to XXI: london boulevard review

Maret 01, 2011

Blueberry Cupcake kembali ke ibu kota setelah semedi lama di kota tempat bolu meranti ada. Karena sudah lama enggak bersua, bertemulah saya, Blueberry Cupcake, dan Nina di pusat kota. Tujuan kami karena ada Kompas-Gramedia Book Fair. Saya hanya membeli beberapa buku yang sebagian besar obral, macam teenlit. Tertarik sih ngeborong, tapi kantong enggak mendukung :)). Apalagi sekarang udah banyak yang online. Jadi, kalo emang niat mo beli, cukup klik via online.

Maka itu, kami berlanjut ke mal sebelah yang kayaknya agak menjanjikan. Tujuan utama kami adalah XXI. Udah lama enggak ke tempat ini dan pengen denger kabar-kabur bioskop 21 dan kroni-kroninya. Ternyata eh ternyata nyangkut-nyangkutnya di masalah pajak en kenaikan harga tiket. Begitu sih denger-denger. *Halaaah...

Pilihan untuk nonton enggak terlalu banyak. Filmnya berat-berat, padahal otak lagi gak mau diajak berat-berat. Hahahaha. Kami juga enggak mau terjebak seperti dulu--salah milih film hanya karena dibuka dua studio. Jadinya, saya cuma menikmati nyamannya tempat duduk XXI sambil selonjoran (karena cuma ada lima orang), tanpa mengerti maksud dari film, kecuali darah muncrat di mana-mana.


Nah, film kali ini yang kami pilih adalah London Boulevard dengan pertimbangan Collin Farrel dan Keira Knightley. Agak subjektif, tapi biasanya kalo subjektif milih film dan bukan atas rekomendasi para pakar, lebih enak ditonton. Bukan karena ceritanya, tapi karena pemainnya. Hahahaha.

Film pun dimulai dengan awal yang bagus--menurut saya, terutama dari sisi pengambilan gambar. Ceritanya juga mengalir walau alurnya lambat dan kadang buat orang pengen tidur. Aksen British pemainnya keren dan entah mengapa (saya bukan penggemar Collin Farrel) Collin Farrel tiba-tiba jadi keren.

3o menit pertama, masih meraba-raba ini cerita tentang apa. 30 menit kedua, saya belum lihat alur ini akan dibawa ke mana. 30 menit ketiga saya menyipitkan mata, menatap layar seserius mungkin, dan menangkap setiap kata yang diucapkan oleh pemainnya. Sisa waktu berikutnya, saya mati gaya. Film berakhir, saya cuma tertawa. "Udah selesai ini film?" saya bertanya sambil cengar-cengir. "Begitu doang? Jadi gimana terakhirnya?"

Intinya, filmnya itu sangat tidak jelas. Mungkin, filmnya terlalu berat hingga otak saya agak susah diajak nonton film berat. Semua karakter memang jago akting, tetapi akting tanpa alur. Setiap scene tampaknya terpisah dan susah untuk disatuin. Yang paling terbayang-bayang adalah adegan Keira memberikan minum kepada Collin. Kata Blueberry Cupcake, "Bagus nih buat foto prewed." Bener juga. Sayang, enggak nemu fotonya di mbah Google. Satu hal yang membuat saya, Blueberry Cupcake, dan Nina tertawa adalah adegan mesra antara Collin dan Keira dibarengi dengan suara azan Maghrib yang tiba-tiba muncul dari hape seseorang di dalam ruangan itu. *Dua jempol untuk diingatkan menghadap. Hehehe.

Pada akhirnya, saya, Blueberry Cupcake, dan Nina cuma tertawa karena film itu. Kami tertawa karena ketidakjelasan film itu. Bisa-bisanya nonton terjebak lagi. Besok-besok, kalo mau nonton, harus lihat review dari pakar perfilman supaya enggak terjebak di kursi yang nyaman.

You Might Also Like

0 komentar