13 Reasons Why: Ketika Bunuh Diri Menjadi Jalan Keluar

Agustus 17, 2017

Seorang teman menghampiri saya dan berkata seperti ini, “Lur, tonton 13 Reasons Why deh.”

“Bagus ya?”

“Bagus. Kayaknya lo suka deh tontonan kayak gini.”

Saya bukan orang yang enggak percaya dengan referensi orang lain, tapi saya perlu tahu berkisah tentang apakah tontonan ini :D. Saya pun meng-googling serial apaan sih 13 Reasons Why ini. Mengapa di TV berbayar enggak ada tuh woro-woro soal serial ini? Nyatanya, serial itu adalah produksi Netflix yang enggak ada di TV berbayar langganan saya. Banyak yang memberikan rating bagus untuk serial itu. Dan, kisahnya diangkat dari sebuah buku.

Karena saya adalah orang yang baca buku dulu, baru nonton filmnya; saya pun memburu buku 13 Reasons Why ini. Susah-susah gampang untuk mencarinya karena buku aslinya diterbitkan pertama kali tahun 2007. Di Indonesia, bukunya pernah diterjemahkan oleh Penerbit MataHati, tetapi terjemahannya susah dicari karena penerbitnya entah ke mana. Googling sana sini akhirnya ketemu mybookaholic yang menjual versi asli 13 Reasons Why, tapi si buku agak lama nyampenya karena impor. Baeklah, saya pun menunggu dengan sabar hampir sebulan.


Novel 13 Reasons Why ditulis oleh Jay Asher setelah dia mendapatkan inspirasi di sebuah museum saat ia menjadi self-guided audiotour. Kala itu, setiap peserta diberikan Walkman dan diminta merekam penjelasan narator dari setiap display yang ada. Muncullah ide Asher untuk membuat novel ini dengan penceritaan layaknya sebuah rekaman audio.

Kisah dalam novel ini bermula dari Clay Jensen yang menemukan paket pos yang tergeletak di beranda rumahnya. Paket itu ditujukan untuk dia yang bertanya-tanya siapa pengirimnya karena tidak ada nama pengirim di sana. Saat dibuka, dia terkejut ketika melihat kaset-kaset yang dibungkus dalam kardus sepatu. Lebih kaget lagi saat dia mendengar suara Hannah Baker di kaset tersebut. Siapakah Hannah Baker? Hannah Baker adalah teman Jensen di sekolah yang beberapa minggu lalu ditemukan bunuh diri. Melalui kaset itu, Baker menjelaskan 13 alasan mengapa dia bunuh diri. Salah satu alasannya adalah Jensen. Namun, ada alasan-alasan lain yang membuat Jensen menyesal untuk tidak menolong Hannah Baker. Jika Jensen diberikan kesempata untuk tahu apa yang dihadapi oleh Hannah Baker, mungkin Jensen bisa membuatnya untuk tidak bunuh diri.

Ketika membaca kisah Hannah Baker, saya ingat kisah Amanda Todd—remaja perempuan yang juga bunuh diri karena di-bully abis-abisan. Namun, hidupnya Hannah Baker tidak setragis kehidupan Amanda Todd. Sebenarnya, sih, saya mengharapkan hal-hal yang dialami oleh Amanda Todd ada dalam kisah Hannah Baker, tetapi kisahnya tidak seperti itu. Namun, ada satu cerita ketika Hannah dilecehkan oleh para remaja laki-laki saat dia sedang membeli permen. Dia dilecehkan gara-gara ada list yang tersebar di sekolah soal best ass in the freshman class. Namanya ada di urutan pertama. Menurut dia, kalau enggak ada list itu, mungkin dia akan baik-baik saja.

Sosok Hannah Baker dalam tulisan Asher merupakan remaja putri yang hidup dalam rumor-rumor yang disebarkan oleh teman-temannya sendiri. Sejak pindah ke sekolah baru, Baker berharap dia akan mendapatkan kehidupan yang layaknya didapatkan oleh para remaja seumurnya. Namun, kehidupannya di sekolah tidak seperti apa yang dia harapkan, terutama setelah rumor soal ciumannya dengan Justin menyebar di sekolah. Setelah rumor negatif berkembang, Baker juga menyimpan beberapa rahasia teman-temannya, seperti dia melihat salah seorang temannya yang mabuk berat diperkosa oleh temannya yang lain dan seorang temannya yang menabrak laki-laki tua hingga meninggal dunia. Kematian laki-laki tua yang dianggap sebagai tabrak lari membuat dia berpikir soal kematiannya sendiri. Mungkin, menurut Baker, kematian adalah satu-satunya jalan keluar ketika dia muak dengan semua yang terjadi dalam kehidupannya.

Secara tidak langsung, Hannah Baker mengalami pem-bully-an dengan adanya rumor-rumor itu. Namun, penggambaran bagaimana dia di-bully tidak setragis saat saya membaca kisah Amanda Todd. Hannah Baker dalam kisahnya tetap bisa ke sekolah, berinteraksi, kencan dengan orang lain, datang ke pesta di rumah teman-temannya, bahkan bekerja paruh waktu. Apakah dia depresi? Tidak ada gambaran yang menunjukkan bahwa dia depresi atau tertekan dengan kehidupannya. Mungkin, jika ditanya apakah dia kecewa, ya dia sangat kecewa. Bukan karena kehidupannya, tetapi karena orang-orang di sekelilingnya.

Ketika Baker memutuskan untuk bunuh diri, Asher tidak menggambarkannya dengan kuat. Alasan Hannah Baker untuk melakukan bunuh diri terkesan kurang gereget karena idenya hanya dipicu oleh sosok laki-laki tua yang menjadi korban tabrak lari temannya sendiri. Bukan karena depresi akibat pem-bully-an di sekolah, internet, atau foto-foto vulgar yang beredar di dunia maya.

Mungkin, serial televisi 13 Reasons Why akan lebih gereget dibanding kisah bukunya. Mungkin, ini juga yang dibilang oleh teman saya waktu dia menghampiri saya. Sayangnya, saya belum nonton serialnya, jadi belum bisa membandingkan antara buku dan serial televisinya. Biasanya, yang ada di layar kaca sering berbeda dengan bukunya, entah ada yang dihilangkan atau entah ada yang ditambahkan.

Untuk kisah yang ada di buku ini, saya akan mengatakan so-so aja :D. Biasa. Tidak ada penggambaran kuat mengapa Hannah Baker memutuskan untuk bunuh diri, seolah-olah dia hanya ingin bunuh diri. Mungkin benar apa yang dibilang oleh AJ+ saat menyinggung kisah ini sebagai glamourizing committed suicide.

Tapi, yang penasaran dengan kisah ini, boleh lho buat dibaca, apalagi buku ini masuk kategori international bestseller. Bahkan, Guardian menyebutnya sebagai tremendous ... remarkable.


Selamat membaca.

You Might Also Like

0 komentar