatlah tua. Dulu, museum ini adalah bangunan bekas Bank Exim yang menjadi aset Bank Mandiri saat ini (masih inget, kan, kalau banyak bank merger menjadi Bank Mandiri?). Sebelum Bank Exim, gedung museum itu adalah bekas tempat Factorij Nederlansche Handel Maatshappij yang dibangun pada 1929. Jadi, ada beberapa sudut yang isinya patung-patung bule sedang bertransaksi dengan gaya zaman dulu.


Di museum ini, juga ditampilkan peralatan perbankan, mulai dari mesin ketik, mesin penghitung uang, sampai telepon. Yang jelas, yang ditampilkan tentu kuno dibanding sekarang. Ada satu ruangan yang konon tempat juru ketik bekerja. Ada pula ruang lemari arsip yang pintunya dibuat dari lempengan kuningan yang diukir dengan lambang dewa-dewa Yunani (saya lupa namanya siapa hehehe).


Ada satu meja tempat rapat yang bentuknya melingkar mirip dengan meja di perundingan Linggar Jati. Tapi, konon, itu bukan meja aslinya karena meja aslinya ukurannya lebih kecil dan lebih klimis dibanding yang dipajang. Di bawah meja ini, berdasarkan omongan tour guide, ada denah Candi Borobudur. Ada ruangan lagi--mungkin ruang rapat juga--yang menampilkan relief cerita Ramayana.


Ruangan selanjutnya, katanya sih ada lift yang muat dua orang, tetapi saya terpaku dengan kursi yang sudah kopong busanya. Teman saya menyuruh saya duduk di sana. Tentunya, saya ogah karena takut kalau saya menduduki siapa gitu.


Langkah kami berlanjut ke ruang plakat. Mungkin, hasil tukaran cenderamata. Ada satu yang menarik di antara semua plakat dan berwarna. Ada plakat Bela Diri Tangan Kosong Merpati Putih. Ya, ampun, jadi inget masa SMA dulu ketika aktif-aktifnya ikut MP. Hehehe.


Berlanjut ke ruang pameran duit. Duit Indonesia dari zaman dulu dipajang di sini: koin dan kertas. Ada satu masa uang yang saya mengalaminya dan uangnya juga masih di simpan. Uang Rp 100 kertas yang warna merah.


Usai melewati ruangan-ruangan, saya dan rombongan diajak ke atap gedung Mandiri. Menuju tempat ini, saya melewati ruang karyawan yang menginap di sini. Lalu, melewati deretan ontel yang tertulis Museum Mandiri.


Sampai di atap, pemandangannya bagus. Melihat Kota Tua Jakarta pada malam hari. Apalagi, menuju terminal busway dan Stasiun Kota. Warna-warni cahaya lampu yang membuat malam terasa indah. Di atap ini, kami disuguhkan cemilan uli bakar yang empuk dan teh hangat.


Selesai di atap, kami diajak turun kembali untuk makan malam. Menunya ada telur rebus, tahu, perkedel, bihun, dan daging. Saking banyaknya, saya sampai tidak habis. Teman saya ada yang harus makan berdua. Saat makan-makan ini, kami juga diperlihatkan film dokumenter zaman dulu tentang Jakarta tempo dulu. Di sini, ada bintang tamu dari Belanda yang ahli dalam sejarah Kota Tua Jakarta. Namanya Nico. Yang mau belanja suvenir Kota Tua juga diperkenankan karena ada stan khusus yang menawarkan kaus-kaus, mug, dan pin yang berbau Kota Tua.

Setelah itu, kami diajak keluar untuk menjelajah Kota Tua. Penelusuran beberapa tempat pun dimulai. Yang pertama kami temui adalah Museum Bank Indonesia yang ada di sebelahnya yang--kalo enggak salah denger--bekas rumah sakit orang Cina zaman Belanda dulu. Kami juga melewati gerbang atau pintu masuk untuk ke gedung itu yang digunakan zaman dulu. Lalu, melewati gedung yang menjadi aset Bank Mandiri juga. Dulu, gedung ini namanya ada Chartered-nya juga, tetapi saya lupa lengkapnya. Hahaha. Yang jelas, bukan cikal bakal Standard Chartered Bank sekarang.


Perjalanan masih berlanjut di pinggir kali (namanya Kalibesar) yang malam Minggu itu banyak orang yang pacaran. Hehehe. Banyak gedung tua yang memang tidak dipakai lagi. Ada yang dipakai, tapi sudah beralih fungsi. Ada satu gedung yang dinamakan Toko Merah. Berdasarkan cerita tour guide, Toko Merah ini adalah bekas rumah seorang petinggi VOC yang mencetuskan pembunuhan terhadap orang Cina di Batavia. Dari jauh, rumah ini memang terlihat serem karena mirip rumah hantu. Nomor rumahnya 11. Kalau diperhatikan lebih mendetail--kata tour guide--rumah itu adalah rumah kembar karena posisinya sama. Ada dua pintu yang berdekatan dan jendela yang posisi dan jumlahnya sama. Ada satu diskotik di sini, namanya Athena, yang konon bekas kantor berita Belanda zaman dulu. Di bawah ini bukan foto diskotiknya, tapi bangunan Toko Merah. Gambarnya blur karena yang saya gemeteran. Hehehe.

Perjalanan berlanjut ke Jembatan Kota Intan. Jembatan ini adalah jembatan gantung yang bisa diangkat kalau ada kapal lewat. Satu-satunya jembatan yang tersisa dari zaman Belanda dulu. Berdasarkan informasi tour guide, jembatan ini adalah jembatang penghubung antara kekuasaan Inggris dan Belanda. Yang lewat sini dulunya harus punya paspor. *Yaelah, padahal tuh jembatan enggak panjang-panjang amat.

Lalu, kami kembali diajak menelusuri jalan untuk menuju daerah Museum Fatahillah yang dulunya adalah pusat kota. Di sini, kami masih melewati bangunan-bangunan tua yang berbaris di pinggir jalan. Sayang banget ada beberapa tidak terurus. Di sini, kami menuju bekas gedung penyimpanan rempah-rempah. Gedung ini gelap dan horor. Mirip dengan cerita di Dunia Lain. Sayang sekali karena sudah tidak terurus.


Selesai di sana, kami tiba di depan Museum Wayang yang dulunya adalah gereja/kapel. Di sini, ada makamnya JP Coen. Di lokasi ini pula, acara wisata malam selesai. Di sekitaran daerah ini sangatlah ramai oleh orang-orang yang bermalam minggu. Ada acara musik dan ada yang buka stan. Pedagang kaki lima? Itu mah jangan ditanya lagi. Ngambrak di mana-mana.

Di antara kelelahan kami karena berjalan kaki, teman saya berkata, "Aduh, gue enggak tahu, deh, sanggup apa enggak ikutan funbike besok. Capek banget!"

Teman saya yang lain menanggapi, "Gue juga, mana belum tidur. Kayaknya gue enggak ikutan."

Saya cuma ngangguk-ngangguk. Tadinya, masih semangat. Lama-lama, kaki kok pegel ya. Waduh, alamat tepar besok.

Besoknya, tak satu pun dari kami yang ikutan funbike terakhir sebelum bulan Ramadhan. *Padahal, sudah ngajak-ngajak orang. Hehehe.


*Pictures are private collection. Don't use them without permission.

You Might Also Like

1 komentar