Wadjda (Film): Mengintip Budaya di Arab Saudi
Agustus 21, 2016
Jujur, Wadjda adalah film tentang Arab Saudi yang pertama kali saya
tonton. Itu pun secara tak sengaja karena iseng lagi gonta-ganti saluran dan
tertambatlah mata saya di Cinema World yang menampilkan film ini.
Poster Film Wadjda |
Wadja merupakan film kolaborasi antara Arab Saudi dan Jerman yang
diproduksi tahun 2013. Film ini cukup banyak penghargaannya dan beberapa kali
tampil di berbagai ajang festival film di dunia. Konon, film Wadjda merupakan film
pertama yang keseluruhan syutingnya diambil di Arab Saudi dan film pertama yang
disutradarai oleh seorang perempuan Haifaa Al-Mansour.
Film yang berlatar belakang Riyadh, Arab Saudi, ini mengangkat kisah
perempuan berusia 11 tahun bernama Wadjda. Ia menginginkan sepeda karena hanya
anak laki-laki yang boleh mengendarai sepeda. Karena ibunya enggan membelikan
sepeda, ia berusaha mengumpulkan uang untuk membeli sepeda, mulai dari menjual
gelang hingga mengikuti lomba menghafal Al-Quran di sekolah. Usaha memiliki
sepeda sepertinya tidak berjalan terlalu mulus. Apalagi, ketika keinginan
berbenturan dengan budaya masyarakat Saudi yang melarang perempuan mengendarai
sepeda. Namun, melalui Wadjda, dia tidak melawan budaya itu, tetapi dia
mengubah stereotipe itu.
Menonton film ini, saya teringat Children of Heaven, film bertahun-tahun
lalu yang pernah saya tonton. Film jujur mengenai usaha Ali untuk mendapatkan
sepatu. Begitu juga Wadjda yang ingin mendapatkan sepeda. Namun, Ali harus
mengakali kemiskinan yang mendera keluarganya, sedangkan Wadjda harus mengakali
stereotipe budaya masyarakat di kotanya, bahkan mungkin di negaranya.
Ya, kita tahu bahwa Arab Saudi dianggap sebagai negara yang agak kaku
dalam kebebasan perempuan. Konon, banyak batasan yang berlaku untuk perempuan Saudi.
Misalnya, dilarang menyetir. Jika disetirin, duduknya harus di belakang. Saya
ingat perempuan traveler bule yang ketika tiba di Arab Saudi bertanya soal ini.
Kata guide-nya, sebenarnya tidak ada larangan karena Arab Saudi sedang
mengalami perubahan. Si guide ini langsung menawarkan apakah si traveler mau
duduk di depan. Kalau mau, dia boleh duduk di depan. Tapi, si traveler ini gak
mau duduk di depan.
Soal larangan menyetir untuk perempuan juga disinggung dalam film
Wadjda. Saat itu, sang ibu mempunyai sopir bernama Iqbal yang sepertinya
pekerja migran dari Pakistan (kalau dilihat dari tampilan pakaiannya). Namun,
si sopir ini suka mengeluh dan selalu ngatur si majikan. Misalnya, mau
jalan-jalan ke mal pun hanya dibatasi satu jam atau ditinggal. Karena sikapnya
itu, sang ibu kesulitan lagi mendapatkan sopir untuk mobilitasnya. Seandainya
si ibu bisa menyetir sendiri, mungkin dia akan nyetir. Sayangnya, ada aturan tersebut.
Mungkin, si ibu bisa naik taksi atau bus, tapi film ini tidak menyinggung
perempuan naik taksi atau bus sendirian.
Wadjda dalam film ini ditampilkan sebagai anak perempuan yang lahir
dari keluarga menengah. Si ibu adalah orang yang cenderung tradisional dan ayah
yang kadang saya enggak ngerti perannya apa, yang jelas sangat memegang teguh
sistem patriakal. Sang ayah ini meminta si ibu untuk memberikan anak laki-laki
sebagai penerus keturunannya. Sayangnya, Wadjda adalah perempuan sehingga
namanya tidak tertulis dalam garis keturunan ayahnya.
Sang Ibu dan Sang Ayah |
Salah satu yang menurut saya disinggung dalam film ini adalah aurat
perempuan. Rata-rata perempuan Saudi dalam film ini, ketika keluar rumah, akan
menutup seluruh tubuhnya dengan abaya. Teman si ibu bahkan memakai burqa yang
menutup seluruh wajahnya ketika dia bertemu dengan si ibu. Sang teman ini
adalah satu perempuan Saudi yang bekerja di rumah sakit. Ketika bekerja, dia
tidak menutup wajahnya dan memakai pakaian layaknya pekerja di rumah sakit.
Jilbab pun tidak digunakan, hanya kerudung yang menutupi sebagian rambutnya. Si
ibu yang tradisional pun bertanya, “Kok lo ga nutupin wajahnya lo di depan
orang yang bukan muhrim lo. Emang suami lo ga cemburu kalo lo ngobrol ama cowok
lain?” Pertanyaan yang agak “krik-krik” untuk saat ini. Kalau seperti ini,
bingung juga jawabnya. Wadja pernah mengeluarkan satu mug hadiah dari ibunya
dengan foto mereka di mug itu. Di foto itu, Wadja masih kecil. Seharusnya, foto
kenang-kenangan yang bakal indah malah terlihat aneh di mata saya. Sebabnya, ya
si ibu memakai niqab sehingga wajahnya tak terlihat. Bisa jadi, itu bukan
ibunya. Namun, si ibu bahagia banget ketika mug berfoto itu dikeluarkan sang
anak.
Di Arab Saudi, pemisahan antara laki-laki dan perempuan itu sepertinya
terlihat jelas, terutama dalam antre makanan di tempat makan yang cukup
terkenal, misalnya di KFC. Kalau di KFC ini, saya tahu bagaimana rasanya antre
dengan beda jalur. Saya maklum sih karena pembelinya cenderung salip-menyalip
dan agak empet-empetan. Konon, di Starbuck Makkah juga begitu. Tapi, saya
enggak mengunjungi Starbuck Makkah. Kalau Starbuck di dekat Masjid Nabawi, Madinah,
karena tempatnya kecil, pemisahan pembeli enggak ada. Begitu juga di tempat
makan kecil lainnya. Di Makkah, tempat jual makanan khas Pakistan, pemisahan
antara perempuan dan laki-laki enggak ada sama sekali. Orang-orang—baik
perempuan maupun laki-laki—bebas aja beli kalau punya duit. Pemisahannya enggak
saklek banget sepertinya. Mungkin di tempat tertentu, seperti imigrasi atau
sekolah kali ya. Kalau ibadah, pastinya iya ada pemisahan.
Pemisahan antara laki-laki dan perempuan yang paling kentara ya di
sekolah, seperti yang di terlihat dalam film ini. Mungkin, di negara yang
menganut hukum Islam, seperti Arab Saudi atau Iran, juga menerapkan hal yang
sama. Di film ini, Wadjda bersekolah di sekolah khusus perempuan. Nah, di
sekolah ini saya kebayang bagaimana Wadjda akan terus-terusan memakai abaya
hitam dan jilbab hitam seperti di film Children of Heaven. Nyatanya, karena
sekolah itu tertutup (khusus untuk perempuan), ketika mereka tiba di dalam
sekolah, mereka membuka jilbabnya. Begitu juga gurunya. Jadi, bayangan saya
bahwa perempuan Saudi yang di balik abayanya pasti tradisional banget (enggak
dandan dan biasa aja), ternyata enggak kayak gitu. Mereka sama sekali enggak
tradisional dalam tampilan. Bu gurunya di dalam sekolah memakai kemeja kantoran
dengan rambut disanggul. Begitu juga guru lain. Ada, lho, guru dengan rambut dicat
pirang mengajar hafalan Quran. Tapi, di samping tampilan yang modern, ada
nilai-nilai budaya yang tetap mereka pegang teguh, misalnya perempuan enggak
boleh mengendarai sepeda karena alasan kolot yang juga pernah menjadi isu di Indonesia.
Kalau menurut saya sih, Wadjda ini orangnya agak “slow” dalam arti dia
gak melawan sistem masyarakatnya dan dia juga gak patuh-patuh amat dengan
aturan. Ya, kalau lo mau, lakuin aja, mungkin itu prinsipnya. Seperti si ibu
yang mau memotong rambutnya seperti seorang artis, Wadjda hanya bilang, “Ya,
potong aja.” Ketika dia harus memakai kuteks, dia pun akan merasakan memakai
kuteks. Ketika dia mau nyanyi, ya dia nyanyi aja. Ketika nanya-nanya sepeda, ya
dia nanya aja ke penjualnya. Penjualnya juga enggak mencibir atau melarang si Wadjda
untuk membeli. Si penjualnya hanya takut kalau Wadjda gak sanggup beli. Padahal,
ibu dan guru di sekolahnya melarang dia. Ketika dia mau main dengan temannya
yang laki-laki karena temannya itu punya sepeda, yaa dia main aja. Enggak ada
teman-teman yang mengejek mereka. Hanya saja, ketika mereka berdua hendak
mencari Iqbal (si sopir), si temannya ini bilang, “Ntar kalau ada yang nanya, lo
jadi saudara gue ya.” Si Wadjda meresponsnya begini, “Ih, gue lebih cantik dari
saudara lo kali.”
Wadjda dan sahabatnya, Abdullah |
Dilihat dari film ini, hubungan antara laki-laki dan perempuan mungkin
agak dibatasi ya, gak sebebas di negara kita. Yang utamanya mungkin perempuan.
Sedikit banyak saya tahu bahwa memang benar sih gerak-gerik perempuan Saudi dibatasi,
terutama dalam pemilihan pasangan hidup. Mungkin bukan rahasia umum bahwa di
negara tersebut remaja bukan muhrim gak boleh jalan bareng, apalagi
berdua-duaan. Apalagi pakai yang namanya cinta-cintaan. Kalau ketahuan, nama keluarga
akan tercoreng. Dalam masalah perjodohan, keluarga memang sangat menentukan—entah
suka entah tidak. Di film ini, isu seperti itu sempat disinggung bahwa orang
tua para remaja mungkin akan mengelilingi seantero negeri untuk mencarikan
anaknya jodoh yang layak. Berapa pun umurnya. Pasalnya, teman sekelas Wadjda—Salma—ternyata
sudah menikah dengan pria berusia 20 tahun. Teman sekelasnya ketawa, sih,
ketika Salma menyebutkan usia suaminya, tapi mereka sepertinya enggak kaget-kaget
amat ketika tahu bahwa Salma baru aja menikah. Si ibu guru gak bilang banyak.
Dia hanya bertanya umur suaminya berapa dan membawa foto dilarang di sekolah. Miris,
yaa. Pernikahannya terlalu amat sangat dini. Bahkan, mungkin Salma belum bisa
menentukan kaus kaki warna apa yang akan dia gunakan ke sekolah.
Konon, film ini dilarang peredarannya di Arab Saudi. Jadi,
masyarakat Saudi yang mau nonton film
ini harus pergi dulu ke negara tetangga. Sebenarnya, alur cerita film ini
menurut saya cenderung datar dan mungkin gak ada klimaks. Cukup ngebosenin buat
orang-orang yang biasanya nonton film-film Hollywood. Tapi, melalui film ini,
saya jadi tahu bagaimana budaya masyarakat Arab Saudi. Mungkin, agak berbeda
dari yang saya rasakan ketika saya mengikuti spiritual journey ke negara
tersebut karena film ini dibuat dari kacamata orang Arab Saudi sendiri, bukan
dari kacamata negara lain. Kalau misalnya ada nama Jerman dalam produksi film
ini, itu adalah penyokong dana karena sang penulis sekaligus sutradara kesusahan
untuk mendapatkan dana dari pihak-pihak Saudi.
0 komentar