Bapak: 40 Hari Setelah Kepergiannya

Januari 27, 2019


Apabila telah tiba waktunya yang ditentukan bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya (QS An Nahl : 61).

12 Desember 2018
Pagi
Jauh-jauh hari Shopee—sebagai e-commerce platform—mengumumkan hari belanja online nasional pada 12 Desember 2018. Iklan-iklannya bertebaran di berbagai lapak iklan, baik online maupun offline. Saya melihat iklan itu sesaat, tidak terlalu tertarik. Bukan untuk saya yang sedang belajar mengurangi sikap konsumerisme. Hari itu layaknya hari biasa, tidak ada yang istimewa.

Seperti hari-hari kemarin, saya terburu-buru mempersiapkan diri menuju kantor. Saat hendak turun di tanggak rumah, saya melihat bapak sedang duduk di sofa sambil menonton program “Mamah dan Aa” kesukaannya. Bapak melihat saya menuruni tangga dengan tergopoh-gopoh. “Kamu enggak kesiangan?” tanya Bapak, seperti pertanyaan kemarin.

“Iya, kesiangan,” jawab saya yang sibuk dengan bekal makan siang, sepatu, jaket, dan motor. Tak begitu memperhatikan Bapak karena memang saya berkutat dengan urusan saya sendiri. Tak berapa lama, saya pun siap berangkat. Pamitan sebentar, lalu menyalakan motor dan menuju gerbang depan.

Bapak, seperti biasa, mengikuti langkah saya lewat pintu depan. Ia melihat betapa anak perempuannya selalu terburu-buru saat berangkat bekerja. Saat pintu gerbang saya buka, seperti yang kemarin-kemarin, Bapak berkata, “Hati-hati, ya, Lur. Apalagi di tikungan. Jangan lupa baca bismillah.”

“Aku berangkat, ya, Pak.”

“Iya, hati-hati. Baca bismillah. Pagarnya Bapak yang tutup.”

Biasanya, saya melirik spion motor untuk memperhatikan Bapak yang tatapannya mengikuti laju saya hingga menghilang di tikungan. Namun, kali itu, saya sedang tak peduli karena terlalu dikejar-kejar waktu. Toh, besok Bapak masih akan memperhatikan saya berdiri di depan pagar hingga saya menghilang di tikungan jalan.

Siang
Selesai makan siang, seperti biasa saya membereskan kotak makan dan menonton hal-hal inspiratif di vlog orang-orang. Tidak ada niat untuk mencuci peralatan makan saya karena malas sekali berjalan ke pantri. Di luar kantor, langit begitu mendung hingga menyerupai malam. Perlahan-lahan angin dan air berguguran memenuhi ruang jalanan. Cukup deras.

Ponsel ada di atas meja. Tidak berbunyi dan tidak ada notifikasi karena saya mengaturnya seperti itu. Agak lelah dengan notifikasi yang terus-terusan. Namun, siang itu, saya mengecek ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada satu miscalled dari adik ipar saya. Tumben sekali. Biasanya, dia cukup meninggalkan pesan di what’s up. Lalu, ada miscalled lain dari kakak ipar saya. Kakak saya ini biasanya butuh sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya dan biasanya juga saya menelepon balik. Namun, kali itu, saya tidak menelepon, hanya meninggalkan pesan di what’s up. Tak berapa lama, kakak saya membalas seperti ini, “Lur, bpk sudah gak ada, jatuh di kamar mandi.”

Saya membeku. Jika ada ungkapan seperti tersambar petir di siang bolong, itulah saya. Bisa-bisanya Bapak pergi tanpa mengatakan sesuatu. Hati saya bergetar hingga menjalar ke seluruh tubuh. Saya pun segera balik menelepon. Dan, jawabannya membuat jantung saya lepas dari kerangkanya, “Bapak udah enggak, Lur. Kamu yang ikhlas ya dan langsung pulang.”

Saya semakin gemetar. Rasanya air mata sudah siap bercucuran. Buru-buru saya izin pulang cepat dengan alasan, “Bapak saya jatuh di kamar mandi.” Padahal, saya tahu bahwa Bapak sudah tidak ada.

Jalan yang biasa saya lalui terasa begitu panjang. Pikiran saya seperti mengambang. Dan, saya menangisi kepergian Bapak.

Air mata pun akhirnya bercucuran ketika saya mulai membacakan Yasin di hadapan jenazah Bapak. Tak pernah terpikirkan untuk membacakan Yasin secepat itu. Dan, itu begitu menyedihkan.


Perlu waktu bagi saya untuk mengatur cucuran air mata. Apalagi mengingat kebiasaan Bapak dengan pertanyaan yang sama saat saya pergi mencari sesuap nasi dan pulang kembali. Air mata saya semakin bercucuran ketika mengingat betapa Bapak rela mengantar saya mendaftar ke sekolah baru, menunggu saya ujian, atau bahkan mengantar wawancara kerja. Betapa ia bahagia ketika melihat tempat-tempat baru yang dikunjungi. Betapa ia senang tiap kali rencana-rencana liburan diembuskan. Betapa ia menikmati setiap perjalanan yang dilalui. Bapak mungkin berprinsip seperti ini, “It’s the journey, not the destination.”

Sekarang, sudah lebih dari 40 hari kepergian Bapak yang tanpa ucapan perpisahan. Kenangan tentu selalu ada dalam setiap doa-doa kami. Semoga kasih sayang Allah SWT begitu luas untuk Bapak. Amin.


Father, oh, father, you told me to see the world with my eyes and not just believe. So I was learning from the old books, the wisdom of a time that no-one know--Xandria

You Might Also Like

0 komentar