Suramadu Bridge

Agustus 01, 2010

Ini kebanggaan Indonesia yang diaku-aku banyak pejabat. Jembatan Suramadu. Singkatan dari Surabaya-Madura. Kayaknya, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Indonesia dan antarpulau. Dulu-dulu, tiap kali mau ke Madura, harus naik kapal feri. Nah, sekarang, enggak perlu naek feri dan masuk pelabuhan, tapi cukup bayar tol. Saya lupa berapa biaya tolnya. Namun, ke Madura lewat jembatan ini jadi lebih praktis. Namun, kalau tiap hari bolak-balik Madura-Surabaya lewat sini, tekor juga. Mending menetaplah untuk beberapa saat.

Saat di Jawa Timur, rasanya kurang afdol kalau enggak ke sini. Saya memaksa kakak saya untuk mengantar saya ke sana. Bela-belain dari tengah Jawa Timur, menuju utara Jawa Timur hanya untuk merasakan bagaimana melintas di atas Jembatan Suramadu.

Jalan yang saya lalui lumayan panjang. Apalagi, melewati daerah kekuasaan para truk dan bus. Saya juga lewat Pasar Turi yang bekas terbakar. Sempat nanya, apa sih yang dijual di Pasar Turi. Katanya, macem-macem dan murah-murah. Mungkin, mirip Pasar Mangga Dua kali ye, segala barang ada.

Lewat pasar, ketika buka jendela, bau-bau laut mulai berasa. Asin-asin gitu. Udara laut yang agak-agak lengket terasa nempel di kulit. Namun, semua terbayarkan ketika berhenti di atas jembatan.


Saya waswas juga takut dijaring John Pantau. Hahaha. Kan, di atas jembatan katanya enggak boleh berhenti. Tapi, kapan lagi berhenti dan foto-foto di atas Jembatan Suramadu. Wow, merasa jalan di Golden Gate, San Fransisco. Hihihi. Ternyata, tidak hanya mobil saya yang berhenti, tapi banyak mobil yang juga berhenti sekadar foto-foto.


Sayangnya, jalur mobil tidak langsung di pinggir jembatan yang bisa melihat laut. Jalur mobil berada di tengah-tengah. Di pinggir-pinggir jembatan, ada jalur motor yang kecil dan kayaknya muat cuma dua motor yang mepet. Jalur mobil seperti diapit oleh jalur motor di kanan-kiri. Tapi, hal itu tidak menyurutkan keinginan berhenti di tengah-tengah Jembatan Suramadu untuk berfoto.

Keluar dari jembatan, para pengendara disambut oleh kios-kios tidak permanen para pedagang. Saya sempat mampir untuk cari-cari. Berdasarkan buku yang saya baca, batik Madura memiliki ciri khas sendiri. Maka itu, saya mau mencari batik yang menjadi warisan budaya Indonesia.

Nah, hampir di semua kios ini menawarkan batik-batik. Ada yang cetak dan konon ada yang tulis. Yang cetak tentu harganya lebih murah daripada batik tulis. Tentunya, bisa ditawar. Saya bertanya di satu pedagang, apa ciri khas batik Madura. Kata pedagangnya, ada corak burung di kainnya. Hm, mirip batik Betawi yang konon burung adalah andalannya. Kemudian, saya pindah ke toko sebelah. Iseng-iseng nanya batik sambil beli kain batik yang saya naksir. Kata penjual di toko sebelah, ciri khas batik Madura yang seperti batik tulis yang dipajang. Dasarnya hitam dengan corak-corak berwarna merah atau hijau. Lha, enggak ada corak burungnya sama sekali. Harga batik tulisnya lebih mahal dari batik biasa. Kalau harga batik cetak 50 ribu, harga batik tulisnya sekitar 90 ribu. Katanya, masih boleh ditawar. Namun, pedagangnya baik-baik dan tidak memaksa. Beli enggak beli tetep dilayanin dengan antusias. Saya malah enggak enak karena nanya-nanya mulu, tapi enggak beli.

Ciri khas Madura adalah celurit. Di kios-kios ini ada banyak imitasi celurit. Rata-rata buat gantungan kunci. Kalau mau ngasih oleh, mending beli celurit banyak-banyak. Ada juga ciri khasnya yang lain adalah pecut-pecutan. Dibuat model mini buat mainan anak-anak. Harganya sekitar 10 ribu dan gagangnya dibungkus dengan rajutan wol warna-warni.

Namun, yang paling cantik menurut saya adalah kipas khas Madura yang warna-warni. Dulu, kakak saya pernah beli kipas model begini waktu pertama kali ke Madura naik feri. Kipasnya mungkin seukuran kipas rotan, tapi berbentuk sekop. Di tengahnya, dirajut wol warna-warni. Pinggirnya diselimuti benang wol yang juga warna-warni. Cantik banget. Saat saya beli kipas di kios itu, ternyata ukurannya lebih kecil. Akan tetapi, tetap cantik dan menarik. Melihat itu rasanya cerah dan berwarna. *Lebay!

Habis dari Madura, saya langsung balik untuk berkemas kembali ke Jekate. Perjalanan ke Jekate agak menyiksa karena harus melawan panas terik Pantai Utara. Ditambah lagi, jalur yang penuh dengan truk-truk yang besarnya segambreng. Saat itu, ada dua titik yang menjadi biang macet karena ada perbaikan jalan. Sempat terjebak juga, tetapi salip sana-sini, akhirnya bisa lewat dari kemacetan. Konon, untuk jadi sopir antarkota antarprovinsi harus seperti itu. Kalau enggak, ya mana nyampe. Apalagi, sepuluh truk yang segambreng berhenti, jalan yang terhenti bisa satu kilometer lebih. Bagaimana jika puluhan truk? Jalur Pantai Utara, kan, memang tempatnya truk-truk lewat.


Namun, dengan selalu menaati aturan yang ada walau harus salip-menyalip dengan truk, saya dan keluarga tiba di Jekate dengan selamat. Oleh-olehnya rasa capek karena kelamaan duduk di mobil dan berat badan yang bertambah. Yiiihaaa!!! Atur diet lagi.

You Might Also Like

1 komentar