Gaya Hidup Minimalis dan Zero Waste

Oktober 31, 2016


Minimalist

Too many people spend money they haven’t earned, to buy things they don’t want, to impress people they don’t like—Will Rogers.

Saya tahu mengenai konsep minimalis itu mungkin sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, sih, saya enggak sengaja nemu website yang bicara gaya hidup minimalis, seperti becomingminimalist dan bemorewithless. Tapi, pada saat itu, hanya membuka website-nya, cuma sekadar tahu. Nah, akhir-akhir ini, secara enggak sengaja, saya menemukan Lauren Singer yang menerapkan zero waste lifestyle. Dari dia, saya menemukan Bea Johnson yang bisa dibilang sebagai aktivis zero waste lifestyle. Lalu, muncullah beberapa orang yang juga menerapkan hidup zero waste. Dari situ, saya ingat bahwa saya pernah berkunjung ke situ gaya hidup minimalis ini.  

Seperti apa sih gaya hidup minimalis dan zero waste itu? Dua konsep yang sama atau berbeda? Menurut saya sih, minimalis dan zero waste itu konsep yang berbeda. Mereka hanya mirip.

Minimalis—sepanjang yang saya pahami—memegang prinsip untuk tidak memiliki banyak barang. Bukan karena mereka enggak mampu, tetapi karena mereka sadar bahwa memiliki banyak barang itu tidak membuat mereka bahagia. Mereka bukan penimbun dan pantang untuk menjadi penimbun. Prinsipnya sih, mereka mempunyai sedikit barang supaya bisa melakukan banyak hal. Simple life.

Zero waste ini tidak berprinsip untuk memiliki sedikit barang, tetapi lebih melihat dampak barang yang dimiliki terhadap bumi. Ecofriendly. Menurut Bea Johnson, zero waste lifestyle itu seharusnya berprinsip 5R: refuse, reduce, reuse, recycle, rot (and only in that order). Gaya hidup zero waste ini pantang banget sama yang namanya plastik dan barang sekali pakai. Mereka lebih memilih untuk menggunakan barang-barang yang ramah lingkungan sehingga membantu bumi untuk lebih baik. Karena zero waste ini selalu melihat dampaknya kepada bumi, tentunya mereka akan sangat hati-hati terhadap kepemilikan barang. Misalnya, mereka akan membawa reusable bag untuk belanja, gak pernah menggunakan kantong plastik dari penjual. Penggunaan reusable bag ini enggak hanya untuk kantong plastik untuk belanjaan, tapi termasuk juga kemasan alias packaging. Jadi, mereka menghindari barang-barang kemasan, entah itu plastik atau kertas. Nah, mereka akan beli barang-barang yang belum dikemas. Contohnya, terigu. Ya, mereka akan beli terigu kiloan/curah daripada terigu yang sudah dikemas. Begitu juga dengan kebutuhan mereka yang lainnya. Pakaian yang mereka miliki pun enggak selemari, mereka hanya punya sedikit pakaian yang bisa di-mix and match. Mereka pun pantang banget beli pakaian baru karena limbah industri pakaian setiap tahunnya banyak banget. Jadi, mereka akan beli pakaian bekas. Mereka akan terpaksa beli barang jika benar-benar udah enggak bisa digunakan lagi. Itu pun harus pilih-pilih. Ujung-ujungnya, ya mereka hanya sedikit memiliki barang, seperti minimalis.

Saya sih melihat kedua konsep tersebut seperti ini: minimalis belum tentu zero waste, tetapi zero waste itu sudah pasti minimalis.

Sampah yang tidak bisa diurai oleh alam

Kedua konsep ini sama-sama menarik karena membuat kita tidak menjadi konsumtif dan mengatur ulang barang-barang kita beserta hidup kita. Jujur, sih, saya tertarik menerapkan keduanya, tapi sepertinya lama untuk aksinya. Konsep utama yang dilakukan biasanya menata ulang barang-barang kita. Misalnya, yang gak dipake, ya dipisahin untuk dijual atau disumbangkan. Yang sudah enggak layak dipakai, jangan terlalu lama disimpan. Mungkin, bisa digunakan untuk lap atau sesuatu. Barang yang sama pun harus disingkirkan karena manusia pada dasarnya selalu punya barang duplikat yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. (Itu saya banget :D). Misalnya punya polo t-shirt dengan banyak warna, pilihlah satu dari semua itu. Pilih yang paling sering dipakai, bukan dipilih karena bagus. Nah, ini yang paling susah saya terapkan. Kadang, kalau sudah nyaman dengan satu barang, saya akan punya satu atau dua duplikat. And, I should stop this habits. Nah, poin-poin ini merupakan sebagian kecil dari penerapan gaya hidup minimalis dan zero waste. Kayaknya sih masih ada beberapa poin yang perlu juga dibaca untuk yang mau menerapkan gaya hidup seperti ini.

Oh, ya, ada lagi konsep rapi-rapi ala Jepang yang diusung oleh Konmori alias Marie Kondo. Konsep dasar yang digunakan Konmori juga sama, yaitu menyingkirkan barang yang tidak perlu dan menyimpan barang yang masih perlu. Di sini, Konmori mengajarkan konsep spark joy: kita pegang barangnya, lalu dirasa-rasa apakah terasa getaran atau enggak. Kalau terasa getaran, berarti baju tersebut layak disimpan. Kalau enggak, silakan disingkirkan. Konmori juga mengajarkan cara melipat baju yang apik sehingga baju menjadi rapi dan enggak lecek. Konmori ini sudah menerbitkan dua buku (yang saya tahu yaa). Satu bukunya berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sudah diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Saya sudah beli, sih, tapi belum dibaca. Nanti saya akan ulas buku Konmori. Oh, ya, untuk panduan zero waste, Bea Johnson juga sudah menghasilkan satu buku judulnya Zero Waste Home, tapi belum ada terjemahannya.

Dari dua konsep ini, entah kenapa saya lebih tertarik dengan zero waste ya walau kesannya ekstrem banget. Mungkin, karena saya ingin memanfaatkan tempat makanan yang terdiam di rak hehehe. Tempat makan saya itu merek tupperware—plastik sih, tapi bisa masuk kategori reusable, bukan sekali pakai. Jadi, bisa berkali-kali digunakan. Begitu juga dengan tempat minum dan sendok. Untuk pengganti kantong plastik belanjaan, saya menggunakan canvas tote bag, tapi masih belum bisa untuk tidak membeli barang dengan kemasan :D.

Bea Johnson dengan trash can

Mengenai bagaimana menerapkannya, saya menemukan website zerowastenerd yang punya panduan langsung untuk menjadi zero waste. Website ini sangat membantu orang-orang yang tertarik dengan zero waste untuk menerapkan gaya hidup ini. Pemilik situsnya memberikan panduan selama 30 hari sebagai latihan awal untuk menjadi zero waste. Nah, untuk panduan menjadi minimalis, ada situs bemorewithless yang mempunyai project333. Saya belum pernah mencoba project333 ini, tapi berdasarkan testimoni orang-orang, project ini untuk panduan minimalist fashion. Di sini, pesertanya akan diminta mengumpulkan 33 item (atasan, bawahan, dan aksesori, termasuk sepatu) dari koleksi pakaian mereka. Nah, tantangannya, mereka akan memakai di antara 33 item itu selama jangka waktu tertentu. Project ini menarik dan kayaknya enggak susah untuk diterapkan, tinggal tunggu aksinya :D.

Di Indonesia, dua konsep ini sepertinya sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Di kompasiana, saya menemukan beberapa tulisan yang membahas dua konsep ini. Tulisan-tulisan yang sangat menarik. Kalau penasaran dengan tulisan-tulisannya, bisa langsung dicari di kompasiana. Di beberapa sosmed, saya juga menemukan akun-akun yang concern dengan zero waste lifestyle, misalnya ada akun zerowastenusantara di facebook atau zerowasteid di instagram.


Nah, mungkin, nanti saya akan bisa menjadi seorang minimalis yang juga ecofriendly (seperti zero waste) :D.

You Might Also Like

4 komentar