The Name of the Rose: Kisah My Dear Adso

Januari 30, 2015

The Name of the Rose adalah salah satu karya Umberto Eco yang dibilang bestseller karena mungkin sudah dijual lebih dari 50 juta eksemplar di berbagai negara. Berdasarkan halaman hak cipta, buku ini sudah diterbitkan tahun 1980 dan sudah masuk dalam New York Times Book Review. Menurut Wikipedia, ini adalah novel pertama Eco yang mengambil latar abad pertengahan. Karena kita tahu bahwa Eco adalah pakar semiotik, novel ini juga mengangkat semiotik yang dibalut dalam kisah misteri pembunuhan. Tentunya, buku ini kece dong, tapi sayang saya baru baca sekarang ini. Hahaha. Jadi, ceritanya seperti apa?


Buku ini boleh dibilang adalah memoarnya Adso of Melk karena sudut pandang ceritanya ada pada Adso. Kisah-kisah yang ada The Name of the Rose berasal dari kacamata Adso karena dia yang melihat sekaligus mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama di sebuah biara. Saya gak tahu nama suatu biara itu karena hanya disebutkan suatu biara Benediktin yang ada di Italia Utara. Nah, siapa sih Adso ini? Adso of Melk adalah novis (istilah untuk rahib muda) dari Ordo Benediktin yang ikut serta dalam perjalanan Bruder William of Baskerville dari Ordo Fransiskan. Menurut Wikipedia, perjalanan tersebut sebenarnya juga mengacu pada pertentangan teologi yang terjadi pada saat itu. Hal ini karena ada latar belakang terjadinya beda pendapat antara raja yang terpilih dan paus, ditambah lagi dengan pemahaman yang berbeda mengenai kemiskinan dan tawa. Di pengantar, Adso memang cerita mengenai pertentangan tersebut dan bagaimana dia bertemu dengan William Of Baskerville. Namun, menurut saya, kunjungan William dan Adso ke biara di Italia Utara memang atas permintaan Abbas (pemimpin) biara tersebut karena sebelumnya sudah ada kasus meninggalnya seorang novis yang tiba-tiba jatuh ke jurang. Lalu, di sinilah petualangan William dan Adso menyelesaikan teka-teki tewasnya seorang novis dan diikuti dengan serangkaian terbunuhnya beberapa rahib di biara tersebut hingga biara itu hilang karena kebakaran. 

Sebenarnya, ketika saya membaca buku ini, saya ingat novel Dan Brown yang juga mengangkat kehidupan gereja. Jika Dan Brown bercerita dengan alur yang cepat, Eco bercerita dengan alur yang tidak cepat dan tidak lambat. Menurut saya, Eco membuat alurnya setahap demi setahap dengan suasanan abad pertengahan kala itu. Keseluruhan cerita sih ringan: ada pembunuhan, diselidiki, ketemu, selesai. Tapi, cara bertutur Eco yang menurut saya "megah". Misalnya, ketika Eco menggambarkan si Adso bercinta dengan seorang perempuan muda yang masuk diam-diam ke biara, kata-kata yang mengalir itu tidak picisan dan tidak jorok. Tapi, bagus dan penuh perumpamaan. Nah, Eco pun cerita (di bagian akhir buku) bahwa penggambaran itu dasarnya adalah kutipan teks religius. Kelihatan banget bahwa novel ini dibuat dan disusun dengan penelitian yang gak sebentar dan ditulis oleh pakarnya abad pertengahan dan semiotik. Jadi, banyak hal detail yang digambarkan dalam ovel ini. Bahkan, sebelum masuk cerita, Eco sudah menyuguhi pembaca dengan peta biara: letak gereja, letak perpustakaan, letak asrama rahib, dan klinik. Jadi, pembaca sudah tahu posisi-posisi bangunan ketika William dan Adso melakukan penyelidikan. Tidak hanya itu, Eco juga menggambarkan bangunan bagaimana hasil ilustrasi dari seorang rahib yang menurut saya agak pusing juga karena rumit. Pasti kebayang bagaimana gambar aslinya kalau kita bisa lihat. 

Saya tidak tahu bagaimana sejarah gereja, tapi dengan membaca ini, saya jadi tahu sedikit mengenai apa yang terjadi pada abad tersebut karena memang Eco pada catatan akhirnya menjelaskan pemilihan abad pertengahan yang menjadi latar kisahnya The Name of the Rose. Sebenarnya, ada pengetahuan sejarah yang diungkapkan dalam buku ini. Adso menceritakan bahwa pada saat itu, Paus Clement V sudah memindahkan takhta suci ke Avignon, sedangkan Roma dikuasai oleh orang-orang ambisius dan bangsawan setempat. Lalu, pada 1314, lima pangeran Jerman di Frankfurt memilih Louis dari Bavaria menjadi penguasa tertinggi kekaisaran itu. Namun, pada hari yang sama, di seberang Sungai Main, Count Palatine dari Rhine dan Uskup Cologne memilih Frederick dari Austria untuk menduduki jabatan yang sama. Jadi, ada dua kaisar untuk satu singgasana. Dua tahun kemudian, di Avignon, paus baru yang terpilih, Jacques dari Cahors yang memilih nama Yohannes XXII. Pada 1322, Louis dari Bavaria mengalahkan Frederick. Karena lebih takut pada kaisar tunggal daripada dua kaisar, Yohannes mengucilkan pemenang itu yang pada gilirannya mengutuk Paus tersebut bid'ah. Pada saat itu juga, Yohannes mengutuk usulan Ordo Fransiskan yang menyatakan bahwa kemiskinan Kristus sebagai masalah iman dan doktrin yang andaikan bersama pengikutnya ia memiliki sesuatu, hanya memilikinya sebagai usus facti (untuk dipakai seperlunya). Ini dimaksudkan untuk mengamankan kesalehan dan kemurnian ordo itu, tetapi paus tidak senang. 

Masalah kemiskinan yang menjadi pertentangan pada abad itu juga diangkat dalam novel ini. Sebenarnya, saya tidak paham betul mengenai sejarah sesungguhnya gereja pada saat itu. Namun, apa yang saya tangkap dari buku cerita ini adalah kesalahpahaman kemiskinan yang dimaksud oleh keduanya. Mungkin, Fransiskan menganggap bahwa kemiskinan adalah bentuk kesederhanaan dari Yesus yang seharusnya ditunjukkan oleh banyak umat. Namun, paus yang berkuasa menganggap bahwa kemiskinan itu malah membuat banyak orang menipu karena mengharapkan banyak sedekah dari orang lain, terutama kemunculan nabi palsu, seperti Fra Dolcino. Di sini, hukuman untuk para nabi palsu tidak tanggung-tanggung, yaitu dibakar--hukuman yang sama dengan pelaku praktik sihir. 

Nah, dari kisah ini, yang membuat saya kagum adalah aedificium. Di aedificium, ada perpustakaan dan ruang skriptorium. Perpustakaan adalah ruang yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun, kecuali pustakawan; sedangkan skriptorium adalah ruang kerja para sarjana, sejarawan, penyalin, rubrikator, dan sebagainya. Di sini, banyak rahib sarjana, sejarawan, penyalin, rubrikator, dan sebagainya. Di sini, banyak rahib sarjana yang bekerja menjadi penerjemah, penyalin, ilustrator, dan sebagainya. Banyak buku asing yang disalin dan diterjemahkan di sini, mulai dari buku berbahasa Yunani hingga Arab. Mereka membuatnya agar bisa mempertahankan pengetahuan. Di sini, saya sudah bisa terbayang bagaimana sibuknya para rahib yang bekerja di perpustakaan yang tentunya megah itu karena menyimpan banyak buku pengetahuan dari berbagai negara. 

Perpustakaan inilah awal mula dari segala misteri yang terjadi karena hampir semua korban yang tewas itu adalah para rahib yang bekerja perpustakaan. William dan Adso pun menyelidiki hal ini hingga mereka menemukan jawabannya. Mungkin, boleh dikatakan bahwa perpustakaan adalah awal cerita dan akhir dari cerita The Name of the Rose. Di sinilah apa yang menjadi pertanyaan itu terjawab dan dengan ending yang tak terduga. Menurut saya, sih, ending-nya tidak terduga. Tapi, kalau ditanya ke William, dia pasti sudah tahu bagaimana ending-nya karena dia sudah bisa menduga bagaimana kejadian ini dan siapa yang ada di balik itu semua.

Di sini, saya merasa bahwa sosok William ini mirip banget dengan Sherlock Holmes. William itu digambarkan kurus dan tinggi. Ia suka mengunyah daun yang Adso sendiri gak tau apa. Dia juga suka berpikir secara deduktif. Tentunya, William berasal dari Inggirs: negara yang sama dengan Sherlock Holmes. Mungkin, Eco terinspirasi oleh sosok Sherlock karena sosok Sherlock karena Eco sendiri mengatakan di catatan akhirnya bahwa buku selalu bicara tentang buku lainnya dan setiap kisah menceritakan suatu kisah yang sudah diceritakan. Jadi, wajar aja jika ada rasa-rasa Sherlock di sosok William of Baskerville.

Nah, yang mau baca kisah misteri kriminal dengan pengetahuan gereja abad pertengahan, buku ini memang boleh diacungi jempol walau saya sendiri kada perlu membaca ulang maksudnya apa. Ya, tentunya, novelnya gak bisa dibandingin dengan karya Conan Doyle, Agatha Christie, apalagi Dan Brown karena novel ini lebih satu tingkat di atas karya-karya mereka. Jadi, selamat membacaaa :p.

*Ada makalah penelitian karya Laksmi yang membahas novel ini dalam sudut pandang ilmiah. Silakan dicari via google. Menarik dan sangat membantu memahami karya Umberto Eco.

You Might Also Like

0 komentar