Munculnya Ya’Juj & Ma’juj di Asia (Mengungkap Misteri Perjalanan Zulkarnain ke Cina): Membaca kisah Zulkarnain dan Ya’juj & Ma’juj dari Sudut Pandang Syaikh Hamdi bin Hamzah Abu Zaid
September 25, 2016Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.” Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka dia pun menempuh suatu jalan hingga apabila telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati segolongan umat di sana. Kami berkata,“Hai, Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” Zulkarnain berkata, “Adapun orang yang aniaya maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.”
Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur), dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu. Demikianlah, sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.
Kemudian, dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata, “Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Maka, dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” Zulkarnain berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi.”
Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulkarnain, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu.” Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Zulkarnain berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh dan janji Tuhanku itu adalah benar.” Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas, yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku dan adalah mereka tidak sanggup mendengar (QS. Al-Kahfi [18]: 83—101).
Al-Kahfi. Surah tersebut termasuk surah Makkiyah dengan 110 ayat yang
memiliki keutamaan tertentu. Nabi SAW pernah bersabda dalam hadis-hadisnya
mengenai keutamaan tersebut.
Pertama, manusia yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat akan
terhindar dari fitnah Dajjal. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang membaca surah Al-Kahfi pada
hari Jumat, ia akan memancarkan cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit yang
akan meneranginya kelak pada hari kiamat dan diampuni dosanya antara dua Jumat’
(HR Abu Bakr bin Mardawaih dari Kitab at-Targhib wa al- Tarhib: 1/298).
Kedua, manusia yang membaca Al-Kahfi pada hari Jumat akan mendapat pengampunan
dosa di antara dua Jumat. Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “Barang siapa membaca surah Al-Kahfi
pada hari Jumat, ia akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jumat” (HR
Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249).
Ketiga, ganjaran yang disiapkan bagi orang yang membaca surah Al-Kahfi
pada malam Jumat atau pada siang harinya akan diberikan cahaya (disinari). Cahaya
ini diberikan pada hari kiamat yang memanjang dari kedua telapak kakinya sampai
ke langit. Hal ini menunjukkan panjangnya jarak cahaya yang diberikan kepadanya
sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka” (QS Al-Hadid: 12). Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu
‘anhu dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa
membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan dipancarkan cahaya untuknya
sejauh antara dirinya dan Baitul ‘Atiq” (Sunan Ad-Darimi, No. 3273 dan juga diriwayatkan
al-Nasai dan Al-Hakim serta disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
al-Targhib wa al-Tarhib, No. 736).
Bagi umat Islam, surah Al-Kahfi merupakan salah satu surah utama, di
samping surah Yaasin yang biasanya dibaca pada malam Jumat. Dulu, sebelum saya
tahu hadis ini, setiap malam Jumat, saya selalu membaca surah Yaasin karena banyak
faedahnya dan dari dulu juga seperti itu. Namun, setelah tahu hadis ini, saya
tidak beralih hanya membaca Al-Kahfi saja, tetapi tetap membaca Yaasin.
Sebenarnya, enggak harus dua surah itu aja, keseluruhan Al-Quran ya seharusnya
dibaca karena pastinya banyak kebaikan di sana.
Selain faedahnya yang banyak, Al-Kahfi juga menarik untuk dikaji karena
di sana ada kisah Zulkarnain. Siapa sih Zulkarnain? Dulu, dari omongan
orang-orang, saya hanya tahu bahwa Zulkarnain bernama lengkap Iskandar
Zulkarnain dan konon dia adalah Alexander the Great atau Alexander yang
Agung—raja muda dari Kerajaan Macedonia yang kekuasaannya mulai dari Eropa
hingga Asia. Dalam anggapan saya, dia adalah tokoh yang soleh, religius, dan
percaya dengan satu Tuhan. Namun, ketika muncul film Alexander, pandangan
saya terhadap Zulkarnain itu Alexander the Great pun terkikis karena, kok, beda
banget antara apa yang ada di bayangan saya soal Zulkarnain dan apa yang
digambarkan. Saya jadi ragu, benar gak sih Zulkarnain dan Alexander the Great
itu sosok yang sama? Kok, beda ya dengan sosok Zulkarnain yang disebutkan dalam
Al-Quran?
Pertanyaan saya itu tidak terjawab karena saya memang membiarkan
menguap. Nah, beberapa tahun kemudian, tepatnya akhir-akhir ini, ketika saya
sedang membaca terjemahan Al-Quran, pertanyaan itu muncul lagi. Kali ini, tidak
hanya Zulkarnain, tetapi ada pula Ya’juj dan Ma’juj. Yup! Jika melihat kutipan
Al-Kahfi di atas, kisah Zulkarnain ini tidak bisa dilepaskan dari kisah Ya’juj
dan Ma’juj karena Zulkarnainlah sosok yang membebaskan sebuah bangsa dari
kekejaman Ya’juj dan Ma’juj. Nah, saking keponya saya dengan ayat-ayat
Zulkarnain beserta Ya’juj dan Ma’juj, saya bertanya-tanya, ada gak sih buku
yang membahas itu?
Buku terjemahan karya Syaikh Hamdi, terbit tahun 2007 |
Bertemulah saya dengan buku Syaikh Hamdi bin Hamzah Abu Zaid yang
berjudul Munculnya Ya’juj & Ma’juj di Asia: Mengungkap Misteri
Perjalanan Zulkarnain ke Cina. Judul yang menarik, amat sangat menarik,
walau saya merasa judulnya sudah menjawab isi buku, apalagi didukung oleh
sampul buku bergambar tembok Cina. Di buku ini, tentunya Syaikh Hamdi—seorang
pejabat di pemerintahan Arab Saudi—berbicara mengenai penelusurannya dalam
menjawab Ya’juj dan Ma’juj serta Zulkarnain yang ada dalam Al-Quran, khususnya
dalam surah Al-Kahfi. Ayat yang disoroti Syaikh Hamdi dalam surah Al-Kahfi
adalah perjalanan Zulkarnain ke matahari terbenam, matahari terbit, hingga ia
bertemu dengan bangsa yang sedang menghadapi Ya’juj dan Ma’juj. Namun, sebelum
dibahas perjalanan Zulkarnain itu, Syaikh Hamdi menuliskan siapakah Zulkarnain.
Benarkah dia adalah Alexander yang Agung atau Alexander the Great?
Untuk menjawab hal ini, Syaikh Hamdi menuliskan beberapa tokoh yang
berpotensi sebagai Zulkarnain. Pertama, sosok Zulkarnain atau yang dikenal
dengan Iskandar sebagai sosok yang penuh mitos. Sosok ini muncul hampir di
banyak kebudayaan, mulai dari kepulauan Britania Raya sampai dengan kepulauan
Tanah Melayu. Sosok ini adalah tokoh dalam gambaran sejarah keagamaan dan
keduniaan tanah Eropa pada masa Romantis dari abad pertengahan di benua Eropa.
Bahkan, ia dianggap seorang laki-laki yang suci dalam gambaran Talmud.
Sosok kedua merujuk pada pendapat Ulrich Wilcken yang menyebutkan bahwa
Zulkarnain adalah Alexander the Great, anak Raja Philip dari Macedonia. Sosok
ini merupakan raja besar yang kekuasaannya meliputi Eropa hingga Asia. Sosok
ini juga boleh dianggap sosok terkenal yang namanya banyak diceritakan dalam
kisah-kisah kuno.
Sosok yang ketiga adalah Iskandar Al-Makduni. Konon, sosok ini adalah
manusia biasa, bukan sosok manusia terkenal yang mengukir sejarah. Tidak banyak
bukti mengenai kehadirannya, tetapi namanya juga disebut oleh beberapa peneliti
sebagai sosok Zulkarnain.
Mengenai siapa sosok Zulkarnain ini, Syaikh Hamdi memiliki pendapatnya
sendiri. Ia menganggap bahwa Zulkarnain yang disebutkan dalam Al-Quran merupakan
pangeran Mesir dan keturunan Firaun yang bernama Akhnaton. Dalam surah Ghafir
ayat 23—46, tertulis adanya percakapan antara Nabi Musa dan Firaun. Di situ
disebutkan bahwa ada laki-laki saleh yang terlibat dalam perbincangan tersebut.
Menurut Syaikh Hamdi, Akhnaton hidup pada masa Nabi Musa dan ia merupakan anak
dari Firaun. Setelah Firaun tewas ketika mengejar Nabi Musa, Akhnaton
menggantikan posisi sang ayah untuk menjadi raja. Pada masa pemerintahan
Akhnatonlah, dikenalkan konsep monoteisme, yaitu menyembah hanya satu Tuhan,
mengganti konsep ketuhanan pada masa kepemimpinan ayahnya. Di sini, ia banyak
membangun tempat ibadah untuk memuja satu Tuhan itu. Namun, konsepnya tersebut
banyak mendapat pertentangan dari pemuka agama sebelumnya sehingga terjadi
beberapa perlawanan. Selain itu, ia pun tak berdaya ketika terpaksa melepas
daerah kekuasaan Mesir yang ada di Palestina dan Syria. Menurut ahli, ada dua
kemungkinan mengapa wilayah kekuasaannya lepas. Pertama, Akhnaton terlalu fokus
dalam kecintaannya dalam konsep monoteisme sehingga ia melupakan urusan-urusan
lain. Kedua, ia kekurangan prajurit untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya
karena sebagian besar prajurit Mesir saat itu turut serta bersama Firaun
mengejar Nabi Musa. Sebelum Akhnanton wafat, ia telah menyiapkan menantunya Smenkhkare
untuk menggantikannya, lalu dilanjutkan oleh menantunya yang lain Tut Anakh
Amon. Mungkin, pemerintahan Akhnaton di Mesir dapat dikatakan singkat.
Ada informasi menarik yang ditemui Syaikh Hamdi dari sumber literaturnya
bahwa mumi Akhnaton belum ditemukan. Di sinilah Syaikh Hamdi yakin bahwa
Akhanaton meninggal dunia di luar Mesir, termasuk istrinya Nefartiti dan para
pengikutnya. Syaikh Hamdi juga yakin bahwa Akhnaton adalah Zulkarnain yang
memang tidak berada di Mesir, tetapi ia sedang melakukan perjalanan menuju
terbenamnya matahari, terbitnya matahari, hingga menjumpai bangsa Ya’juj dan
Ma’juj.
Dalam penelusuran jejak Zulkarnain ini, Syaikh Hamdi mengawalinya dari tempat
terbitnya matahari. Awalnya, saya pikir Jepang karena negara tersebut dikenal
sebagai negeri matahari terbit dengan bendera yang melambangkan matahari.
Ternyata, yang dituju oleh Syaikh Hamdi adalah Republik Kiribati yang terdapat
di tengah-tengah Lautan Pasifik. Secara eksplisit, Kiribati memang disebut
sebagai tempat mulainya terbit matahari. Konon, jika ingin merasakan tahun baru
lebih awal dibanding negara-negara lain, datanglah ke Kiribati karena di sana
matahari mulai menyinari bumi. Di samping itu, negara tersebut berdekatan
dengan international date line sebagai awal mula waktu terbitnya matahari.
Nah, mengenai tempat terbenamnya matahari, Syaikh Hamdi kembali
melakukan penelusuran dengan mengambil jarak waktu antara Kepulauan Kiribati
sebagai tempat terbit dan tempat terbenamnya matahari. Awalnya, Syaikh Hamdi
berkesimpulan bahwa tempat terbenamnya matahari adalah Srilangka dengan
menghitung jarak waktu dan menghitung kedekatan garis khatulistiwa antara
Kiribati dan Srilangka, tetapi ciri-ciri yang ada dalam Al-Quran tidak sesuai
dengan Srilangka. Setelah diteliti lebih jauh, ternyata Srilangka tidak lurus
dengan garis khatulistiwa, melainkan Kepulauan Maladewa. Kedekatan dengan
khatulistiwa ini ditambah lagi dengan penafisran Syaikh Hamdi terhadap
ciri-ciri yang disebutkan oleh Al-Quran sepertinya cocok dengan kepulauan
tersebut.
Sebenarnya, pembahasan saya di atas tidak berurutan seperti yang ada
dalam Al-Quran dan di buku Syaikh Hamdi. Namun, saya mengacu pada penelitian
awal yang dilakukan Syaikh Hamdi, yaitu ia meneliti tempat terbitnya matahari
dulu, kemudian terbenamnya matahari. Nah, jika dilihat lagi perjalanan
Zulkarnain atau Akhnaton, tentunya ia akan mulai dari Mesir, lalu ia singgah di
Kepulauan Maladewa, lalu di Kiribati, terakhir ia pun menuju tempat Ya’juj dan
Ma’juj.
Seperti yang sering disebutkan di buku ini, Zulkarnain atau Akhnaton melanjutkan
perjalanannya ke Cina untuk menghadapi Ya’juj dan Ma’juj. Mengapa Syaikh Hamdi
bisa berkesimpulan bahwa Ya’juj dan Ma’juj berada di Cina? Siapakah Ya’juj dan
Ma’juj itu?
Di Mbah Google, Ya’juj dan Ma’juj dikenal juga sebagai Gog dan Magog.
Istilah Gog dan Magog ini merupakan istilah dalam bahasa Inggris. Untuk Ibrani,
istilah yang digunakan beda lagi.
Ya’juj dan Ma’juj ini adalah makhluk akhir zaman yang akan merusak dan
menghancurkan bumi. Sifat mereka itu sangat keras, kasar, biadab, sombong,
gigih, senang berperang, merampok, membunuh, merusak, dan memperkosa korbannya.
Mereka tidak menyukai umat (bangsa) lain, selain mereka sendiri. Kesombongan
mereka digambarkan dalam sebuah hadis Nabi SAW, yaitu ketika mereka telah
berhasil membunuh seluruh penduduk bumi, mereka melemparkan anak panah dan
tombak ke atas awan, kemudian mereka beranggapan bahwa mereka telah berhasil
membunuh penduduk langit (para malaikat) karena anak panah dan tombak mereka
kembali dengan berlumuran darah. Konon, dua bangsa penghancur ini sekarang
sedang terkurung. Kurungan itu akan terbuka ketika kemunculan Dajjal yang
berarti kiamat sudah tinggal di depan mata. Dua bangsa penghancur ini ternyata tidak
hanya disebutkan dalam dunia Muslim, tetapi disebutkan juga di ajaran Yahudi
dan Kristen. Mungkin tidak sama persis karena masing-masing ajaran tentunya
memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Mungkin, boleh dibilang penelusuran Syaikh Hamdi terhadap Ya’juj dan Ma’juj—bukan
kisah Zulkarnain—tebersit secara tak sengaja. Ceritanya begini, sekitar tahun
2000, Syaikh Hamdi yang mewakili Arab Saudi menghadiri pertemuan persatuan
atlet sepeda se-Asia di Shanghai, Cina. Itu adalah kali pertama Syaikh Hamdi ke
Cina dengan pikiran sebenarnya masih di seputar Zulkarnain serta misteri Ya’juj
dan Ma’juj. Selama di Shanghai itu, Syaikh Hamdi didampingi oleh seorang dosen
yang ingin mengasah bahasa Inggrisnya yang bernama Huxiao Tian. Sang dosen ini
bercerita banyak tentang sejarah Cina sehingga Syaikh Hamdi pun bertanya
mengenai Ya’juj dan Ma’juj. Pernah dengar kisah Ya’juj dan Ma’juj gak sih?
Awalnya, sang dosen gak ngerti maksud Syaikh Hamdi, tetapi Syaikh Hamdi sepertinya
pantang menyerah dengan mengulang-ulang pertanyaan dan dengan berbagai
penekanan dalam dua kata itu. Akhirnya, sang dosen mengatakan, “Ya’jou dan Ma’jou.”
Dua kata dalam bahasa Cina yang berarti benua Asia dan benua kuda. Nah,
keterangan inilah yang membuat Syaikh Hamdi melakukan penelusuran lebih
mendalam mengenai Cina dan hubungannya dengan Zulkarnain. Penelusuran yang
dilakukan oleh Syaikh Hamdi tentunya penelusuran literatur sejarah, penelusuran
linguistik, dan sepertinya geografi.
Dengan penelusuran itu, secara singkatnya (maafkan karena saya agak),
Zulkarnain yang ternyata Akhnaton—putra Mesir—melakukan perjalanan meninggalkan
Mesir setelah ia merasa bahwa kondisi Mesir sudah tidak kondusif bagi dirinya
dan keluarganya. Dia singgah di negeri terbenam matahari (Maladewa), lalu
menuju negeri terbitnya matahari (Kiribati). Dari sini, Zulkarnain beserta
keluarga dan pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Cina. Di negeri inilah,
Zulkarnain diminta bantuannya untuk menghalau bangsa Ya’juj dan Ma’juj karena
mereka adalah bangsa penghancur. Berdasarkan pengetahuan terhadap pembangunan
di Mesir, Zulkarnain pun menerapkannya ketika ia membangun Great Wall (Tembok
Besar) yang saat ini masih gagah berdiri. Setelah pembangunan tembok selesai,
apa yang dilakukan Zulkarnain? Menurut Syaikh Hamdi, Zulkarnain beserta
keluarga dan pengikutnya pun tinggal di sana dan membuat dinasti baru, yaitu
Chou.
Jadi, siapakah Ya’juj dan Ma’juj berdasarkan penelusuran Syaikh Hamdi?
Jika dihubungkan dengan bahasa Cina, Ya’juj dan Ma’juj itu adalah Ya’jou
dan Ma’jou yang berarti benua Asia dan benua kuda. Siapakah benua Asia? Syaikh
Hamdi mengatakan bahwa benua Asia itu adalah Jepang, Korea, Manchuria, atau
Tibet. Secara geografis, negara-negara tersebut memang berbatasan dengan Cina. Cina
dan negara-negara tersebut memang memiliki gap walau wajah mereka cenderung
sama. Berdasarkan penelusuran sejarah, dari dulu hingga sekarang, negara-negara
tersebut saling mempertahankan diri dengan nasionalisme yang boleh dibilang
sangat tinggi. Ya, mungkin sejak dulu negara-negara ini sudah saling menjajah.
Bagaimana dengan Ma’juj? Karena Ma’jou dalam bahasa Cina berarti benua
kuda, Syaikh Hamdi pun merujuk pada bangsa Mongol—bangsa yang memang hidup di
sebelah utara Cina. Bangsa ini memang dikenal dari dulu sebagai bangsa yang
sangat mahir berkuda dan banyak menyerang negara-negara lain, terutama pada
masa kepemimpinan Jengis Khan dan Kubilai Khan. Boleh dibilang mereka barbar
dan sangat kejam. Konon, pembantaian yang dilakukan oleh Jengis Khan merupakan
pembantaian terbesar sepanjang sejarah manusia sehingga bangsa Cina sangat
takut menghadapi mereka.
Menurut Syaikh Hamdi, Jengis Khan terlahir dengan nama Temujin. Ketika
ia berusia 9 tahun, orang tuanya dibantai dan diracun oleh beberapa orang dari
kaum Tatar. Kejadian itu yang membuat ia bercita-cita membalaskan dendam
kematian orang tuanya. Ketika dewasa, ia berhasil mempersatukan kabilah-kabilah
Mongol yang terpecah menjadi satu kekuatan. Setelah itu, dia memimpin
penyerangan terhadap kaum Tatar. Perang tersebut sangat sadis. Seluruh lelaki
dewasa Tatar dibunuh, kecuali anak-anak dan kaum wanita yang dipaksa menjadi
hamba sahaya. Ketika usianya mencapai 40 tahun, ia memiliki banyak julukan,
termasuk Jengis Khan. Penyerangan diluncurkan ke berbagai kerajaan, termasuk
kerajaan Islam dan Cina. Di bawah kepemimpinannya ia berhasil
memorak-porandakan negeri dan menyembelih penduduknya tanpa perasaan dan
pertimbangan apa pun, selain merampas harta kekayaan yang diserang. Kemudian,
keturunannya pun melanjutkan kekejaman yang sama.
Seperti dikutip dari sejarawan muslim, Rasyid ad-Din, falsafah hidup
Jengis Khan itu seperti ini, “Kekayaan yang paling berharga bagi seseorang
adalah ketika ia dapat menaklukkan musuhnya, menyiksa musuhnya, menguasai harta
kekayaan musuhnya, menjadikan istri musuhnya merana yang tidak memiliki apa
pun, selain tangisan dan ratapan, menguasai kuda perang musuhnya, dan menguasai
tubuh istri musuhnya atau dengan kata lain membinasakan musuh sejadi-jadinya.”
Hiii, falsafah hidup yang mengerikan.
Lalu, akankah mereka muncul lagi?
Dalam surah Al-Kahfi, Zulkarnain berkata, “Ini (dinding) adalah
rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan
menjadikannya hancur luluh dan janji Rabbku adalah benar.” Kami biarkan mereka
pada hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi
sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semua.
Silakan merujuk pada buku tafsir yang dipercaya karena saya tidak
berkapasitas untuk menafsirkan kutipan ayat Al-Quran tersebut :D.
Buku Syaikh Hamdi mengenai Ya’juj
dan Ma’juj ini merupakan buku yang menarik karena ia mencoba menjawab ayat
Al-Quran dalam ranah ilmu pengetahuan. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun
1425 H atau 2004 di Riyadh, Arab Saudi, dan diterjemahkan tahun 2007 oleh
Penerbit Almahira, Jakarta. Kajian yang dilakukan Syaikh Hamdi terhadap Zulkarnain
serta Ya’juj dan Ma’juj adalah kajian literatur. Banyak buku yang dijadikan
rujukan oleh Syaikh Hamdi, terutama ensiklopedia. Meskipun ia juga melakukan kajian
lapangan—seperti langsung menuju tiga tempat yang dikunjungi Zulkarnain, yaitu
Maladewa, Kiribati, dan Cina—hal tersebut menurut saya hanya untuk mendukung
kajian literatur yang sudah dia lakukan. Kajian lapangan yang dilakukan oleh
Syaikh Hamdi juga kebanyakan metode observasi. Wawancara tentunya dilakukan, tetapi
sepertinya kurang begitu mendalam karena Syaikh Hamdi tidak menyebutkan bahwa
ia mewawancarai sejarawan lokal, terutama di Maladewa dan Kiribati. Menurut
saya, sih, karena berhubungan dengan sejarah, sepertinya perlu diwawancarai
sejarawan lokal yang benar-benar tahu soal sejarah dan budaya masayarakat
setempat, tetapi Syaikh Hamdi hanya mewawancarai penduduk lokal yang mungkin
kurang begitu dalam pengetahuan sejarahnya.
Dokumentasi pribadi Syaikh Hamdi ketika berkunjung ke Tembok Cina (Great Wall). Foto-foto ini di lampiran buku. |
Buku ini sepertinya berusaha disusun secara sistematis berdasarkan
perjalanan yang ditempuh Zulkarnain. Namun, yang menurut saya agak mengganggu,
yaitu pengulangan dari awal hingga akhir bahwa Zulkarnain itu adalah Akhnaton
yang melakukan perjalanan ke Cina. Sebelum Zulkarnain sampai Cina, dari awal
membaca, saya sudah tahu bahwa Zulkarnain adalah pangeran Mesir yang melakukan
perjalanan ke Cina. Jadi, unsur kejutannya, menurut saya, agak kurang terasa.
Kesalahan dalam editing naskah tentunya ada dalam buku ini. Saya tidak
merujuk buku Syaikh Hamdi yang asli yaa (buku yang berbahasa Arab), tapi saya merujuk
pada buku terjemahannya yang saya baca ini. Kok, saya merasa editor bukunya
agak terburu-buru menerbitkan buku ini karena ada kaidah kebahasaan yang menurut
saya kurang sesuai, terutama bagian catatan kaki. Di teks ada nomor catatan
kaki, tapi tidak ada keterangan catatan kakinya. Di lain sisi, halaman yang ada
catatan kakinya selalu dimulai dari nomor 1, tidak melanjutkan nomor catatan
kaki sebelumnya. Biasanya perpindahan catatan kaki ada di setiap bab, tetapi di
buku ini perpindahan nomor catatan kaki ada di setiap halaman :D.
Ada pula kata yang menurut saya seharusnya “tebersit” ditulis dengan “terdetik”
yang membuat saya harus membuka KBBI lagi, adakah kata tersebut? Kata terdetik
sih tidak ada, yang ada itu detik, berdetik, mendetik, dan detikan. Detik itu
merujuk pada waktu, sedangkan maksud tulisan di sini adalah tersembul
tiba-tiba, jadi yang seharusnya ditulis tebersit, bukan terdetik. Ada lagi
penyebutan nama Tagalog (Thailand) yang menurut sepengetahuan saya seharusnya
tertulis Filipina. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, ada baiknya tim editor
perlu cek dan ricek sebelum siap cetak. Mungkin, tim editornya kehabisan
tenggat deadline sehingga sebelum cek dan ricek lagi, buku sudah harus siap
cetak. Tapi, kesalahan editing naskah, terutama kesalahan ketik, biasanya bisa
dimaklumi, sepanjang enggak banyak banget dan enggak fatal serta sepanjang
maksud dari buku enggak berubah dan tersampaikan ke pembaca.
Secara keseluruhan, buku ini tetap menarik untuk dibaca, kok. Pertama,
tentunya menambah pengetahuan, terutama sejarah. Kedua, bisa jadi ada kajian
lanjutan untuk membahas tema ini dengan penelusuran yang lebih dalam lagi.
Membaca buku ini, saya ingat petuah Arab yang mengatakan bahwa tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina karena jauh sebelumnya Cina sudah bersinggungan
dengan peradaban yang juga tinggi pada masa itu, yakni Mesir. Wallahu a’lam.
*FYI, sepanjang yang saya tahu bahwa tuntutlah ilmu sampai ke negeri
Cina merupakan hadis Nabi SAW. Namun, hal tersebut sepertinya terbantahkan
karena ada perawi yang dianggap sebagai pendusta dan tukang hadis palsu. Jadi,
konon ungkapan tersebut sebenarnya bukan hadis, tetapi petuah Arab yang sudah
ada sebelum Islam masuk.
0 komentar