Muhammad Sang Nabi: Ketika Karen Armstrong Memaknai Sosok Nabi Muhammad

Agustus 01, 2017

Muhammad, nabi dan rasul terakhir untuk umat muslim. Messenger, kata orang Barat, atau utusan Allah SWT. Namanya selalu diagungkan dalam berbagai shalawat dan selalu bersisian dengan nama Allah SWT. Sebagai muslim, sejak kecil saya sudah diperkenalkan dengan sosok Muhammad melalui majalah Islami untuk anak-anak, yaitu Aku Anak Saleh. Ada dua halaman kisah tentang Nabi SAW yang dibuat dalam bentuk komik seri. Tidak ada wujud yang terlihat pada komik tersebut, yang terlihat adalah nama Muhammad dalam sebuah lingkaran. Saat itu, saya tahu bahwa sosok Nabi SAW tidak boleh digambarkan secara gamblang, cukup diganti dengan tulisan namanya seperti komik seri yang saya baca atau sosok yang tertutup oleh cahaya seperti film The Messenger.

Sebagai utusan Allah SWT, pengaruh Nabi SAW tentunya amat sangat besar. Tidak hanya untuk Arab Saudi, tempat pertama kalinya Islam tumbuh, tetapi juga menyebar ke kawasan Arabia lainnya hingga sisi dunia yang lain, termasuk Indonesia. Karena pengaruhnya yang luas, oleh Michael Hart, Muhammad SAW dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di antara para penyebar agama lainnya. Pengaruh yang luas itu tentunya membawa sosok Muhammad SAW dikenal oleh banyak orang, tidak hanya umat Islam, tetapi umat yang lain. Mungkin, saking dikenalnya, gambaran kesempurnaan itu pun kadang dicari celahnya, seperti anggapan beberapa orang Barat terhadap Nabi SAW.

Kebanyakan muslim yang ingin tahu dan belajar mengenai sosok Nabi SAW akan merujuk pada Sirah Nabawiyah. Namun, untuk beberapa orang, pendapat para orientalis mungkin menjadi rujukan. Ada tiga orientalis yang saya tahu, yaitu Martin Lings, Lesley Hazleton, dan Karen Armstrong, menulis kehidupan Nabi SAW. Dari ketiga orientalis tersebut, baru satu yang saya baca, yakni Karen Armstrong. Dan, menurut saya, nama Karen Armstrong lebih terdengar dibanding dua penulis lainnya. Karen Armstrong adalah penulis berkebangsaan Inggris. Dia adalah mantan biarawati yang mengabdikan hidupnya saat ini sebagai penulis perbandingan agama-agama di dunia. Buku-bukunya sudah banyak diterbitkan. Salah satunya adalah Muhammad: A Biography of the Prophet (1991). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Risalah Gusti tahun 2002 dan buku yang saya pegang saat ini sudah merupakan cetakan ketujuh. Jika seperti itu, terlihat sekali gaungnya buku Karen Armstrong yang begitu populer.


Mengapa Karen Armstrong menulis soal Muhammad? Awalnya, Armstrong mungkin tidak tertarik dengan Islam hingga pada satu titik dia merasakan bahwa Islam menjawab rasa keingintahuannya. Dia amat terkesan pada penghargaan kaum sufi terhadap agama-agama lain yang tidak pernah ditemukan dalam agama yang dia yakini. Hal tersebut yang membuat dia ingin belajar banyak soal Islam, Muhammad, Al-Quran, hingga Perang Salib. Dia percaya bahwa Muhammad memiliki pengalaman monoteistik yang membuatnya menemukan Tuhan. Kemudian Muhammad juga memberikan kontribusi yang sangat berharga dan istimewa bagi pengalaman spiritual manusia.

Sebagai penulis buku, Armstrong juga perlu membaca banyak karya orientalis yang bicara soal Muhammad. Namun, di antara banyak karya yang dia baca, belum ada tulisan yang mampu menolongnya memahami visi spiritual Muhammad. Apalagi, dia adalah bagian dari Barat yang sudah sejak lama tertanam penilaian negatif terhadap Islam. Karena itu, lahirlah buku ini sebagai jawaban atas keingintahuannya terhadap Muhammad dari sudut pandang Barat.

Dalam pandangan Armstrong, sudah sejak lama Barat memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Dia pun membawa pembaca kembali ke era kejayaan Islam di Spanyol dulu, jauh sebelum adanya Perang Salib. Pada tahu 850 , biarawan Perfectus didekati oleh sekelompok Arab yang bertanya siapakah nabi terbesar, Yesus atau Muhammad. Awalnya, Perfectus merespons dengan hati-hati karena dia tahu bahwa itu adalah pertanyaan jebakan. Namun, lama-kelamaan dia pun membentak dan berteriak sambil menuduh Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat, dan Anti-Kristus. Dia pun dimasukkan ke penjara.

Menurut Armstrong, insiden itu sangat tidak lazim karena hubungan Kristen-Muslim baik-baik saja. Sama seperti Yahudi, Kristen juga diberikan kebebasan untuk menjalankan agamanya di kerajaan Islam. Bahkan, kebanyakan orang Spanyol bangga menjadi bagian dari kebudayaan yang begitu canggih dibanding bagian Eropa lainnya. Mereka sering disebut Mozarabs atau Arabisers. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh biarawan Perfectus dianggap sebagai pahlawan dan mengilhami gerakan minoritas di Kordoba. Qadi (hakim) tidak menghukum sang biarawan karena dianggap telah dirpovokasi. Akan tetapi, si biarawan kembali meledak hingga dia harus dieksekusi. Hal inilah yang membuat Perfectus dianggap sebagai martir. Tak lama berselang, muncul biarawan lain yang melakukan penghujatan kepada Muhammad dan Islam. Sama seperti Perfectus, awalnya tidak terlalu ditanggapi, lama-kelamaan semakin menjadi-jadi hingga sang Qadi memberikan hukuman. Setelah itu, datang lagi biarawan-biarawan lain yang melakukan hal yang sama dan dianggap martir, terutama oleh Eulogio dan Paul Alvaro. Kedua pendeta ini memiliki riwayat singkat Muhammad yang dipercaya meninggal pada tahun 666 di Era Spanyol.

Eulogio dan Alvaro keduanya percaya bahwa kebangkitan Islam merupakan persiapan kedatangan sang anti-Kristus, sosok penipu ulung yang digambarkan dalam Kitab Perjanjian Baru, yang kekuatannya akan membesar di hari-hari terakhir. Pengarang The Second Epistle to the Thessalonians menjelaskan bahwa Yesus tak akan kembali sapai terjadinya “kemurtadan besar” (great apostasy): sebuah pemberontakan akan menetapkan pemerintahannya di Temple of Jerusalem dan menyesatkan banyak orang Kristen dengan doktrin-doktrinnya yang masuk akal. Kitab Wahyu (Book of Revelation) juga membicarakan makhluk ini, ditandai dengan angka misterius 666 yang akan merangkak keluar dari jurang terdalam (abyss), memahkotai diri sendiri di Temple Mount (Tembok Ratapan) dan memerintah/mengatur dunia.

Armstrong menjelaskan bahwa Muslim di Kordoba pada abad ke-9 sangatlah berkuasa dan percaya diri. Mereka enggan menghukum mati para Kristen fanatik karena mereka tidak menghendaki munculnya suatu pemujaan terhadap kaum martir. Muslim tidak menolak untuk mendengar agama-agama lain karena Islam lahir di tempat yang pluralis, yaitu kepercayaan-kepercayaan hidup berdampingan. Tidak ada UU antipropaganda Kristen di kerajaan Islam sejauh tidak menyerang sosok Muhammad. Bahkan, di beberapa tempat terdapat toleransi bagi pemikiran skeptis dan bebas selama tidak melanggar batas kesopanan dan kehormatan.

Apa yang terjadi di Kordoba kemudian membangkitkan mitos Muhammad di daratan Eropa. Bahwa dia adalah penipu dan tukang obat serta maniak yang menjijikkan. Dia memaksa orang-orang untuk mengikuti agamanya melalui peperangan dan Islam dianggap kegagalan dari Kristen. Namun, di antara gesekan-gesekan keyakinan itu, satu hal yang mendasari semuanya—menurut Armstrong—adalah keengganan sebagian bangsa Spanyol terhadap budaya Arab yang ada selama ini. Mereka mencari identitas mereka yang sesungguhnya. Semangat negatif ini pun menyebar di seluruh daratan Eropa hingga beratus-ratus tahun kemudian, begitu juga dengan fantasi negatif sosok Muhammad.

Kemudian, Armstrong pun membawa pembaca kepada sosok Muhammad sesungguhnya yang ia gali dari berbagai sumber. Dia menyoroti Muhammad sejak lahir hingga ia wafat. Tak ketinggalan juga latar belakang tanah Arab dan bangsa Arab pada saat itu yang awalnya merupakan suku nomaden yang berubah menjadi suku yang menetap, seperti adanya klan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Arab. Hampir keseluruhan riwayat hidup Muhammad yang ditulis Armstrong adalah riwayat yang sudah saya dengar sejak kecil, tetapi ditulis dengan runut disertai pendapat jujur Armstrong dari diri seorang Barat yang memiliki pengetahuan sejarah keagamaan yang mumpuni. Dia tidak hanya menceritakan sebuah momen besar semasa hidup Muhammad, tetapi menjelaskan latar belakangnya dengan cukup detail.

Hal menarik ketika Armstrong bicara mengenai sosok Khadijah dan kehidupan poligami Muhammad. Menurut Armstrong, banyaknya istri Muhammad menimbulkan spekulasi yang cabul dan menyeramkan di Barat. Padahal, pada masa pra-Islam, sedikit orang yang memandang bahwa monogami sebagai norma yang diinginkan. Poligami cenderung dianggap normal hingga Al-Quran pun membatasi seorang Muslim boleh memiliki empat istri. Namun, Muhammad sebagai seorang nabi diizinkan memiliki lebih dari empat istri. Jangan menganggap bahwa Muhammad akan tenggelam dalam urusan keduniawian ketika memiliki istri yang banyak. Sebenarnya, apa yang dia lakukan dengan menikahi banyak istri bukan lagi bicara soal cinta, tetapi bicara soal perencanaan praktis. Pertama adalah statusnya di kalangan bangsa Arab dan kedua soal politis atau membangun hubungan-hubungan penting persaudaraan. Kata Armstrong, perkawinan dengan Muhammad mungkin bukan perkawinan yang menyenangkan jika dilihat dari harta yang dia miliki karena sebagian besar penghasilan keluarga untuk fakir miskin dan membuat keluarganya sendiri sangat hemat.

Menurut saya, yang sepertinya diamini oleh Armstrong, kalau bicara soal di manakah cinta Muhammad? Tentunya, cinta Muhammad hanya untuk Khadijah. Muhammad adalah lelaki yang penuh semangat, tetapi dia tak pernah mengambil istri lain ketika masih beristrikan Khadijah. Beberapa lama setelah Khadijah meninggal, Muhammad sering membuat kesal para istrinya dengan terus-menerus memuji Khadijah. Bahkan, Muhammad pernah begitu pucat ketika tiba-tiba dia berpikir mendengar suara Khadijah.

Setiap Muhammad diserang oleh musuh-musuhnya atau digoncang oleh kekuatan pengalaman mistisnya, dia selalu mencari perlindungan dan ketenangan pada istrinya. Selama sisa hidupnya, Khadijah [adalah] orang pertama yang mengenali kemampuan luar biasa suaminya, memperkuatnya, meringankan bebannya, dan mengakui kebenarannya.

Membaca buku ini memang tidak sama dengan membaca novel walau ditulis secara runut. Banyak kisah yang dibagi Armstrong mengenai Muhammad dan banyak pula perbandingan-perbandingan agama yang ditulis Armstrong ketika menjelaskan satu peristiwa. Namun, tidak mungkin semua saya bahas satu per satu di blog ini :D. Bukannya enggak mau, tetapi enggan karena semua tulisan Armstrong penting untuk saya. Saya salut untuk penerjemah yang dapat mengalihbahasakan dengan cermat dan tidak membosankan. Tulisannya mudah dipahami sehingga cukup banyak saya tahu mengenai sosok Nabi SAW, sejarah Islam, perbandingan dengan agama Ibrahim lainnya, serta konflik yang terjadi antara Islam dan Barat. Wajar sih jika Armstrong memang menujukan buku ini untuk pembaca Barat yang sepertinya kurang paham dengan sosok Muslim pertama ini.

Nice book to read and recommended. 

Kita di Barat tak pernah berhasil memahami Islam: gagasan kita tentangnya senantiasa kasar dan menentang. Saat ini kita mengingkari komitmen tersumpah kita tentang rasa toleransi dan iba karena tindakan kita yang menimbulkan penderitaan dan kesedihan di dunia Muslim. Islam tak akan hilang atau musnah, bahkan akan lebih baik bila Isla tetap sehat dan kuat. Kita hanya dapat berharap bahwa hal itu belum terlambat.
...
Jika umat Muslim mesti memahami tradisi dan institusi Barat secara lebih mendalam saat ini, kita di Barat juga mesti membersihkan diri dari prasangka kita. Mungkin satu tempat untuk memulai adalah sosok Muhammad sendiri: seorang manusia yang kompleks, penuh kasih, yang kadang-kadang melakukan hal-hal yang sulit kita terima, tetapi yang memiliki tatanan yang jenius dan besar serta telah menemukan sebuah agama dan tradisi budaya yang tidak didasarkan pada pedang—tak seperti mitos yang dikembangkan Barat—dan yang nama Islamnya berarti kedamaian dan rekonsiliasi.


Happy reading!

You Might Also Like

0 komentar