Very Good Lives: Ketika JK Rowling Memberi Nasihat
Maret 10, 2019
Beberapa waktu yang
lalu, saat iseng mencari-cari ceramah inspiratif, saya menemukan dua
penulis favorit saya—Neil Gaiman dan JK Rowling. Mereka diundang khusus sebagai penceramah di acara
wisuda. Neil Gaiman berbicara di University of the Arts, sedangkan JK Rowling
berbicara di Harvard University. Neil Gaiman berbicara mengenai make good
art, sedangkan JK Rowling berbicara soal kegagalan dan imajinasi. Keduanya
berbicara soal suatu hal yang lebih penting penting dibandingkan pencapaian
dalam bentuk angka. Bahkan, keduanya pun sama-sama membukukan ceramah
inspiratif mereka: Neil Gaiman dengan Make
Good Art dan JK Rowling dengan Very
Good Lives.
Di Indonesia, yang saat
ini beredar adalah buku JK Rowling yang berjudul Very Good Lives. Buku tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka
Utama tahun 2018. Karena hanya isi ceramah selama kurang lebih 20-an menit,
buku tersebut pun dikemas dengan cukup menarik walau sebenarnya tipis banget. Bahkan,
saya yang agak lama membaca dapat selesai membaca buku Very Good Lives ini
selama perjalanan di bus
TransJakarta dari Buncit menuju Ciputat.
Karena isinya ceramah
untuk mahasiswa, tentunya apa yang disampaikan menginspiratif. Gak hanya untuk
mahasiswa Harvard ya, tetapi orang lain juga. Saya saja yang membacanya juga
merasa terinspirasi dengan kata-kata Rowling.
Dalam ceramahnya, ia
membagi cerita saat seusia dengan para wisudawan Harvard, bagaimana orang
tuanya berpikir bahwa mempelajari Mitologi Yunani tidak akan membawa pada
kedudukan eksekutif di perusahaan, dan bahwa kegagalan adalah hal yang paling
ditakutkan dibandingkan kemiskinan. Bagi Rowling, mungkin lulus ujian merupakan
capaian keberhasilan dalam hidupnya dan juga teman-temannya.
“Saya juga tahu bahwa meskipun
kalian masih muda, berbakat, dan berpendidikan tinggi, bukan berarti kalian
tidak pernah tahu yang namanya
kesusahan dan sakit hati. Memiliki bakat dan kecerdasan bukan berarti kebal
dari yang namanya takdir, dan saya tidak beranggapan bahwa semua orang
di sini menjalani hidup dengan mulus-mulus saja.”
Rowling menganggap dirinya adalah orang yang paling gagal ketika
pernikahannya hanya seumur jagung, tidak punya pekerjaan, orang tua tunggal,
dan termasuk orang miskin untuk standar Inggris modern walau belum masuk
kategori tunawisma. Namun, kegagalan itu malah membuatnya membuatnya bangkit.
“Saya terbebas karena ketakutan terbesar saya sudah terjadi dan saya
masih hidup, saya masih punya anak perempuan yang sangat saya sayangi, punya
sebuah mesin ketik tua, serta inspirasi yang besar. Dan dasar jurang justru menjadi
fondasi yang kukuh untuk membangun kembali hidup saya.”
“Jadi, jika diberi Pembalik-Waktu saya akan menasihati diri saya yang
berusia dua puluh satu tahun bahwa kebahagiaan diri adalah tahu bahwa hidup
bukanlah sederet perolehan atau keberhasilan. Kualifikasi dan daftar riwayat
hidup bukanlah hidup kalian, walaupun kalian nanti akan bertemu banyak orang
seusia saya yang lebih tua, yang tidak bisa membedakan keduanya. Hidup ini
sulit dan rumit serta di luar kendali siapa pun, dan kerendahan hati untuk
mengetahui hal itu akan membuat kalian mampu melewati perubahan dalam hidup.”
Setelah berbicara mengenai kegagalan, Rowling bercerita tentang
pentingnya imajinasi. Bukan hanya karena pentingnya dongeng sebelum tidur, tetapi
imajinasi merupakan kemampuan manusia yang menurut Rowling sangat unik untuk
membayangkan sesuatu yang tidak ada. Dengan demikian, imajinasi merupakan
sumber dari semua penciptaan dan inovasi.
Mengenai imajinasi, Rowling bercerita saat ia bekerja di kantor Amnesty International
di London. Saat itu, ia membaca banyak surat-surat yang diselundupkan keluar
oleh orang-orang yang mengambil risiko dipenjara demi bisa menginformasikan
kepada dunia apa yang terjadi. Ia membaca laporan-laporan yang ditulis oleh para
saksi mata tentang ringkasan persidangan, proses eksekusi, penculikan, dan
pemerkosaan.
Hal yang paling tidak akan ia lupakan ketika bertemu dengan seorang
korban penyiksaan dari Afrika yang menderita gangguan mental. Ketika sang
korban diminta berbicara di depan kamera, badannya gemetar tanpa bisa dikendalikan
akibat kebrutalan yang ia alami.
“Setiap hari, saya melihat lebih banyak bukti betapa kejamnya perbuatan
manusia terhadap sesamanya hanya demi merebut atau mempertahankan kekuasaan.”
Namun, Rowling juga belajar
kebaikan-kebaikan manusia di Amnesty International, yaitu mereka dapat
memobilisasi orang-orang untuk bertindak atas nama mereka yang pernah mengalami
siksaan dan penjara. Menurutnya, kekuatan empati manusia membawa pada
keberhasilan penyelamatan banyak jiwa dan pembebasan banyak tawanan—sesuatu yang
sangat membuat Rowling terkesan.
Dan, akhir dari semua ceramahnya adalah ketika ia mengutip Seneca,
seorang filsuf Romawi. “Sebagaimana cerita, begitu pulalah dalam kehidupan
nyata: bukan seberapa lama, tetapi seberapa baik hidupmu, itulah yang
terpenting.”
Pesan JK Rowling, "Saya mendoakan hidup kalian semua sangat baik." |
Ceramah yang bagus dan menginspirasi. Walau ditujukan untuk lulusan
Harvard, ceramah ini juga bisa jadi inspirasi untuk lulusan-lulusan lainnya.
Enggak hanya untuk lulusan sih, tapi orang-orang yang ingin menyerap kata-kata
bijak dari pengarang Harry Potter.
Nice book, nice words.
0 komentar