Bimbo: Satu Band Legendaris Indonesia dan Cerita Mereka tentang Pembajakan

November 29, 2016

Margasatwa tak berbunyi
Gunung menahan napasnya
Angin pun berhenti
Pohon-pohon tunduk dalam gelap malam
Pada bulan suci Quran turun ke bumi

Inilah malam seribu bulan
Ketika cahaya surga menerangi bumi
Ketika cahaya surga menyinari bumi
Inilah malam seribu bulan
Ketika Tuhan menyeka air mata
Ketika Tuhan menyeka dosa-dosa kita
—Lailatul Qadar


Bimbo (ki-ka): Jaka Bimbo, Sam Bimbo, Acil Bimbo, dan Iin Parlina

Jika Anda anak 60-an, 70-an, 80-an, atau 90-an seperti saya, pasti tahu deh grup Bimbo ini. Dulu, ketika masa-masa sekolah, musik-musik dari grup ini selalu hilir mudik di telinga saya, terutama masa-masa puasa dan menjelang lebaran.

Mungkin, anak masa kini jarang yang tahu bahwa ada lho grup band ini. Mungkin sezaman Koes Plus, tetapi dengan genre yang berbeda. Saat itu, yang saya tahu dan mungkin kebanyakan orang tahu bahwa Bimbo itu identik dengan musik-musik religi atau musik-musik qasidah karena memang sekitar tahun 1990-an, ya Bimbo banyak menciptakan lagu-lagu tersebut. Nyatanya, Bimbo itu berjaya bukan lantaran musik qasidah atau musik bernuansa religi, tetapi musik bernuansa pop pada tahun-tahun sebelumnya.

Bimbo merupakan grup musik/band (kadang-kadang ada yang menyebutnya sebagai vokal grup) yang lahir di Bandung pada tahun 1967. Grup musik mereka terdiri atas Sam Bimbo, Acil Bimbo, dan Jaka Bimbo. Belakangan, adik bungsu mereka pun ikut bergabung, yaitu Iin Parlina.

Nama Bimbo ini muncul ketika mereka tampil di TVRI. Saat itu, mereka belum memiliki nama untuk grupnya. Hamid Gruno pun memberikan nama Bimbo untuk mereka. Entah artinya apa, tetapi dijawab, “Baguslah.” Sejak saat itu, mereka menggunakan nama Trio Los Bimbos. Karena nama grup tersebut berbau Latin, mereka pun mengganti nama menjadi Trio Bimbo. Sejak dulu mereka sudah nyanyi di mana-mana, malah pernah dikontrak untuk tampil di Singapura dan membuat rekaman musik di sana. Lagu-lagunya beberapa kali menjadi hits baik di Indonesia, Singapura, maupun Malaysia, seperti “Flamboyan” dan “Melati dari Jaya Giri”. Sukses dengan musik-musik pop, Bimbo pun merambah musik religi. Nah, salah satu yang membuat Bimbo sangat dikenal masyarakat adalah musik-musik religinya. Bahkan, Bimbo lebih identik dengan musik religinya dibanding musik popnya, padahal awal mula Bimbo ada karena musik popnya.

Mengapa saya membahas Bimbo?

Secara tidak sengaja, tempat saya mencari segenggam berlian mengundang Bimbo untuk perayaan ulang tahunnya. Pilihan Bimbo itu agak kontroversi karena cap Bimbo sebagai musik religi itu kental banget dan momen pada saat itu bukan momen religius. Walaupun begitu, tampillah Bimbo dengan musik-musiknya, kisah dibalik terciptanya satu lagu, dan beberapa curcolnya soal pembajakan di Indonesia.

*Ngambil gambarnya terlalu jauh :p*

Saat itu, Bimbo tampil dengan beberapa lagu yang tentunya saya tahu hanya beberapa hahaha. Maklum, lagu-lagu yang dibawakan Bimbo kebanyakan lawas banget, bukan zaman saya. Yang saya tahu hanya “Tuhan” dan “Sajadah Panjang”. Untuk ukuran band lawas, Bimbo termasuk yang oke staminanya. Usia 75-an untuk Sam, tapi suaranya masih sama seperti yang dulu walau—mungkin—tarikan napasnya tidak sekuat dulu.

Not good quality picture, but this is Sam Bimbo

Dari penampilan Bimbo ini, ya saya tahu bagaimana musisi-musisi itu berjuang untuk mendapatkan royalti dari lagu-lagu yang mereka ciptakan. Pernah lihat film Begin Again? Di situ, digambarkan bahwa musisi hanya mendapatkan $1 dari setiap album terjual, padahal harga satu album yang dijual bisa mencapai $10 atau $12, tergantung pihak produsernya. Hitungannya akan berbeda ketika yang dijual bukan dalam bentuk kepingan CD, tapi digital via internet. Kalau melihat amazon.com, biasanya satu lagu (bukan satu album) dihitung sekitar $0,99 dan saya tidak tahu bagaimana cara produser membaginya untuk si musisi dan biaya produksi. Nah, soal seperti ini juga disinggung oleh Sam. Disebut-sebut bahwa Agnes Monica mendapatkan penjualan album terbanyak karena—kalau saya enggak salah dengar—mendapatkan royalti sekitar Rp1.000.000. Agak terpana juga dengarnya.

Dengan pembagian royalti yang seperti itu, para musisi juga harus menghadapi yang namanya pembajakan. Banyak banget lagu-lagu para musisi dari berbagai negara yang dengan gampang bisa diunduh secara gratis di internet. Di satu sisi, teknologi memudahkan para musisi untuk memopulerkan lagu-lagu mereka dan mendapatkan feedback dari pendengar di jagat dunia. Di sisi lain, teknologi juga yang membuat para musisi harus berhadapan dengan pembajakan. Masalah pembajakan ini yang juga dihadapi oleh Bimbo hingga mereka enggan untuk berkarya dan memproduksi ulang lagu-lagunya. Padahal, sudah banyak penggemarnya yang ingin mendapatkan produksi ulang lagu-lagunya dalam bentuk CD atau sejenisnya.

Masalah pembajakan yang melanda Bimbo tidak hanya mencakup kawasan Indonesia saja, tetapi sudah merambah negara tetangga. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa karya-karya Bimbo juga disukai orang-orang negara tetangga, termasuk musisinya. Ada salah satu musisi Malaysia yang disebutkan oleh Sam Bimbo yang membawakan satu lagu Bimbo, tanpa izin hak cipta dan digubah beberapa bait. Sayangnya, saya lupa siapa namanya. Bimbo sedang memperjuangkan hak ciptanya untuk lagu yang diaku-aku tersebut.

Soal pembajakan ini enggak hanya seputar unduh gratis atau soal diaku-aku, tapi juga mencakup pemutaran secara ilegal, seperti RBT yang ditawarkan oleh provider telekomunikasi atau musik-musik yang disajikan di ruang karaoke. Nah, dua hal ini yang sering memanfaatkan kreativitas musisi. Kalau RBT, mungkin sudah resmi akan membayar royalti kepada sang musisi, tetapi kalau tempat karaoke, saya belum tahu bagaimana kelanjutan. Ketika mendengar Sam Bimbo, mereka sedang memperjuangkan royalti untuk para musisi yang musik-musiknya diputar berkali-kali dalam ruang karaoke. Namun, hasilnya entah bagaimana, apakah pengusaha karaoke akan membayar royalti seperti apa atau bagaimana.

Lalu, dari mana para musisi mendapatkan royalti tambahan? Kata Bimbo, dari ngamen. Yap! Ngamen alias konser. Ketika mereka diundang untuk tampil di suatu acara, bayaran yang diterima oleh mereka boleh dibilang lumayan. Katanya sih, lumayan untuk menambah kebutuhan dapur. Mungkin, pemasukan yang paling besar bagi musisi—berdasarkan apa yang saya tangkap—ya berasal dari konser tersebut dibanding menunggu royalti dari album atau royalti lainnya. Melalui konser, pendapatan mereka jelas dan mereka menyanyikan lagu hasil karya sendiri dengan bangga.

Dari cerita-cerita Bimbo, saya jadi tahu bahwa tantangan musisi itu, selain ketenaran, ya pembajakan. Musisi perlu tenar agar karya mereka bisa dihargai, tetapi mereka juga harus siap menghadapi pembajakan. Dilematis memang.

Bagi saya, kisah Bimbo membuat saya mengerti bagaimana kreativitas seseorang itu harus dihargai, apalagi musisi sekaliber Bimbo. Penghargaan terhadap karya mereka sangat penting dalam proses kreativitas mereka. Apalagi, Bimbo menurut saya adalah salah satu aset bangsa yang karya-karyanya mewarnai sejarah musik Indonesia sejak tahun 1960-an.   

Nah, bertanya pada diri sendiri, apakah saya menghargai para musisi atau tidak? Jawabannya kembali ke diri sendiri—kembali lagi ke diri Anda dan diri saya. Untuk Bimbo, saya mau banget beli CD-nya jika diproduksi lagi karena kaset orisinal yang saya punya (satu diproduksi Blackboard dan satu lagi Musica) sudah kurang bagus kondisinya. Dengan membeli CD yang asli dan mengunduh secara legal, itu berarti kita mendukung para musisi untuk terus berkarya.

Dua koleksi album Bimbo yang masih tersisa. Album Jihad jarang banget disebut-sebut orang, padahal lagu-lagunya bagus, salah satunya "Iqra".

Btw, bagaimana dengan konser Bimbo yang saya tonton? Bagus. Saya menikmati walau untuk beberapa lagu yang dinyanyikan itu bukan lagu-lagu di era saya ;D.

You Might Also Like

0 komentar