Mencicipi Makanan Korea untuk Pemula :D

Oktober 14, 2018

Ketika mengunjungi tempat yang latar belakang budayanya berbeda dengan kita, pasti deh ada kekhawatiran tertentu, salah satunya makanan. “Aduh, gue cocok gak ya dengan makanan di sana?” Itu pertanyaan yang sering saya utarakan untuk diri sendiri :D saat mengunjungi tempat baru yang benar-benar berbeda dengan kota lahir. Apa sebab? Kadang saya suka milih makanan antara yang saya doyan dan gak saya doyan, kecuali kalau lapar berat, semuanya dihajar aja dengan syarat dan ketentuan berlaku :D.

Agustus tahun ini, saya pertama kali berkunjung ke Korea Selatan bersama K-Poppers garis keras (silakan baca Annynghaseeoyo, Seoul-Busan!). Dan, yang diwanti-wanti oleh keluarga saya adalah “Makannya jangan sembarangan ya, dilihat-lihat dulu.” Sebagai muslim, yang selalu jadi menu utama tentunya kehalalan produk: tidak mengandung babi dan bebas dari alkohol. Untungnya saya jalan barengan sosok yang tahu banyak soal Korea dan makanannya, termasuk mana yang halal dan yang gak halal. Bahkan, sebelum berangkat, teman saya ini sudah mewanti-wanti untuk membawa saus sambal sendiri alias buatan Indonesia. Mengapa? Karena, saus sambal yang diproduksi di Korea hampir semua memasukkan unsur babi di dalamnya. Lagi pula saya bukan penggemar saus banget, jadi enggak terlalu kecewa ketika enggak boleh mencicip saus sambal dari sana. Maka itu, perjalanan selama di Korea cukup amanlah karena rajin banget teman saya ini membacakan komposisi makanan tiap kali saya menyodorkan snack yang akan dibeli :D.

Bagi pencinta kuliner, seperti teman satu trip saya, mencicipi makanan Korea adalah sebuah keharusan. Dia gak peduli dengan oleh-oleh asal bisa makan makanan Korea. Hasilnya, dia hampir aja gak beli oleh-oleh, kecuali lipstik. Dia juga yang pertama kali enggak mau diajakin makan KFC ketika dua tempat makan yang kami kunjungi entah mengapa tutup. Padahal, perut lapar banget dan jalan yang ditempuh rasanya jauh banget.

Di sekitaran Bukchon, ada rumah makan berlabel halal, tapi sayangnya tutup ketika kami ke sana.

Tibalah kami di sebuah rumah makan yang saya lupa apa namanya. Di situ, hampir semua teman satu trip memesan samgyetang yang saya enggak tahu makanan seperti apa. Menarik sih karena saya hampir enggak pernah mencicipi masakan Korea, kecuali sekali ditraktir teman di Ojju yang sering membuat saya keselip lidah menyebutnya Ujjo :D. Ketika datang, saya terkagum-kagum karena mirip ayam pop yang dikasih kuah.

Samgyetang di salah satu rumah makan di Bukchon

Sebelum saya memakan samgyetang, satu pertanyaan yang saya ajukan adalah di mana nasinya. Sudah saya intip-intip di bawah ayam, nasinya enggak ada, padahal ada tulisan nasi di daftar menu. Ternyata, nasinya ada di dalam ayam *ngakak terhadap diri sendiri*. Nasi yang disajikan itu bukan nasi biasa, tetapi nasi ketan yang padat dan bikin perut rasanya penuh. Tapi, karena abis jalan jauh, ketan yang padat itu enggak ada apa-apanya dibanding perut yang lapar minta diisi.

Rasa samgyetang ini bukanlah tipikal rasa masakan Indonesia yang kaya dengan bumbu. Ada rasa tentunya, tetapi kurang kuat. Makanya, biar agak lebih kuat berasa, bolak-balik saya kasih garam dan merica. Kalau kata teman sebelah, “Ini kurang mecin. Seharusnya tambah ro*c* baru mantep.”

Selain samgyetang, saya dan teman-teman juga diajak mencoba makanan di Mr. Dakgalbi. Sebenarnya, rumah makan ini juga ada di Jakarta, tetapi kayaknya kurang afdol kalau gak coba di sana dan cukup amanlah dicoba. Konsep rumah makannya kayak Ojju, yaitu makanan dimasak di meja kita. Dua kali kami makan di Mr. Dakgalbi. Pertama di Myeongdong dan kedua di sekitaran Nami Island. Mengapa dipilih makan siang di Mr. Dakgalbi ketika di Nami Island? Karena rumah makan Asia yang ada di Nami Island lagi tutup, makanya satu-satunya rumah makan yang aman adalah Mr. Dakgalbi. 



Mr. Dakgalbi di Myeongdong

Kami memilih menu yang berbeda antara Mr. Dakgalbi Myeongdong dan Nami Island. Di Myeongdong, makanan kami dimasakin, sedangkan di Nami Island kami masak sendiri. Karena menunya beda, rasanya pun berbeda. Kalau di Myeongdong, ada rasa-rasa rendangnya; sedangkan di Nami Islang, rasa makanan pada umumnya. Entah mengapa yang di Nami Island bumbunya tidak terlalu berasa di lidah saya. Lebih mantep ayam bakar buatan mbak di rumah :D. Oh ya, karena Korea Selatan sedang merayakan hari kemerdekaan, kami diberikan beberapa side dish, salah satunya sup bening dengan rumput laut di dalamnya, katanya sih begitu. Rasa supnya seperti apa? Standarlah :D.

Mr. Dakgalbi di sekitaran Nami Island
 
Sup bening dengan rumput laut persembahan Mr. Dakgalbi di sekitaran Nami Island

Menjelang sehari kepulangan kami ke Indonesia, tentunya kami berkunjung ke Itaewon. Di daerah ini, dikenal dengan keberadaan masjid yang terbesar di Seoul dan mungkin di Korea Selatan. Karena terdapat masjid, gak heran di sekitaran jalan menanjak menuju masjid terdapat banyak rumah makan halal—mulai dari makanan Asia Tenggara hingga makanan Timur Tengah. Bahkan, ada satu rumah makan yang menyediakan menu bakso, sayangnya rumah makannya tutup.

Masjid di Itaewon, Seoul

Kami melipir ke rumah makan halal pertama di Korea Selatan yang saya lupa namanya. Kami disambut oleh sang owner, perempuan Korea dewasa yang ramah banget. Kelihatan banget bahwa dia akrab dengan satu teman trip yang sering makan di sana kalau sedang ke Korea. Kata teman saya, dia senang makan di sini karena makanannya halal dan rasa Korea-nya lebih terasa.

Rumah makan halal di Itaewon yang saya lupa namanya :D

Bagian dalam rumah makan yang mungil

Menu di rumah makan ini macam-macam dan saya memilih daging bulgogi kuah yang konon rasanya mirip sop iga. Jujur, rasanya enak banget walau menurut saya enggak ada rasa sop iganya. Dagingnya juga empuk dan gak bikin nyangkut di gigi. Mungkin, ini karena dipotong tipis-tipis banget, mirip beef yakiniku/teriyaki Hokben.

Bulgogi halal

Selain menu utama, disajikan juga beberapa side dish di piring-piring kecil. Mungkin, ini ciri khasnya rumah makan di Korea yang selalu memberikan side dish. Yang selalu ada adalah kimchi. Namun, di rumah makan ini, side dish-nya lebih menarik karena masih dapat diterima oleh lidah saya. Bahkan, sang owner dengan baik hati berkata, “Kalau mau nambah, bilang aja, ya.” Karena ditawarin, ya kami pun nambah side dish, entah dia akan bilang kami lapar atau rakus :D.

Side dish di Mr. Dakgalbi Myeongdong

Side dish di rumah makan samgyetang, Bukchon. Lihat deh ada cabe gede banget dan rasanya mirip paprika.


Singgah di rumah makan-rumah makan seperti ini adalah salah satu cara mengisi ulang botol minum kami yang kosong. Mengapa? Karena air putih gratis dan boleh nambah sekaligus mengurangi pembelian air minum kemasan yang harganya sekitar 700—1000 won.

Namun, gak selamanya kami selalu melipir untuk mengisi perut di rumah makan. Kadang untuk mengejar waktu, kami harus memilih makanan praktis dan ekonomis. Misalnya, delivery makanan cepat saji ke hostel atau membeli onigiri di swalayan kecil, macam Alfamart atau Indomaret. Onigiri yang berbentuk segitiga ini lumayan membuat kenyang walau cara membukanya agak ribet dan kurang akrab.

Makanan lain yang patut dicoba tentunya street food alias jajanan di Korea. Gak banyak abang-abang gerobak berkeliaran di sana, kecuali di Myeongdong. Saya mencoba hanya dua makanan. Itu pun karena lapar banget dan nanya-nanya dulu sama si penjualnya isinya apa, kemudian ada pengakuan halal dari si penjual karena yang jual itu berwajah Asia Selatan. Sisanya enggak berani coba kalau enggak barengan ama teman yang ngerti, kecuali beli jus buah.

Salah satu jajanan di Myeongdong

Jajanan pertama yang saya coba itu berbentuk bulat-bulat yang diisi dengan udang atau kepiting berbalut mayonais. Rasanya kayak nugget: gurih dan enak. Tapi, karena digoreng, pastinya berminyak terutama di bibir. Harganya sekitar 5000 won dapet tiga atau empat buletan. Jajanan kedua sejatinya dibeli oleh teman saya, yaitu kebab versi Korea. Saya hanya mencicipi :D. Rasanya jauh berbeda dari kebab yang beredar di Indonesia dan tidak familiar di lidah saya. Untungnya, saya cuma mencicipi, jadi gak perlu menghabiskan.

Memang, rasa masakan Korea itu enggak sama untuk lidah orang Indonesia, terutama saya yang enggak pernah makan makanan Korea, kecuali di Ojju tadi. Namun, untuk beberapa hal bisalah ditoleransi dan enak-enak aja. Nah, karena Korea kebanyakan pendudukannya bukan muslim, mungkin banyak yang khawatir tingkat kehalalannya, begitu pun saya. Tapi, karena trip ini barengan dengan teman yang tahu Korea sekaligus makanannya, saya enggak khawatir banget. Palingan saya akan nanya dia mulu soal mana yang boleh dimakan dan mana yang gak boleh. Ditambah lagi, tiap kali makan, tentunya tidak lupa berdoa untuk memasrahkan diri soal makanan.

Nah, kalau masih enggak cocok juga sama makanan Korea, bolehlah bawa bekal sendiri, seperti teman saya yang siap sedia dengan mi instan, tempe orek, dan sambal terasi kering. Nasinya? Tinggal beli aja di swalayan kecil depan hostel yang tinggal dipanasin pake microwave ;p.

You Might Also Like

0 komentar