Melihat Tradisi

Desember 08, 2007


Malam menuju Buncit. Sekitar pukul 4 sore, saya meninggalkan rumah untuk mengunjungi sahabat baik yang sering saya kunjungi. Uang dikantong hanya seberapa, tak mungkin cukup. Namun, sang sahabat berjanji akan menghandle masalah keuangan saya untuk sementara waktu. Saya pun merasa beruntung karena ada yang rela memberikan saya kesenangan walau uang benar-benar tak ada dalam kantong. Di tengah jalan, ada sebuah spanduk besar terpasang di tengah perempatan. Spanduk ucapan selamat datang kepada seorang habib besar.

Ketika acara dengan sahabat selesai, saya pun pulang ke Buncit. Hampir pukul sembilan malam. Jalanan antara Depok dan Buncit hampir sepi di beberapa ruas. Hanya ada satu ruas yang cukup ramai di sebuah masjid yang tidak besar di daerah Lenteng Agung. Saya hanya melihat sepintas beberapa kelompok pria muda dan tua sedang berdiri membaca salawat badar. Ada beberapa orang yang terlihat khusyuk. Ada beberapa orang sibuk dengan dirinya sendiri. Lalu, saya melihat sebuah layar besar terpampang di depan masjid, memperlihatkan wajah seorang pria yang suaranya begitu mendayu-dayu menyanyikan doa pujian.

Angkot pun kembali berlalu. Meninggalkan peristiwa itu begitu saja. Seperti malam yang juga akan bertambah malam. Setelah berganti mobil, saya kembali melintas. Kali ini dengan bus S 75 yang lewat di daerah Pasar Minggu. Agak miris melihat keadaan pasar yang tidak pernah terlelap ini. Hiruk pikuk tetap saja terasa walau malam kembali menjepit rongga-rongga dada para manusia. Tidak ada salawat di sana. Sepertinya, salawat tak pernah menyentuh tempat ini. Bus kembali mengajak saya melewati jalan-jalan yang biasa ia lewati. Setelah melewati pasar, jalan pun kembali sepi. Sama seperti saya melintasi daerah Lenteng Agung.

Lalu, mata saya kembali ditarik oleh beberapa rombongan orang. Mereka kebanyakan pria, berpakaian koko putih dengan peci putih di kepalanya. Mereka mengendarai motor dan melintasi jalan-jalan. Ada beberapa yang berhenti sambil melihat ke satu arah, seperti seorang yang tengah menanti. Bahkan, ada rombongan anak-anak kecil berkendaraan sepeda yang juga ikut menanti. Saya teringat spanduk yang dipasang di perempatan jalan tadi. Sepertinya akan ada penyambutan besar datangnya seorang habib besar.

Saya bertanya-tanya, seperti apakah habib ini hingga banyak sekali orang yang menanti seolah-olah ingin menonton konser Evanescence di Perancis. Mungkin, seorang yang sangat mulia hingga banyak pengikutnya. Menurut pengamatan saya, seorang pandai agama itu pasti memiliki banyak pengikut yang menginginkan kemulian dan karamah dari si habib. Saya jadi teringat Syamsuddin Al-Sumatrani yang begitu akrab dengan saya selama satu tahun saya menyusun skripsi. Syamsuddin pasti memiliki karamah yang lebih besar dibanding habib ini karena Syamsuddin adalah penasihat kerajaan yang seorang ulama. Ia juga seorang sufi yang pastinya kemuliaan dan karamahnya lebih banyak dibanding habib ini. Karamah Syamsuddin terlalu besar hingga ajarannya dianggap menyesatkan. Menurut saya, bukan Syamsuddin dan ajarannya yang sesat, hanya orang-orang yang mengartikan ajarannya itu yang sesat. Baik muridnya yang sok tahu dan si ulama yang membakar seluruh karyanya.

Saat ini, begitu banyak orang yang sok tahu yang mengartikan berbagai pemikiran, baik dari kitab suci maupun dari pemikiran-pemikiran ulama. Ironisnya, orang-orang yang sok tahu ini mengajarkannya kepada banyak orang yang ditelannya mentah-mentah. Di satu sisi, ada sebuah bentuk kekuasaan yang selalu menghakimi tanpa dasar adanya rasa kekeluargaan. Jadi, slogan Bush pun mungkin ikut disuarakan di sini, “Anda ikut kami adalah kawan, Anda tak ikut kami adalah lawan. Ketika keduanya disatukan, muncullah bentuk kekonyolan dalam kehidupan. Hingga banyak yang bingung, mana yang harus dipegang? (Ah, kenapa saya menjadi kehilangan sosok Syamsuddin?)

Saya tidak tahu bagaimana sosok habib besar ini. Apakah ia mirip seorang Syamsuddin? Apakah mirip seorang yang menghakimi? Apakah mirip seorang yang sok tahu?

Sayangnya, bus yang saya tumpangi begitu cepat mengantar saya pulang hingga saya belum sempat melihat sang habib lewat. Namun, saya sempat menoleh sesaat, menoleh ke arah jalan yang saya lalui. Di pinggir jalan itu masih banyak orang-orang yang berdiri dan menanti sang habib. Dengan pakaian putih-putih, mereka berdiri di antara hembusan angin malam. Muda, tua, kaya, miskin, besar, kecil; semua menoleh ke satu arah dan menanti, seperti sebuah dentang pintu Padang Masyhar. Dan inilah tradisi di antara lampu-lampu kota yang terus menyerap waktu.

Kastilku, 3 Juni 2007, 3:21 PM

*Foto dari sini.

You Might Also Like

0 komentar