Mungkinkah Menjadi Zero Waste di Indonesia?
April 29, 2018
Judul di atas adalah pertanyaan untuk diri saya sendiri. Ketika saya
membaca dan menonton channel mengenai zero waste, saya berpikir bahwa agak
ribet ya kalau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena kita biasanya dimanja
oleh kepraktisan plastik. Saat ini, siapa sih yang tidak bersentuhan dengan
plastik? Pasti banyak di antara kita—termasuk saya—bersinggungan dengan yang
namanya plastik. Plastik itu menjawab kerumitan hidup manusia dan pastinya murah.
Saya pernah mem-posting bahwa zero waste lifestyle menerapkan gaya hidup
tanpa menghasilkan sampah. Nah, salah satu penghasil sampah terbesar adalah
plastik. Mereka enggan untuk menggunakan plastik karena kita semua tahu bahwa
proses mengurai suatu plastik yang dibuang itu bisa beratus-ratus tahun
lamanya. Ada juga plastik yang susah terurai dan menghasilkan mikroplastik.
Mikroplastik ini banyak banget di lautan luas sana dan konon sering dimakan
oleh ikan atau burung karena dianggap makanannya. Karena itu, para pengusung
zero waste ini berusaha hanya menghasilkan sampah yang bisa dijadikan kompos
untuk bumi. Dua orang yang menurut saya sangat inspiratif membawa konsep ini
adalah Bea Johnson dan Lauren Singer. Saya belajar banyak mengenai zero waste
dari mereka.
Kemudian, secara tak sengaja, saya menemukan Beth Terry yang mengusung
konsep plastic free alias bebas plastik. Menurut saya, yang diusung oleh Beth
Terry lebih ekstrem dibanding zero waste. Terry benar-benar menghindari plastik;
sedangkan zero waste menghindari plastik, tetapi sebagian masih menggunakan
plastik yang reusable. Biasanya, zero waste masih mengumpulkan sampah yang
tidak terurai dalam sebuah toples. Inti dari keduanya sih sama-sama menolak
plastik karena efeknya tidak bagus untuk kesehatan manusia dan bumi.
Saya tahu bahwa sampah plastik itu memang sulit diurai dan memiliki dampak
buruk terhadap kehidupan bumi. Namun, dulu-dulu, saya belum aware dengan
masalah beginian hingga akhirnya saya bertemu dengan Lauren Singer, Bea
Johnson, dan Beth Terry. Ada yang menyebutkan bahwa Indonesia darurat sampah
(bisa dibaca artikel di Kompas atau National Geographic). Produksi sampah
plastik di Indonesia termasuk peringkat kedua di dunia setelah Cina. Menurut
Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah, yang dikutip oleh CNN Indonesia, lebih
dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menit dan 50% plastik tersebut
hanya sekali pakai, langsung buang; hanya 5% yang benar-benar bisa didaur
ulang. Ke manakah sisanya? Konon, hampir sebagian besar limbah/sampah plastik
itu dibuang ke laut. Di salah satu dokumenter yang pernah diterbitkan Vice,
sang reporter diajak ke tengah laut untuk meneliti kondisi air laut. Nyatanya,
di tengah lautan antah-berantah sana, limbah plastik pun masih ditemukan,
mengapung-apung di lautan luas. Kalau begitu, saya kepikiran dengan hewan-hewan
di laut, apakah yang akan mereka makan jika laut pun tercemar oleh limbah
plastik. Pernah lihat foto jasad burung yang di perutnya berisi banyak produk
plastik, kan?
Gambar dari sini |
Awal tahun 2016, Pemprov DKI Jakarta membuat peraturan baru mengenai
pembatasan penggunaan kantong plastik di berbagai toko retail (supermarket).
Pembatasan tersebut konon bisa menekan penggunaan kantong plastik sekitar
20—30%, tetapi peraturan tersebut dicabut karena dasar hukumnya belum jelas dan
ke manakah uang Rp200 itu digunakan secara pembeli tentunya sudah dikenakan
pajak dalam belanja. Ditambah lagi, peraturan tersebut tampaknya tidak merata
di setiap lini karena plastik masih secara bebas digunakan di pasar-pasar
tradisional. Bahkan, kalau dipikir-pikir, penggunaan kantong plastik di pasar
tradisional itu cenderung lebih royal dibanding di supermarket.
Pembatasan penggunaan kantong plastik mungkin bisa dijadikan langkah awal
untuk menerapkan gaya hidup bebas sampah. Memang tidak harus langsung banting
setir berubah menerapkan gaya hidup ini karena pastinya butuh proses dan
pembelajaran. Tapi, apakah benar-benar bisa?
Seharusnya, pertanyaannya bukan “benar-benar bisa”, tapi “mau enggak”.
Mungkin itu balik lagi ke diri masing-masing. Dari apa yang saya pelajari, zero
waste lifestyle itu gampang-gampang susah. Apalagi jika barang yang kita mau
itu dikemas oleh plastik dan rasanya enggak mungkin menemukan barang itu tidak
dikemas dengan plastik. Ditambah lagi, di sini enggak ada supermarket yang
mengusung sistem bulk seperti di Amerika Serikat. Tapi, seharusnya ini bukan
kekhawatiran karena Indonesia masih punya banyak pasar tradisional yang
penjualnya cukup mengerti bahwa kita membawa kantong belanjaan sendiri walaupun
mereka cukup royal dalam memberikan kantong plastik. Menurut saya, pasar
tradisional menjadi salah satu solusi untuk menerapkan zero waste.
Bagaimana dengan yang enggan ke pasar tradisional karena pasar
tradisional itu kesannya jorok dan bau? Untuk beberapa daerah, pasar
tradisional sudah diubah menjadi pasar tradisional yang cukup nyaman bagi
pembeli, istilahnya pasar modern. Di pasar jenis ini, biasanya pedagangnya
dibuat lebih rapi, tempatnya pun lebih nyaman, enggak bau dan enggak jorok. Kalau
enggak mau juga ke pasar jenis ini, bisa datang ke tukang sayur. Mungkin ini
alternatif lain untuk belanja kebutuhan sehari-hari, tanpa harus ke pasar.
Biasanya tukang sayur mirip-mirip penjual di pasar, barang jualannya beragam,
tetapi muat untuk gerobaknya.
Jika enggak mau banget ke pasar atau ke tukang sayur, ya harus ke
supermarket. Tentunya di supermarket ini lebih nyaman dibanding pasar. Variasinya
juga banyak banget, mulai dari yang berkemasan hingga yang curah. Kalau mau
menerapkan zero waste, tentunya pilih yang curah yang kita kemas dengan kantong
yang kita bawa dari rumah. Di Hypermart, model curah begini lumayan bervariasi,
mulai dari sayuran, buahan, hingga bumbu dapur. Dan, sepertinya hal yang sama
juga berlaku untuk supermarket besar lainnya.
Untuk menuju zero waste, saya sudah mengganti kantong plastik dengan
reusable bag yang terbuat dari bahan. Mungkin ini adalah hal mendasar untuk
mengurangi penggunaan kantong plastik. Memang kantong plastik bisa digunakan
beberapa kali, tapi tetap saja tidak tahan lama seperti tas kanvas. Saya juga
mengurangi penggunaan styrofoam yang memang tidak bagus untuk kesehatan tubuh
karena zat kimia yang terkandung di dalamnya, selain ia sangat mencemari
lingkungan. Styrofoam itu saya ganti dengan tempat makan yang bisa digunakan
berkali-kali. Begitu juga dengan air minum kemasan yang saya ganti dengan wadah
minum yang juga bisa digunakan berkali-kali. Ini juga mencakup sendok, garpu,
dan sedotan. Semuanya termasuk kategori reusable walau ada yang masih terbuat
dari plastik. Saya sering beli kue yang 2000-an dengan wadah ini sehingga
enggak perlu kantong plastik. Saya juga pernah beli nasi goreng dengan wadah
makanan, tapi saya lupa kalau kerupuknya dibungkus plastik. Untuk wadah minum,
saya pernah beli es medan di pinggir jalan dengan wadah ini. Bahkan, McDonald
menerima wadah minum saya ketika saya membeli McFlurry rasa oreo. Jadi, hal
penting yang selalu saya bawa ketika saya pergi adalah wadah makan dan minum
lengkap dengan sendok dan sedotan. Enggak perlu diisi dari rumah, cukup dibawa
aja, siapa tahu saya akan mampir di warung untuk beli makanan atau minuman.
Nah, kalau dipikir-pikir, menjadi zero waste di Indonesia tidak perlu
takut kelaparan karena sepertinya sih penjual makanan cenderung mau menerima
wadah yang kita bawa dari rumah. Kalau ada yang enggak nerima, lebih baik sih
enggak usah dibeli. Idealnya begitu :D.
Yang masih menjadi ganjalan di pikiran saya mengenai zero waste ini
adalah perlengkapan mandi. Bagaimana cara mengurangi limbah plastik pada
perlengkapan mandi? Browsing di google, saya menemukan tips yang kebanyakan dibuat
oleh orang bule. Mengikuti tips orang-orang bule ini gampang-gampang susah
karena bahan-bahan yang biasanya ada di negeri mereka, belum tentu ada di
negeri ini. Misalnya, vinegar yang saya terjemahkan sebagai cuka. Vinegar di
sana dikemas dalam botol kaca, sedangkan di sini hampir semua cuka dikemas
dalam wadah plastik sehingga saya perlu mikir untuk membelinya. Mau enggak mau,
berburulah ke supermarket besar atau supermarket yang banyak menjual barang
impor, seperti Ranch Market. Di Hypermart, vinegar seperti yang digunakan oleh
Bea Johnson dijual di sana dalam botol kaca kecil. Soal sabun dan sampo, solusi
untuk saat ini adalah membeli produk mandi yang botol plastik bekasnya bisa
dikembalikan ke toko, seperti Body Shop. Tapi, yaa, kita sama-sama tahu bahwa
belanja di Body Shop untuk orang Indonesia seperti saya yaa lama-lama bisa
tekor juga. Untuk beberapa hal, memang saya tetap menggunakan Body Shop, terutama
face wash karena sifatnya cocok-cocokan, apalagi untuk kulit wajah saya yang
sensitif. Tapi, hanya untuk beberapa produk, enggak semua produk :D.
Alternatif lain yang sudah saya lakukan adalah membeli sabun mandi dengan
bungkus kertas, tanpa plastik, dengan merek Bee & Flower. Sabunnya bukan
cair, tapi batangan dan konon impor dari Cina. Sabun ini sepertinya termasuk
jarang yang jual :D. Dulu, Hypermart pernah menjual sabun ini, tetapi
akhir-akhir ini sudah tidak lagi. Untuk sampo, karena sampo itu sifatnya
cocok-cocokan dan saya enggak tahu bagaimana memproduksi sampo sendiri, saya
pun mencoba the no poo method—keramas tanpa sampo. Metode ini merupakan alternatif
bagi yang ingin mengurangi sampah plastik. Nah, kalau mau tahu jelasnya metode
ini, sila baca di sini.
Menjadi zero waste itu enggak hanya memikirkan daur ulang sampah seperti
yang sering dipahami banyak orang. Mungkin sama seperti konsep go green yang
juga sering dipahami orang sebagai serbahijau. Padahal, enggak harus seperti
itu juga. Beberapa bulan yang lalu, saya mendengar konsep zero waste Indonesia
(Indonesia tanpa sampah) sudah mulai digaungkan. Di Sidoarjo, gaungnya sudah
mulai terdengar melalui zero waste Sidoarjo. Indonesia juga sudah memiliki
penggerak yang mengusung konsep zero waste ini yang dapat ditelusuri melalui
akun instagram (at)zerowasteid. Melalui akun tersebut, saya ketemu dengan akun
(at)bebassampahid dan (at)zerowastenusantara. Menarik banget, bahkan ada forum
diskusi di facebook yang bicara mengenai gaya hidup ini. At least, melalui forum
seperti ini, yang ingin belajar untuk menjadi zero waste bisa saling diskusi
dan bertanya.
Ya, harus saya akui, menjadi seseorang yang memegang prinsip zero waste
itu enggak semudah membalikkan telapak tangan (tsaelaaah). Sepertinya sih butuh
belajar mengenai produk-produk yang ramah lingkungan. Namun, saya berpikir,
bagaimana saya akan belajar kalau saya tidak memulai aksi untuk lebih aware
dengan masalah sampah/lingkungan. Jadi, kembali lagi ke judul artikel ini,
mungkinkah menjadi zero waste di Indonesia? Mungkin iya dan mungkin tidak.
Ribet? Tergantung dari cara pandang kita. Jujur, hal ini malah menjadi
tantangan buat kita, terutama saya :D. Kalau untuk orang-orang yang praktis,
gaya hidup kayak gini ribet dan nambah-nambah kerjaan. Tapi, kalau untuk orang
yang mau belajar hal baru dan peduli lingkungan, mungkin gaya hidup ini bisa
dikatakan tantangan. Saya adalah orang yang sangat praktis dan ketika menemukan
gaya hidup seperti ini, saya malah tertarik untuk belajar. Memang, sih, saya
belum 100% zero waste, tapi saya sudah bisa mengurangi konsumsi plastik dan
styrofoam saya selama ini. Enggak perlu mengganti semua kemasan plastik yang
ada di rumah dengan toples kaca atau sesuatu yang berbau stainless. Sepanjang
kemasan plastik merupakan produk reusable, seperti wadah makan dan minum saya,
kita sudah memberikan kontribusi untuk mengurangi pemakaian barang sekali pakai
(disposal). Nah, ke depannya, secara pelan-pelan, kita akan tertantang untuk
belajar menjadi lebih bijak dalam penggunaan plastik.
Enggak mau, kan, ngeliat tempat pembuangan sampah akhir menjadi luber ke
depannya gara-gara kita tidak bijak menggunakan plastik? Memang, soal tempat
pembuangan sampah akhir ini bukan urusan kita, tapi dampaknya akan kena ke generasi
penerus kita. Enggak mau, kan, dianggap sebagai pewaris sampah?
Yuks, menjadi lebih “hijau” dan lebih bijak untuk bumi kita 😊.
0 komentar