Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (Film): Kisah Jacob bersama Miss Peregrine dan Anak-anak Unik
Oktober 19, 2016
Di postingan sebelumnya, saya sudah mengulas buku Miss Peregrine’s Homefor Peculiar Children yang ditulis oleh Ransom Riggs dengan sampul depan yang agak
creepy. Saat membaca buku tersebut, jujur saya agak terburu-buru karena saya
baru membeli bukunya beberapa minggu sebelum filmnya rilis. Itu pun versi
bahasa Inggris karena versi terjemahan rilisnya deketan dengan rilis filmnya.
Poster Film Miss Peregrine's Home for Peculiar Children |
Film Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (MPHPC) ini disutradarai oleh
Tim Burton yang diadaptasi dari judul novel yang sama. Film ini mungkin baru
saja dirilis pada 30 September 2016 kemarin dengan Eva Green sebagai pemeran
Miss Peregrine. Konon, ini adalah film Tim Burton tanpa mengikutsertakan Johnny
Depp dan Helena Bonham Carter. Tapi, ada Eva Green yang pernah bekerja sama
dengan Tim Burton di Dark Shadows. Nah, kehadiran Eva Green di film ini
merupakan daya tarik tersendiri. Ya, saya tertarik nonton film ini karena ada
Eva Green-nya, seperti nonton Snow White and the Huntsman karena ada Charlize
Theron-nya.
Secara garis besar, kisah MPHPC antara buku dan film sama, yaitu petualangan
Jacob ketika mencari dan menemui anak-anak unik. Namun, seperti yang
sudah-sudah, selalu ada perbedaan antara buku dan film, yang kadang membuat saya
enggan untuk menontonnya. Begitu juga dengan MPHPC ini.
Buku MPHPC memang menampilkan foto-foto jadul yang mendukung cerita
sehingga pembaca lebih gampang untuk berimajinasi dengan sosok-sosok yang sudah
ditampilkan di foto tersebut. Hampir semua tokoh terwakili oleh fotonya, terutama
anak-anak unik. Saya termasuk pembaca yang terbantu dengan adanya foto-foto
tersebut dan lebih gampang untuk saya ketika membaca bukunya. Namun, apa yang
sudah dibuat Ransom Riggs dengan foto-foto tersebut malah ditukar-tukar oleh
Tim Burton. Apa yang ada di imajinasi saya mengenai para anak unik berubah
banyak ketika menyaksikan filmnya.
Mungkin, masalah perwajahan—kalau beda—tentu itu bukan masalah karena
gak mungkin juga mencari sosok yang sama dengan foto dan harus bisa akting.
Kayaknya enggak mungkin deh nemu sampai sama persis. Misalnya, Miss Peregrine
antara foto di buku dan Eva Green tentunya jauh berbeda. Tapi, alangkah
baiknya, mungkin bisa dicari yang mirip atau mendekati.
Yang paling membuat saya kecewa adalah sosok Emma Bloom. Bukan karena
wajahnya si Emma yang di buku dan di film beda yaa, tapi karena keahlian Emma
yang di buku dan di film itu amat sangat beda. Keahlian dia di-switch dengan
anak kecil bernama Olive. Di buku, Emma mengendalikan api yang bisa keluar dari
kedua tangannya, sedangkan si Olive bisa melayang. Namun, di film Emma malah
melayang, sedangkan Olive yang remaja bisa mengendalikan api dari tangannya. Gak
tahu kenapa alasan Tim Burton melakukan pertukaran kemampuan ini. Yang jelas,
saya kecewa sih ketika menonton ini. Apalagi kemampuan Emma di film ditambahkan
menjadi sosok yang bisa meniup udara dari dalam dirinya, di samping bisa
melayang.
Selain pertukaran keahlian, Tim Burton juga mengubah sosok yang
seharusnya remaja menjadi anak kecil. Misalnya, Fiona yang sebenarnya remaja
kayak Emma digambarkan sebagai anak tanggung walau masih dalam kategori ABG.
Brownyn yang digambarkan sebagai anak tanggung dengan rambut pirang pendek
malah digambarkan sebagai anak kecil. Millard yang tidak terlihat juga
digambarkan sebagai anak kecil, padahal dia seumuran dengan Emma. Sebaliknya,
Enoch di buku digambarkan sebagai anak kecil malah digambarkan sebagai ABG di film.
Dokter Golan yang di buku disebutkan sebagai cowok pun ternyata punya keahlian
untuk mengubah-ubah dirinya menjadi siapa saja. Mungkin yang mirip
penggambarannya antara buku dan film adalah Claire—anak perempuan yang
mempunyai mulut tambahan di belakang kepalanya.
Alur cerita secara garis besar sama. Yang membedakan adalah detail
latar atau situasi kejadian. Saya tidak tahu apakah Tim Burton membuat tiga
serinya menjadi satu atau hanya mengangkat kisah yang pertama. Karena saya baru
membaca kisah Ransom Riggs buku yang pertama, jadi saya kurang paham dengan kisah
yang kedua dan ketiga. Sebenarnya, kalau melihat alur dan gaya penceritaan Ransom
Riggs, saya merasakan kesan yang masuk akal terhadap anak-anak tersebut; mereka
hanya diberikan keistimewaan tertentu sehingga memiliki keahlian tertentu. Namun,
ketika Tim Burton membesut film ini, kesan fantasi terasa banget.
Ketika Emma mengajak Jacob ke tengah laut dengan perahunya, lalu Emma
turun di tengah laut, ia sebenarnya enggak tenggelam. Dia hanya berjalan di
atas laut karena di bawahnya ada kapal tenggelam, jadi seolah-olah dia berjalan
di atas air. Padahal, ia hanya berjalan di atas kapal yang kebetulan badannya
menyembul mendekati permukaan. Di sini, Emma dan Jacob pun menyelam, tetapi
bukan dengan cara ajaib seperti di film yang menggunakan gelembung air supaya
Jacob bisa bernapas, melainkan menggunakan tabung pernapasan beserta selangnya
yang mereka hirup bergantian. Mereka pun bukan ke sebuah ruangan yang tiba-tiba
kering karena kekuatan Emma, tetapi melihat warna-warni binatang laut yang mirip
bintang kelap-kelip. Mereka pun tidak menggunakan perahu besar seperti yang
terlihat dalam film. Mereka hanya pergi dengan menggunakan perahu kecil,
seperti perahu nelayan. Dr. Golan yang ternyata jahat juga sebenarnya tidak
bisa mengubah bentuknya menjadi sosok perempuan atau yang lainnya. Dr. Golan
hanya menunjukkan keajaiban softlens yang bisa membantu dia seolah-olah mempunyai
retina dan ternyata dia sudah bertahun-tahun memata-matai Jacob.
Oh, saya lupa dengan sosok kembar yang selalu ditutup topeng. Di buku,
memang ada foto dua sosok kembar itu yang agak aneh dan creepy. Namun, tidak
dijelaskan soal siapakah sosok kembar itu. Di film, ditampilkan dua sosok
kembar itu yang mirip banget dengan foto yang ada di buku, tetapi saya sebagai
penonton tidak diberi tahu keahlian dari si kembar ini. Ujug-ujug saat kumpulan
anak-anak unik hendak melawan Golan and the gengs, ketahuanlah kelebihan si
kembar, yaitu bisa membuat orang menjadi batu ketika mereka berdua membuka topeng.
Lha, kenapa enggak dari tadi mereka ngalahin si Golan and the gengs kalau hanya
harus membuka topeng :D.
Perbedaan antara buku dan film ini yang kadang membuat saya enggan
untuk menonton film setelah saya membaca buku; takut kecewa. Tapi, adik yang
duduk di sebelah saya malah bilang, “Filmnya bagus, ah. Bisa, kok, dinikmatin.”
Mungkin, itu bedanya antara yang sudah membaca bukunya dan yang belum membaca
bukunya.
0 komentar