Dieng Road Trip 2: Mengejar Sunrise hingga Mengejar Kereta
Maret 12, 2017
Ketika ada tulisan “Selamat Datang di Wonosobo”, rasa lega, gembira, dan
haru jadi satu. Namun, yang nyebelinnya, busnya sempat tertahan di jalan yang
mengarah terminal. Yaa, lumayan lama nunggu di situ dengan perut nguwek-nguwek gak
jelas. Tiba di Terminal Wonosobo, saya dan kakak senior segera ngacir ke
toilet. Gak sempet dadah-dadahan sama teman senasib dan sepenanggung dan gak
peduli sama tas lagi karena panggilan alam udah di ujung tanduk. Untung, senior
saya yang laen bersedia membawakan tas saya.
Setelah ketemu sama Ibu Guide (temannya senior saya) dan anaknya, kami
diajak ke rumah makan khas Wonosobo. Makanan yang disediakan lumayan banyak
plus mi ongklong dan tempe kemul. Kata si Ibu, “Ayo, makan yang banyak. Pasti
kurang makan deh karena kelamaan di jalan.”
Dari Jakarta, saya udah penasaran banget sama yang namanya mi onglok; mungkin kayak mi Jawa yang seger itu. Dan, ternyata mi ongklok itu bukan mi Jawa, tapi mi yang menggunakan pati dan agak manis di lidah saya. Mungkin, karena perut saya yang masih nguwek-nguwek isinya angin semua, semangkok mi ongklok gak masuk ke perut saya. Gara-gara perut isi angin, saya harus minum Tolak Angin terus-terusan. Gawat banget deh.
Selesai makan, kami segera berangkat ke Dieng, tapi singgah dulu di
pemandian air panas. Sebenarnya, enggak mau mandi air panas banget karena badan
rasanya udah remuk dan pengen banget mandi yang privasi dan langsung tidur.
Kali ini semesta mendukung. Kondisi pemandian air panas enggak kondusif karena
ramai dan antre dengan kondisi lampu remang-remang. Agak horor dan takut
diintipin. Akhirnya, kami lanjut ke homestay di Dieng sambil si abang sopir
ngasih tau tempat-tempat yang kami lewati menuju homestay. Malem, sih, jadi
enggak kelihatan banget, cuma ngeliat Gardu Pandang Tieng yang ada di atas awan
dan Gunung Prau yang suka dinaikin pendaki.
Homestay-nya adalah rumah penduduk yang masuk gang muat satu mobil.
Kamarnya ada sekitar lima dan yang paling oke adalah bersih. Airnya dingin
banget, tapi ada air panas. Yang kesian senior saya, lagi asyik mandi, gas
untuk air panas abis. Akibatnya, dia menggigil pas keluar kamar mandi.
Berdasarkan itinerary, hari Minggu dini hari, kami bakal naik ke puncak
Cikunir untuk melihat sunrise. Pukul 02.30, kami sudah siap-siap menunggu di
mulut gang sambil kedinginan. Uap napas saya sudah mirip orang bule ketika
ngomong. Setelah dateng guide Dieng—si mbak cantik yang mukanya mulus banget
dan mas sopir elf—kami segera berangkat ke Bukit Sikunir untuk melihat sunrise.
Kata mbak guide, Bukit Sikunir ini ada di desa tertinggi di Pulau Jawa
dan ada sekitar 800 meter menuju puncak Sikunir. Agak lega karena enggak jauh-jauh
amat. Tapi, jalannya mendaki. Yaa, mudah-mudahan enggak curam. Turun dari elf,
kami segera bergabung dengan rombongan lain yang juga sama-sama mau mendaki. Track
untuk pendaki udah bagus karena dibuat jalan semen berbatu dan tangga. Yang gak
tahan ketika mendaki adalah orang-orang yang merokok. Plis, deh, udara Dieng
udah seger banget dan bebas polusi, ini ada aja yang ngotorin udara sebersih
itu dengan semena-mena ngerokok di antara orang yang mendaki. Jadinya,
paru-paru saya rebutan antara udara bersih dan asap rokok. If you said you have
right to smoke, I have right to breathe the fresh air.
Di puncak Bukit Sikunir, kumpulan manusia sudah merajalela. Kami mendapat
spot kosong di dekat pagar sambil menggelar jas hujan yang belum terpakai. Kami
duduk di situ sambil melihat langit gelap dan kabut. Di antara waktu menunggu,
si mbak guide cerita mengenai anak berambut gimbal di Dieng yang masih
berhubungan dengan Pangeran Kidang dan Sinta Dewi. Ceritanya begini, si Sinta
Dewi dilamar oleh Pangeran Kidang. Mungkin, si Sinta Dewi mau-mau aja karena
Pangeran Kidang ini sakti mandraguna. Pas moment of truth, Sinta Dewi yang melihat
Pangeran Kidang dari bawah ke atas langsung siyok ketika matanya tertuju di
kepala Pangeran Kidang. Ternyata Pangeran Kidang itu berkepala kijang. Karena
Sinta Dewi enggak yakin dengan kehidupan asmaranya ke depan, Sinta Dewi pun
menyuruh Pangeran Kidang untuk membangun sumur sedalam-dalamnya. Lalu, Pangeran
Kidang dikubur hidup-hidup ketika sedang menggali. Karena enggak terima
diperlakukan seperti itu, Pangeran Kidang pun mengutuk Sinta Dewi dan
keturunannya. Secara garis besar cerita begitu.
Cerita selesai, waktu sudah menunjukkan setengah enam pagi dan matahari
belum nongol juga. Yang ada hanya kabut di sekeliling bukit. Karena dipastikan
sunrise tidak akan terjadi karena tertutup kabut, kami pun turun dengan kondisi
yang macet. Kebayang, kan, bagaimana lautan manusia di lereng-lereng bukit
bersiap turun, tapi ketahan karena bentrok: yang turun banyak dan yang naik
banyak juga. Bisa sih bergerak, tapi pelan kayak keong. Nah, ketika sudah
sampai kaki bukit, baru deh bernapas lega karena orang-orang sudah nyebar ke
mana-mana.
Setelah sunrise yang malu-malu keluar, kami pun beranjak untuk sarapan
pagi. Menunya banyak, enak, dan dimakan anget-anget. Perut saya masih
nguwek-nguwek, tapi bisa diselesaikan pagi itu juga :D. Tolak angin pasti
ditemani teh tawar anget. Selesai makan, langsung deh nonstop ke objek
pariwisata Dieng yang rencananya kami kunjungi kemarin. Kami ke Candi Arjuna,
Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan Gardu Pandang Tieng. Setiap objek wisata
hanya dibatasi beberapa menit aja karena mengejar waktu kepulangan via
Purwokerto. Walau sebentar, saya tetep senang-senang aja karena pikiran dan
mata saya bisa istirahat melihat keindahan alam yang bagus banget.
Kami pun balik ke homestay untuk bersih-bersih diri dan packing. Kejadian
yang bikin miris adalah tas saya yang entah kenapa tiba-tiba rusak
resletingnya. Yaelah. Untungnya saya bawa peniti banyak. Jadinya, sepanjang
resleting rusak itu saya penitiin. Emang gak rapet sih, tapi agak tertutup biar
isinya enggak keliatan. Yang miris sebenarnya enggak hanya resleting tas doang,
tapi sepatu. Entah kenapa bisa-bisanya saya ngebuka sepatu kets enggak
pelan-pelan. Akibatnya, sol sepatu sebelah kanan lepas. Jadilah sepatu saya
nganga tiap kali jalan. Padahal sepatu penting banget buat mendaki. Daripada
beli sepatu baru, senior saya keliling warung di Wonosobo buat mencari lem
buatan Cina yang bisa mengelem sepatu. Untungnya, dia ketemu warung yang jual.
Kalau enggak, bisa-bisa saya pakai sandal jepit atau beli sepatu baru. Pengen
ketawa, sih: begini amat nasib. Sepatu solnya nganga, resleting tas rusak,
ditambah perut nguwek-nguwek.
Mungkin, karena long weekend, macetnya Dieng ngalahin macetnya Jakarta. Keluar
dari Dieng aja butuh waktu 1,5 jam. Pak sopir elf yang membawa kami udah ngebut
banget supaya kami on-time tiba di Stasiun Purwokerto. Nyatanya, antara
Wonosobo dan Purwokerto itu enggak sedekat Gaplek-Ciputat. Jaraknya jauh, men.
Itu pun ngebutnya amit-amit sambil nyari jalan alternatif yang jalannya enggak
berlubang. Mendekati pukul 16.10, tapi elf belum nyampe tempat tujuan, segala
doa dipanjatkan dan segala kemungkinan alternatif balik ke Jakarta udah mulai
bermunculan karena peluang ketinggalan kereta gede banget.
Kereta ke Jakarta berangkat pukul 16.10 dan kami baru tiba stasiun pukul
16.05. Di pintu masuk parkiran, suara halo-halo yang mengumumkan kereta
berangkat udah terdengar. Sebelum elf benar-benar berhenti, kami segera
buru-buru keluar sambil bawa tas. Si ibu guide langsung bilang, “Ayo, mbak,
lariiiii!” Ya, saya dan teman-teman langsung ngacir kayak mau disosor ayam.
Ketegangan terjadi di pintu check-in. Teman-teman belum bisa masuk karena
tiketnya belum di-print. Deg-degan lagi. Apalagi ngecek nama satu-satu yang
udah di-print. Nama saya dan teman-teman-teman ada, hanya nama senior saya yang
nge-print-in belum ada. Kami naik duluan dan senior saya mungkin masih
nge-print namanya. Pintu mulai ditutup dan kereta bergerak, saya dan kakak
senior deg-degan. “Lha, si bapak naek kagak? Ntar ketinggalan. Ntar, dia pulang
naek apaan?” Untungnya, beberapa menit setelah kami mulai duduk di kursi,
senior saya dateng sambil nyengir.
Setelah itu, kami cuma ketawa-tawa. Ketika pergi, lama banget sampainya.
Ketika pulang, hampir ketinggalan kereta. Entah tertawa karena kejadian yang
konyol di sepanjang jalan-jalan ini atau tertawa karena kesian amat nasib lo.
Hahaha.
*Sila dibaca kisah sebelum sampai Dieng di sini.
0 komentar