Dieng Road Trip 1: 25 Jam Perjalanan Jakarta-Wonosobo
Maret 05, 2017
Mungkin, agak lebay ketika saya menulis 25 jam perjalanan dari Jakarta
menuju Wonosobo. Saya juga berpikir begitu, tapi ini beneran terjadi ketika
saya dan teman-teman memutuskan road trip ke Dieng lewat jalur Wonosobo (dan
mungkin Wonosobo adalah akses satu-satunya buat ke Dieng. CMIIW).
Untuk saya, kesempatan jalan-jalan tanpa memotong waktu cuti itu sangat
berharga. Kenapa? Jujur, cuti saya untuk tahun 2016 sudah habis pada awal tahun.
Jadi, ketika ada kesempatan untuk jalan-jalan pada akhir tahun tanpa memotong
cuti, betapa bahagianya saya untuk langsung cus, apalagi tempatnya masih di
Pulau Jawa dan saya belum pernah datang ke sana.
Ide perjalanan ke Dieng ini datangnya dari senior kantor yang pernah
datang ke sana dan menjelajah beberapa tempatnya. Karena sirik ngeliat foto-fotonya,
saya pun ikutan ketika jalan-jalan ke Dieng diwacanakan. Yang paling awal
dilakukan senior saya adalah mengumpulkan KTP untuk booking bus dan kereta. Dipilih
bus karena ada produk baru transportasi yang bernama sleeper bus dan bus ini
langsung membawa kami sampai tujuan—Wonosobo. Itinerary pun disusun untuk trip
kali ini sekalian waktu tempuh perjalanan yang bakal dilalui. Berangkat dari Jakarta hari Jumat pukul 3 sore
dan sampai di Wonosobo hari Sabtu pukul 3 pagi. Selama perjalanan itu, karena
tipe busnya adalah sleeper bus, rencananya sih kami bisa istirahat, tidur, dan ongkang-ongkang
kaki sambil nonton TV. Jadi, ketika sampai Wonosobo, bisalah agak lebih segar
dikit untuk menjelajah Dieng. Apalagi, trip ini bakal dipandu sama temannya
senior saya yang pernah ke sana dan seorang pemandu wisata asal Dieng. Jadi,
ini perjalanan yang gak pake mikir. Aah, sedap bener! 😀
Rencananya sih begitu.
Kenyataannya enggak jauh beda dari rencana. Bedanya hanya satu hari aja 😅.
Apa sebab? Bus yang akan mengantar kami menuju Wonosobo ternyata membatalkan
booking-an kami karena si perusahaan masih urus sana-sini sama Kementerian
Perhubungan yang kayaknya lama kelar. Otomatis, bubar deh bayangan bisa tidur
dan ongkang-ongkang kaki di bus jenis baru. Perusahaannya mengalihkan ke bus
malam lain yang tujuannya sama. Katanya sih, busnya menyediakan fasilitas selonjoran
juga. Namanya bus PK (inisial; gak mau nyebut merek 😀). Widiiih, di kepala saya
kebayang dong bus Rosalia Indah VIP yang nyaman banget (berani nyebut merek 😀).
Ketika melihat busnya di terminal bayangan Lebak Bulus, bus
malam yang akan kami naiki itu bus malam standar eksekutif yang jauh di
bawah Rosalia Indah VIP. Enggak ada tuh selonjoran nyaman yang ada di bayangan
saya. Enggak apa-apalah, Wonosobo kan gak sejauh Ngawi, jadi jarak tempuhnya
lebih sedikit.
Entah kenapa, selain bus itu kebanyakan ngetem; keluar dari Terminal
Pasar Minggu, busnya udah nabrak tiang rambu lalu lintas. Besi penyangga spion
patah dan si sopir mesti minggir dulu di tol JORR yang lagi macet-macetnya buat
benerin itu spion. Mayan lama. Selesai spion, bus jalan lagi walau hanya
semeter-dua meter. Di antara kemacetan yang amit-amit ini, teman saya sempat galau,
lanjut jalan atau enggak, karena enggak tahan sama macetnya. Ya, kali, nurunin
penumpang di jalan tol. Bisa-bisa diklaksonin sejagat raya. Peace, Ri! 😆
Masuk Cikarang, bus berhenti lagi karena hendak mengambil penumpang yang
pastinya sudah menunggu dari matahari masih bersinar dan baru dijemput jauh
setelah matahari terbenam. Selesai mengambil penumpang, bus kembali jalan, tapi
mendadak berhenti di pintu masuk tol. Si sopirnya telepon-teleponan dengan agen
Cikarang, “Yang naik bus gue ini penumpang gue bukan, sih?” (Ini inti
pembicaraan karena pembicaraan bercampur dengan bahasa daerah). Penghitungan
pun dimulai dan tunggu-tungguan pun terjadi. Si sopir sempet ngoceh sama
kondektur yang gak teliti sama penumpangnya dan si kondektur dengan muka memelas
menghitung ulang jumlah penumpang. Nunggu pergantian penumpang aja lumayan
lama. Kebayang, kan, berapa banyak jam yang tergeser dari itinerary?
Perjalanan berikutnya pun lancar, tapi itu cuma sampai Cirebon. Ketika keluar
di Kanci yang katanya mau makan malam, bus tiba-tiba berhenti lagi. Kali ini,
berhentinya bus agak berbeda dari biasa. Gak sebentar, tapi lama banget. Oh,
God, ini tengah malem, telat makan, perut laper, dan kita-kita berdiri di
pinggir pintu keluar tol yang sepi, rasanya mau jambak-jambak rambut. Ironisnya,
enggak ada satu pun dari kami yang bawa cemilan. Kece banget, kan? 😔
Lalu, ada bus sesama perusahaan yang bersedia berhenti dan mengantar
sebagian dari kami ke tempat makan. Kata sopir sesamanya, “Biar gak terlantar dan
lebih enak nunggu di tempat makan.” Ya, iyalah, estimasi makan malam itu
mungkin sekitar pukul 8—9, tapi ini udah hampir tengah malam. Karena bus sesamanya
ini penuh, kami pun berdiri mirip naik bus PPD 203 jurusan Grogol—Rawamangun.
Kalo PPD, lorong buat jalannya lega dan lebar, yang ini hanya muat satu orang
aja. Kebayang deh rasanya mudik yang gak kedapetan duduk. Untung kondekturnya
ga bilang, “Rapat lagi ya, rapat lagi. Kanan-kiri bisa diisi.”
Rumah makan yang katanya “enggak jauh dari pintu tol keluar” ternyata
lumayan jauh. Ada kali 10 kiloan. Kalau jalan, pastinya gempor. Di rumah makan
ini, saya dan empat teman-teman saya menunggu. Rumah makannya gede sih—tipikal
tempat makan persinggahan bus malam yang toiletnya mesti bayar Rp2.000 dan makannya
dijatah sedikit-sedikit. Jatah makan malamnya model prasmanan, tapi diambilin
sama mbak yang jaga. Saya sudah siap-siap menunjuk ayam goreng yang banyak
dagingnya, tapi si mbak malah memilih potongan ayam lain yang dia bagi dua dan
saya diberi potongan kecil. Kesian ya 😔.
Bagaimana dengan busnya? Nah, pernah dengar istilah menunggu godot? Di
antara anak sastra, istilah ini tenar banget karena diambil dari judul drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett.
Secara garis besar, si Godot yang ditunggu-tunggu itu enggak pernah datang. Ya,
mirip nih kayak bus PK yang enggak dateng-dateng. Kami menunggu secara resmi—di
luar jam makan—dari pukul 01.00 sampai 05.00. Sumpah ya, saya udah mati gaya
ketika menunggu. Mau tidur enggak nyaman karena orang bolak-balik dan banyak
tas temen-temen di situ. Mau jalan-jalan, tapi takut busnya dateng. Mau jajan
males karena makanan yang dijual gitu-gitu aja. Mau makan enggak ada yang bawa
cemilan. Ya, akhirnya bengong, ngeliatin orang-orang yang baru turun dari bus-bus
malam ngantre toilet, ngeliatin adek-adek mapala yang sibuk sendiri, ngeliatin
bapak-bapak yang tidur sambil ngangguk-ngangguk.
Ada info bahwa bus pengganti akan dikirim. Yeaay! Seneng, dong 😊. Tapi,
berhubung perusahaan busnya ada di Jakarta, kata sang agen, gak mungkin mengirim
bus Jakarta ke Cirebon karena macet total dari Jakarta ke Bekasi. Akhirnya,
ditunggulah bus yang akan ke Jakarta dari—Madura. Yes! Cakep banget 😒. Pasti tau kan yaa
jarak Madura-Cirebon berapa puluh kilometer. Tiap kali tanya agen, si bus dari
Madura sudah sampai mana, jawabnya mirip robot call center, “Sudah di
Pemalang.” Padahal, entah masih di mana 😑.
Bus dari Madura datang sekitar pukul 05.00, tapi kami dan penumpang
lainnya belum boleh masuk dulu. Kami masih harus menunggu karena penumpang
aslinya harus pindah bus dulu. Agak kesian, sih, ngeliat pindahan gitu, apalagi
yang barangnya banyak. Tapi, lebih kasian ngeliat saya, teman-teman, dan
penumpang yang terdampar di rumah makan dari tengah malem sampai matahari
terbit. Ketika siap-siap naik, si abang kondekturnya bilang, “Diutamakan yang
perempuan ya karena seat bus ini
hanya ada 32 dan penumpang yang terdampar tadi ada 45.” Lha? 😧 Kesian banget
cowok-cowok yang duduk dempet-dempetan. Untungnya dua senior saya bapak-bapak
yang mau pensiun, jadi mereka boleh duduk.
Teman saya bertanya ke abang kondektur, “Kira-kira nyampe Wonosobo berapa
lama lagi?” Jawabnya, “Sekitar tiga-empat jam, Mbak.” Oh, berarti enggak
lama-lama amatlah. Siang udah nyampe Wonosobo. Tapiii, itu hanya angan-angan 😩. Busnya
jalan kayak keong di antara motor-motor dan jalan rusak di jalur tengah Pulau
Jawa. Yang paling kece, bus kena macet total, hampir parkir, di sekitaran
Ajibarang. Saya resah karena kebayang macetnya Brexit menjelang Lebaran lalu
dan perut saya mules-mules masuk angin. Terlintas di pikiran saya untuk turun
dan numpang kamar mandi di rumah penduduk, tapi gambling banget. Kalau busnya jalan, kemungkinannya saya ditinggal.
Akhirnya, saya diam aja sambil ngerasain perut nguwek-nguwek. Rasa nguwek-nguwek
itu semakin sempurna ketika muncul rasa pengen pipis. Di bus memang ada toilet,
tapi toiletnya enggak bisa dibuat pipis—entah kenapa. Yaa, akhirnya ditahanlah
panggilan alam itu sampai Wonosobo.
Phenomenal creamy banget ketika bus sampai Wonosobo sekitar pukul
16.00—17.00 pada hari Sabtu. Kalau dihitung-hitung 25 jam-an kami mateng di
jalan. Semua penumpang bus yang enggak kenal satu sama lain akhirnya bisa
ngobrol bareng karena merasa senasib sepenanggungan. Ikatan kami rasanya lebih
kuat dibanding penumpang lain di mana pun berada. Saelaah 😌. Mungkin, sih, kalau bus yang kami tumpangi itu lagi apes aja karena hanya bus itu yang sepertinya nasibnya agak sial dibanding bus sesamanya 😆.
Bagaimana dengan wisata Diengnya? Bagus dan menyenangkan 😍. Tiba di
Wonosobo, kami sudah dijemput ibu guide (temennya senior saya) yang baik
banget. Kami segera dianter ke homestay sambil dipandu dan berhenti di spot
yang kece buat foto. Homestay yang kami tempati nyaman. Bisa tidur walau
dinginnya pake banget. VCO yang saya bawa sampai beku karena suhunya pasti di
bawah 24 dejarat Celsius. Karena saya meerasa gak feeling well gara-gara
kelamaan di perjalanan, saya pakai baju tiga lapis. Si ibu penginapannya baik
banget karena nyediain banyak cemilan biar gak kelaperan lagi kayak di bus 😀.
Perjalanan selanjutnya di Dieng ini, yaa tinggal ikuti petunjuk guide dan
enggak usah pake mikir.
2 komentar
Ya ampun knp ga k Puertorico aja hehehe.... Sy bacanya cape jg Kak. Rasanya pengen jambak2 rambut Kakak hahaha. Lama bgt sih d jalannya.
BalasHapusPulangnya lewat puertorico dan hampir ketinggalan kereta :D
Hapus