Epica: Band Symphonic Metal

September 03, 2016

Kalau ada yang belum tahu apa itu band symphonic metal, ada baiknya baca Kenalan dengan Symphonic Metal dulu. Di artikel itu, saya mengangkat soal apa sih symphonic metal itu karena lumayan banyak yang gak ngeh dengan musik tersebut, apalagi orang-orang di sekitar saya :D. Nah, kali ini, saya akan menulis Epica, salah satu band symphonic metal yang pernah saya singgung di tulisan saya sebelumnya.

Epica dengan formasi yang sekarang

Epica merupakan band symphonic metal pertama yang saya dengar. Saya mendengarnya pun secara enggak sengaja ketika sedang browsing youtube untuk mencari soundtrack Liga Dunia Basket. Lagu pertama yang saya dengar adalah “Crying for the Moon” dengan latar videonya di sebuah studio, lengkap dengan beberapa penyanyi opera sebagai penyanyi latar dan tentunya pemain orkestra. Menarik banget ketika mendengar musik rock yang berpadu dengan musik orkestra, suara opera perempuan, dan suara growling laki-laki. Semakin lama, saya semakin menyelami dunia Epica dengan musik-musiknya yang menurut saya menarik .

Epica dengan format awal

Epica adalah band symphonic metal yang berasal dari Belanda dengan enam orang anggotanya, termasuk anggota yang masih eksis dari dulu sampai sekarang, yaitu Mark Jansen, Simone Simons, dan Coen Janssen. Boleh dibilang mereka bertiga adalah leaders of the band. Band ini dibentuk mungkin sekitar tahun 2002 oleh Mark Jansen yang sebelumnya adalah gitaris band After Forever. FYI, After Forever merupakan band dengan vokalis utamanya Floor Jansen. Tahu, kan, siapa Floor Jansen? After Forever ini juga masih berada dalam genre metal, tetapi progresif. Setelah Mark Jansen keluar dari After Forever, dia pun membuat band dengan genre symphonic metal. Awalnya, nama band Mark Jansen itu bukanlah Epica, tetapi Sahara Dust dengan vokalis perempuan bernama Helena Iren Michaelsen. Tapi, gak lama, vokalisnya berganti menjadi Simone Simons yang saat itu hanya seorang beauty youtuber/blogger yang juga pacarnya Mark Jansen. Namun, Simone Simons ini bisa nyanyi dan Jansen suka dengan suaranya. Sekarang, sih, mereka bukan lagi pasangan karena Simons pun sudah menikah dan Jansen juga sudah pasangan. Di sebuah wawancara, Simons memang mengaku pernah pacaran sama Jansen ketika awal-awal Epica tumbuh, tapi ya mereka harus mengakhiri hubungan karena menurut mereka Epica lebih penting dari sekadar masalah pacaran. Then, Sahara Dust pun berubah menjadi Epica. Nama Epica pun diambil dari judul album band Kamelot. Nah, salah satu anggota band Kamelot ini adalah suaminya Simone Simons.

Saat ini, Epica termasuk band yang konsisten dalam melahirkan album baru. Sejak muncul pertama kali tahun 2002, Epica sudah menghasilkan enam album dan sekarang sudah siap rilis album yang ketujuh untuk tahun 2016, yaitu Holographic Principle. Album sebelumnya adalah The Phantom Agony (2003), Consign to Oblivion (2005), The Divine Conspiracy (2007), Design Your Universe (2009), Requiem for the Indifferent (2012), dan The Quantum Enigma (2014). Kalau dihitung-hitung jarak masing-masing album itu sekitar dua tahunan. Produktif banget untuk sebuah band, beda banget sama Evanescence yang lama banget merilis album. Isu yang diangkat oleh Epica dalam lagu-lagunya, seperti kebanyakan band symphonic metal yang saya dengar, seputar masalah sosial yang terjadi, penemuan jati diri, religiositas, atau kehidupan. Mungkin ada beberapa yang bertema cinta, tetapi enggak terlalu jadi fokus utama sepertinya. Lagu tema cinta yang diangkat oleh Epica dan menjadi favorit saya adalah “Our Destiny”. Musiknya enggak terdengar picisan dan liriknya gak menye-menye.



Ciri khas utama Epica yang sudah saya singgung di Kenalan dengan Symphonic Metal adalah choir. Yap, unsur ini kuat banget di musik-musik Epica yang tentunya sangat mendukung Simons bernyanyi. Bahkan, ada yang bilang, choir itulah yang sebenarnya vokalis di Epica, bukan Simons. Agak kasar memang ucapannya karena Simons juga gak selamanya nyanyi diiringi sama choir, dia juga sering kali bernyanyi tanpa diiringi choir. Memang suara Simons tidak sekuat suara Floor Jansen yang bisa bernyanyi dengan berbagai teknik, tapi menurut saya suara vokal Simons mempunyai ciri khas yang gak ditemukan di penyanyi lain dan suaranya cocok-cocok aja ketika dipadukan dengan musik Epica.

Bicara soal Simons, sebelum menjadi seorang vokalis band metal, Simons adalah seorang beauty youtuber. Dulu, dia pernah memiliki chanel kecantikan seputar make up dan perawatan wajah. Seperti layaknya beauty youtuber, Simons memperkenalkan produk-produk kecantikan favoritnya dan tutorial make up. Sayangnya, chanel youtube-nya dihapus karena konon dia tidak punya waktu untuk meng-update chanelnya itu, tetapi ada youtuber juga yang mendokumentasikan Simons dulu. Sebenarnya, Simons tidak menghilang banget dari dunia kecantikan. Dia tetap aktif di dunia kecantikan, tetapi bukan sebagai youtuber, melainkan sebagai blogger. Simons mempunyai blog sendiri yang dia namai smoonstyle.com. Di blognya itu, dia banyak bicara soal kecantikan dan juga kehidupannya. Kalau berkelana ke blognya, sepertinya susah untuk mencari unsur metal di dalamnya karena menurut saya, blog Simons enggak ada kesan metalnya sama sekali. Blognya itu sederhana, menarik, dan cantik. Menampilkan sisi perempuan pada umumnya. Dan, lewat Simons, saya tahu bahwa metal front woman itu bisa lho tetep terlihat cantik layaknya pop singer kebanyakan dan enggak terkesan berantakan. Dan, dibanding metal front women yang saya tahu, Simone Simons-lah yang paling fashionable. Enggak pernah salah kostum. Semua kostum panggung yang dia pakai terlihat pas dan cantik. Soal dandanan, jangan ditanya. Simons itu pencinta make up dan jago make up. Dia adalah ambassador untuk sebuah produk make up dan sering mengupas produk-produk kecantikan yang dia gunakan. Untuk sekian lama, dia sering bereksperimen dengan dandan sendiri dibanding menyewa make up artist, mulai dari make up yang biasa-biasa aja hingga make up yang agak berat dan terkesan gelap. Katanya, sih, dia pernah menjadi make up artist. Karena saking cintanya sama make up dan hobi dandan, konon Simons pernah juga menjadi make up artist untuk teman perempuan sesama penyanyi, seperti Floor Jansen, Elize Ryd, Anneke van Giersbergen, dan Marcela Bovio. Dia pun mengakui bahwa blognya merupakan blog kecantikan pertama yang ditulis oleh vokalis band metal. Tapi, pernah ada yang bilang bahwa cantiknya Simons adalah daya tarik Epica dibanding musik band itu sendiri. Menurut Simons, sih, musik Epica lebih penting dari cantiknya dia karena musik itu everlasting, sedangkan kecantikannya enggak. Namun, yang disadari Simons adalah ketika tampil konser. Ia harus mengakui bahwa ketika live show, penonton enggak hanya mendengarkan musik band itu, tapi juga menikmati para pemusik di panggung. Katanya, “I make sure that the fans have something to look during the show.”

Sebenarnya, selain Simons, Epica juga punya vokalis lain, yaitu Mark Jansen, the founder of Epica. Jansen memang bukan penyanyi utama, tetapi dia juga mendukung Simons nyanyi. Bukan suara normal layaknya penyanyi, tapi suara death growl. Seram ya namanya hehehe. Death growl ini adalah teknik menyanyi yang biasanya digunakan oleh vokalis-vokalis metal, biasanya aliran death metal. Suaranya yang dihasilkan itu mirip geraman, berat, parau, dan cukup menyeramkan. Mirip suara monster. Biasanya ucapan/lirik penyanyi yang menggunakan teknik ini susah untuk dicerna karena memang gak jelas omongannya, kecuali suara geraman. Saya juga suka pusing kalau dengar penyanyi yang pure death growl. Nah, Epica menggunakan suara vokal jenis ini untuk band-nya. Gak di semua lagu ada, sih, tetapi selalu ada di setiap albumnya. Dan, paduan suara opera dengan growl ini cocok-cocok aja untuk Epica. Dibanding band symphonic metal yang saya tahu, Epica yang paling konsisten dengan suara death growl ini. Bolehlah dikatakan, selain unsur choir, growl adalah bagian yang tak terpisahkan dari Epica dan menjadi satu unsur yang menarik dari grup ini.

Dari semua album yang pernah ditampilkan Epica, saya paling suka dengan Design Your Universe. Saya suka ide dari nama albumnya, didukung oleh musik-musiknya yang bagus. Lagu favorit saya “Our Destiny” ada di album ini. Sebelumnya, saya sudah menyinggung bahwa lagu ini ada unsur romantis, tapi gak picisan; lebih mengangkat perjuangan seseorang bersama dengan yang terkasihi untuk mendapatkan sesuatu. Keseluruhan album ini sih menurut saya bicara soal kebebasan dan perjuangannya. Tapi, ada lagu yang menurut saya bicara soal ketuhanan, perjuangan, dan harapan, yaitu “Burn to Cinder”. Coba deh denger lagunya dan baca liriknya. Mungkin, interpretasi Anda beda dengan saya.


Nah, yang agak merinding ketika pidato Malcolm X dikutip dalam “Price of Freedom”. Di situ, Malcolm X bilang, “The price of freedom is death.” Urutan “Price of Freedom” ada sebelum “Burn to Cinder”.

Tahun 2013, Epica merayakan ulang tahun ke-10 dengan mengadakan konser di Eindhoven, Belanda. Konsernya dinamakan Retrospect yang kira-kira berlangsung sekitar 3 jam. Kalau melihat videonya, konsernya lumayan besar dengan musik orkestra lengkap, paduan suara, bintang tamu, dan spesial efek. Orkestra dan paduan suara yang ada di konser ini sama dengan orksestra dan paduan suara yang mendukung mereka pada live album Classical Conspiracy. Bintang tamu yang diundang adalah tiga orang mantan band Epica, yaitu Ad Sluijter, Yves Huts, dan Jeroen Simons. Floor Jansen juga diundang dan dia nyanyi duet dengan Simons lagu “Stabat Mater Dolorosa”. Lagu yang bagus ketika dibawakan oleh mereka. Indah banget. Konon, Tarja Turunen diundang juga dalam konser ini, tapi enggak bisa datang karena terkendala masalah jadwal. Konser ini telah dijadikan DVD dan videonya sudah banyak diunggah di Youtube. Jadi, kalau yang penasaran ingin melihat, silakan cari di Youtube. FYI, di konser ini, Simons lagi hamil. Jadi, pergerakan dia di atas panggung agak terbatas.    

Nah, tahun 2016 ini, Epica akan mengeluarkan album baru berjudul The Holographic Principle. Katanya sih, akan dirilis pada 30 September 2016. Saya coba googling mencari tahu isi albumnya, tetapi belum banyak berita yang beredar. Di channel Nuclear Blast, satu single dari album ini sudah diperdengarkan, tetapi masih ada embel-embel official lyric, yaitu “Universal Death Squad”. Kalau didengar single ini, ciri khas Epica tetep terasa, hanya saja vokal Simons agak berbeda di single ini, lebih nyaring suaranya.

Enggak sabar juga untuk mendengarkan album ini akan seperti apa. Nah, sambil menunggu, boleh lho dinikmati lagu Epica ini :D.



You Might Also Like

0 komentar