Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Catatan Sejarah Capt. R.P. Suyono
Juli 02, 2016
Saya penyuka sejarah, tetapi jarang banget membaca buku sejarah :D.
Ketika lagi mencari buku metode penelitian di perpustakaan bareng dengan teman
saya, tanpa sengaja saya terdampar di seksi rak sejarah dan ketemulah dengan
buku ini. Bukan karena judulnya saya tertarik, tetapi foto-foto yang
ditampilkan dalam buku ini membuat saya penasaran dengan isinya. Foto-fotonya
menarik antara foto beneran dan ada pula
yang berupa ilustrasi atau lukisan.
Buku ini ditulis oleh Capt. R. P. Suyono yang menurut biografi singkatnya
adalah pecinta sejarah. Ia membaca buku-buku dan catatan-catatan sejarah yang
terekam melalui berbagai sumber, entah itu berbahasa Indonesia, Inggris,
ataupun Belanda. Ia juga pelaku sejarah sehingga ia bisa menuturkan apa yang ia
alami pada masa penjajahan.
Kalau dari judulnya, saya paham banget bahwa yang namanya kolonial
memang sangat menindas. Gak pernah ada yang namanya pemerintahan kolonial yang
baik-baik sama daerah kolonialnya. Pasti deh selalu memeras daerah jajahannya.
Nah, hal-hal menindas itu yang sebenarnya mau diangkat oleh Suyono di buku ini.
Suyono menceritakan urutan kejadian mengapa Indonesia bisa dijajah oleh
Belanda selama beratus-ratus tahun dan Jepang selama beberapa tahun hingga
Jepang harus menyerah kepada sekutu. Tentunya hal itu bermula dari kedatangan
Belanda ke Indonesia. Dulu, di kelas sejarah, saya ingat pernah dijelaskan
bahwa memang motivasi Belanda datang ke Indonesia adalah rempah-rempah, tetapi
perdagangan rempah-rempah terhenti karena Romawi Timur dengan ibu kota Konstantinopel
berhasil direbut oleh Ottoman sehingga jalur perdagangan antara Eropa dan Asia
tertutup. Akibatnya, Belanda tidak lagi mendapatkan pasokan rempah-rempah dari
Asia. Karena penutupan itu, Belanda pun dipaksa menjelajahi tempat-tempat lain
yang menjadi produsen rempah-rempah.
Nah, kisah itu beda banget dengan yang ditulis Suyono. Menurut dia,
kedatangan Belanda ke Indonesia sebenarnya tidak dipicu oleh direbutnya
Konstantinopel, tetapi oleh musuh besar Belanda, yaitu Raja Philips II dari
Spanyol. Sepertinya, Belanda dulu kala masuk dalam kekuasaan Kerajaan Spanyol
dan Portugal sehingga disebut sebagai Provinsi Holland. Raja Philips memang
sengaja menerapkan strategi untuk menekan Provinsi Holland, yaitu melarang
pedagang Belanda untuk masuk ke pelabuhan Spanyol dan Portugal yang berakibat
mematikan perdagangan Belanda. Aturan ini bukan tanpa sebab karena diduga Belanda
membayar pemberontakan terhadap Spanyol. Makanya, Belanda pun melakukan
ekspedisi pelayaran untuk bisa menemukan rempah-rempah.
Belanda sebagai pendatang yang menginjakkan kaki di tanah air orang
lain sepertinya tidak mengenal peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung”. Ya, gak secara harfiah harus peribahasa itu, tapi setidaknya ada
peribahasa Belanda yang mirip-mirip kayak gitu—atau memang gak ada #eh. Nah, ketika
tiba di Indonesia terlihat banget sifat superior bangsa ini, merasa dirinya
lebih tinggi dibanding bangsa yang didatangi dan tentunya licik. Memang, tujuan
pertama mereka datang ke Indonesia adalah melakukan perdagangan di bawah
bendera VOC, tetapi lama-kelamaan malah berkeinginan untuk menguasai. Ada celah
sedikit aja, mereka tiba-tiba mengklaim telah menguasai daerah tertentu.
Yang menurut saya paling aneh dari pemikiran penjajah ini adalah
peristiwa Puputan Bali. Sekitar tahun 1906, tentara Hindia Belanda mendatangi
Bali. Alasannya, raja Badung dari Bali tidak bersedia membayar kerugian atas
perompakan sebuah kapal milik orang Cina yang kandas di pantai Bali. Di Bali,
ada yang namanya hak karang, yaitu hak untuk memiliki kapal, awak, serta
muatannya di pantai Bali apabila kapal itu kandas. Belanda menuduh Bali
mengambil kapal tersebut, tetapi Bali menolak tuduhan itu karena tidak ada
kapal yang kandas di perairan Bali dan jika ada, mereka memiliki hak karang
sehingga mereka tidak mau membayar kerugian yang dilimpahkan kepada mereka oleh
Belanda. Bukannya mengirim tim penyelidik untuk mencari kebenaran kapal yang
karam, Belanda malah melakukan blokade terhadap Bali dengan kapal-kapal
perangnya. Gara-gara blokade itu, utang raja-raja Bali pun semakin tinggi
karena biaya operasi dari kapal-kapal yang melakukan blokade dibebankan kepada
raja-raja. Lha, kok, bisa yang membayar biaya operasional blokade kapal adalah
kerajaan yang diblokade? Lha, siapa suruh main blokade daerah orang?
Sebenarnya, ini taktiknya Belanda yang ingin menguasai Bali. Memang, Bali pun
jatuh ke tangan Belanda, tapi perlawanan rakyatnya benar-benar mengiris hati
karena banyak yang tewas, termasuk raja.
Kisah lain yang dituturkan oleh Suyono adalah Snouck Hurgronje. Namanya
terkenal banget di kalangan akademisi Ilmu Budaya, termasuk saya karena saya
tahu sosok ini sebagai mata-mata Belanda. Hurgronje merupakan profesor yang
sebelumnya bekerja di Hindia Belanda yang mengkaji ilmu pengetauan, bahasa, dan
adat istiadat masyarakat nusantara. Ketika Belanda kelimpungan dengan Perang
Aceh yang sepertinya tidak ada titik terang perdamaian, muncullah sosok
Hurgronje yang menyelami dunia Aceh dengan berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat Aceh, salah satunya sisi religiositas masyarakat Aceh, yaitu Islam.
Ia rela pergi ke Makkah untuk berhaji dan mengaku sebagai ilmuwan muslim mualaf
yang mau menambah ilmu tentang Islam. Di Arab Saudi, Hurgronje sering
berbincang dengan orang-orang Aceh yang sedang berhaji mengenai kehidupan
masyarakat Aceh. Tidak hanya di Arab Saudi, di Aceh pun Hurgronje menelusuri
kehidupan masyarakatnya di daerah pedalaman. Di sini, terlihat peran ilmu
budaya itu berpengaruh banget dalam menaklukkan suatu bangsa. Walau menunggu
lama untuk melakukan penelitian budaya, hasil-hasil penelitian Hurgronje
dianggap penting oleh Belanda. Mungkin, Hurgronje merupakan contoh ilmuwan yang
berperan ganda sebagai mata-mata. Ngeri juga kalau ada banyak sosok seperti
Hurgronje, pura-pura mengaku agama tertentu hanya untuk menghancurkannya.
Suyono juga bertutur soal candu yang begitu populer pada masa Hindia
Belanda. Pada masa itu, tidak ada larangan soal dunia percanduan. Setiap orang
bisa menikmati candu asal ada uang. Bahkan, candu pun punya tempat khusus,
macam warung makan. Bisnis percanduan ini merupakan bisnis yang memiliki
keuntungan yang tinggi, terutama pemerintah Hindia Belanda yang diuntungkan
dengan candu sehingga mereka mengeluarkan regulasi untuk candu. Ada satu kisah
yang disampaikan Suyono perihal candu ini. Sekitar tahun 1905, Belanda
melakukan ekspedisi ke Bone, Sulawesi Selatan, karena raja di daerah tersebut kurang
memedulikan kekuasaan Belanda sehingga Belanda berhak menghukumnya. Namun,
ketika Belanda menembakkan meriam-meriamnya, prajurit Kerajaan Bone tidak
membalas sedikit pun. Bahkan, ketika mendarat, tidak ada perlawanan berarti
dari prajurit Bone sehingga dengan mudahnya Belanda mengibarkan benderanya di
benteng Bone. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Konon, ketika benteng Bone
diserang, para prajuritnya hanya duduk termenung dan memandang ke depan tanpa
ekspresi. Ini karena mereka seneng banget menghisap candu, makanya daya perang
mereka menjadi begitu mundur dan mudah sekali bagi Belanda untuk menangkap raja
Bone agar bisa diasingkan.
Kekerasan yang ditampilkan dalam buku ini juga meliputi pembantaian orang-orang
Cina di Batavia oleh Belanda. Nah, konon, saksi bisu dari pembantaian itu masih
berdiri di Kota Tua Jakarta, yaitu Toko Merah. Pembantaian tersebut dilakukan
selama tiga hari dengan korban sebanyak 10.000 jiwa. Ya, banyak kisah
menyeramkan dan tragis yang saya dengar seputar pembantaian tersebut dan saya
merinding sendiri bahwa nyawa manusia begitu mudahnya dihilangkan.
Yang cukup sering ditampilkan di buku ini adalah masalah perburuhan,
mulai dari zaman Belanda hingga zaman Jepang. Pada zaman kolonial Belanda,
perburuhan di Indonesia terjadi awalnya dengan sistem sewa, tetapi
lama-kelamaan malah mendekati perbudakan. Zaman Jepang pun sama, tetapi
istilahnya berbeda: kerja paksa. Kerja paksa, baik dari zaman Belanda maupun
Jepang, sudah menelan puluhan ribu orang Indonesia yang dipaksa bekerja dengan jam
kerja tanpa henti. Entah itu kesehatan yang mengenaskan ataupun kematian. Yang
paling miris adalah kisah pekerja paksa Indonesia ketika Jepang menyerah
terhadap sekutu. Seluruh orang Indonesia yang dipaksa bekerja ditinggalkan
begitu saja dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka kurus kering dan
hanya berbalutkan celana berbahan karung goni. Mereka berjalan mencari jalan
pulang untuk kembali ke kampung halaman dengan terseok-seok sambil mencari
sisa-sisa makanan yang bisa ditemukan di jalan. Jika kampung halamannya dekat,
mereka bisa langsung pulang. Tapi, yang paling memprihatinkan jika kampung
halaman mereka jauh karena Jepang mengirim mereka ke daerah pedalaman atau
negara-negara Asia lainnya. Menurut Suyono, di Stasiun Tanah Abang penuh dengan
orang Indonesia yang tiba dari kerja paksa akibat Jepang kalah terhadap sekutu.
Mungkin, sebagian dari mereka bisa kembali kepada keluarganya, tetapi banyak
juga yang meninggal dunia karena kondisi fisik yang begitu mengenaskan.
Berdasarkan literatur sejarah, termasuk Suyono, masa penjajahan Jepang
yang hanya 3,5 tahun memiliki efek yang sama dahsyatnya dengan Belanda yang beberapa
ratus tahun di Indonesia. Kekerasan yang dilakukan Jepang itu dipenuhi dengan
teror, penyiksaan, dan tentunya pembunuhan. Jepang yang datang ke Indonesia
dengan propaganda sebagai saudara tua menyebarkan mata-mata di seluruh
Indonesia. Mata-matanya bisa jadi orang Jepang, orang Indo, atau pribumi
sendiri yang kebanyakan dari mereka terpaksa menjadi mata-mata karena
keluarganya berada di bawah ancaman. Yang pasti, jika ada yang tertangkap
Jepang, mereka tidak segan-segan menyiksa atau membunuh. Perlakuan Jepang yang
mengerikan ini gak cuma di Indonesia. Konon, yang tidak kalah parahnya adalah
Nanking, Cina. Ada cerita yang masuk berita di surat kabar Jepang bahwa ada dua
orang serdadu Jepang yang melakukan perlombaan untuk membunuh orang Cina.
Yang membuat saya sedih dan geram adalah kekerasan yang terjadi kepada
perempuan pada masa pendudukan Jepang, baik itu di Indonesia maupun di negara-negara
yang diduduki Jepang. Jadi, pada masa perang itu, Jepang melegalkan adanya
rumah bordil untuk kebutuhan seks serdadunya. Karena jumlah pekerja seks
betulan tidak memenuhi kuota dari banyaknya serdadu Jepang, Jepang pun
mengambil paksa para perempuan untuk dijadikan pekerja seks. Bagaimana caranya?
Seperti yang terjadi dengan para pekerja paksa (romusha), Jepang juga
menawarkan janji-janji manis kepada para perempuan Indonesia, seperti sekolah
gratis, pelayan rumah makan, pekerja rumah tangga, atau yang lainnya. Di buku
berjudul Jawa Shinbun seperti yang dikutip Suyono, terdapat
tulisan diperlukannya tenaga perempuan Indonesia untuk dididik sebagai perawat
dan dikirim ke Jepang disertai dengan foto-foto gadis-gadis yang sudah dikirim.
Bahkan, ada anak bupati atau wedana yang dijadikan contoh karena bersedia untuk
berangkat ke Jepang mengikuti pendidikan. Ada saksi mata juga yang menuturkan
bahwa pimpinan kamp Jepang yang berada di Halmahera membuat pengumuman mengenai
kebutuhan Jepang terhadap wanita-wanita muda berumur 16—30 tahun untuk
dipekerjakan di restoran atau kantor dengan penghidupan yang lebih baik dan
gaji yang lebih dari cukup. Kala itu para gadis banyak yang mendaftar. Mereka
berpakaian rapi dan mempercantik diri. Sayangnya, mereka tidak tahu bahwa
mereka telah dibohongi dan akan dijadikan jugun ianfu atau wanita
penghibur untuk tentara Jepang. Perekrutan Jepang terhadap perempuan Indonesia
sebenarnya tidak dengan cara iming-iming secara halus saja. Jepang tidak
segan-segan melakukan pemaksaan dengan cara kasar, seperti meneror korban
dengan tindak kekerasan, penculikan, atau perkosaan di depan keluarganya.
Sebagai jugun ianfu, para perempuan ini diperlakukan dengan
kasar dan brutal. Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam oleh Jepang serta
dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang siang dan malam. Nah, jika
melihat gambar yang ditampilkan di buku ini, saya merinding karena ada foto
yang begitu menyayat hati saya sebagai perempuan. Setelah perang berakhir,
banyak dari mereka yang bunuh diri karena malu untuk kembali ke keluarganya
atau memilih tidak kembali. Nah, konon, sekarang ini penyelesaian nasib mereka
belum tuntas, ditambah lagi Jepang menolak terlibat bertanggung jawab terhadap
jugun ianfu ini. Kalau mau membaca kisah para perempuan Indonesia yang dipaksa
menjadi pekerja seks ini, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis buku Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer atau bisa melihat laman ini.
Benar kata Soekarno, “Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah.”
Sejarah suatu bangsa itu membentuk manusia masa kini. Dari sejarah, kita banyak
tahu apa yang terjadi dengan bangsa sendiri pada masa lalu dan bagaimana
kejamnya bangsa asing memperlakukan bangsa kita.
Membaca buku ini, saya tahu banyak kekejaman yang dilakukan penjajah secara
detail dari VOC, Pemerintah Belanda, Jepang, hingga sekutu di bawah bendera
Inggris dan NICA, yang tidak saya dapatkan begitu detailnya ketika berada di
bangku sekolah, terutama soal jugun ianfu. Agak malu juga ketika
rekan Suyono berbangsa Eropa mengatakan bahwa bangsa Indonesia mudah sekali
melupakan peristiwa yang menyakitkan bangsanya. Mungkin ada benarnya karena
kebanyakan dari kita malah berpikir bahwa sejarah adalah masa lalu dan ngapain
juga mengingat masa lalu. Padahal, dari masa lalu itu kita sebenarnya banyak
belajar supaya peristiwa menyakitkan itu tidak terulang lagi. Seperti kata
Suyono, seharusnya kita bisa belajar dari Korea. Bangsa mereka dididik untuk
selalu mengingat perlakuan kejam Jepang terhadap bangsanya hingga mereka
termotivasi untuk mengalahkan Jepang dalam segala bidang. Dan, hal tersebut
terbukti sekarang ini bahwa produk Korea hampir mendapat tempat di mata dunia
dibanding produk Jepang yang kalah pamor sekarang ini. Ya, seharusnya kita bisa
belajar seperti itu.
Buku ini cukup enak dibaca karena gaya bahasanya bukan gaya buku teks
yang membosankan. Sayangnya, editor buku ini tidak begitu memperhatikan ejaan
sehingga banyak penggunaan tanda baca yang tidak sesuai dan kesalahan
pengetikan huruf. Bagian akhirnya dari buku ini juga terkesan agak tanggung,
tanpa penutup yang jelas. Saya pikir, masih ada pembahasan lagi, eh ternyata
sudah selesai. Secara keseluruhan, buku sejarah ini bisa dinikmati, kok, karena
merupakan pengetahuan dan pengingat untuk saya—dan mungkin Anda—mengenai kekejaman
bangsa asing di Indonesia. Dan, seharusnya, seperti yang diharapkan Suyono,
generasi muda zaman sekarang juga membaca buku ini supaya tahu sejarah bangsa
Indonesia dan bukannya tidak peduli dengan masa lalu bangsa Indonesia.
Wij zijn geen natie van koelis
--Soekarno
0 komentar