Gallery of Kisses: Kumpulan Cerita Cium-Mencium
Mei 12, 2018Melarang adegan ciuman di televisi dan film, tetapi membolehkan perang terus terjadi di televisi sehingga anak-anak tahunya bahwa antarmanusia cuma bisa saling membenci dan tidak bisa saling mencium, itulah pekerjaan orang-orang yang sungguh-sungguh sampai hati.
—Sudjiwo Tedjo
Di Indonesia, ciuman masih menjadi hal yang tabu. Omongan soal ciuman
biasanya dilakukan secara bisik-bisik, apalagi tindakan ciuman. Mengumbar
ciuman di area publik biasanya akan menjadi tontonan atau kernyitan dahi orang
yang melihatnya. Bahkan, pelaku ciuman di area publik dianggap tak bermoral dan
melanggar norma-norma yang berlaku. Padahal, pelaku ciuman sedang mabuk
kepayang karena cinta yang diikuti nafsu. Maka itu, ciuman biasanya dilakukan
diam-diam dan dalam gelap supaya orang-orang tak tahu.
Saya cukup terpana ketika melihat judul buku Gallery of Kisses terpampang bersama buku-buku lain di suatu bazar
buku di FIB UI tahun 2002 yang lalu. Waktu itu, ada pementasan drama kampus
berjudul “Adilla” yang lakon-lakonnya diperankan oleh teman-teman satu jurusan.
Saya pun membeli buku ini karena melihat judul bukunya yang provokatif, menurut
versi saya.
Buku Gallery of Kisses
merupakan kumpulan cerita pendek mengenai ciuman yang ditulis oleh pengarang-pengarang
ternama di Indonesia. Buku ini diangkat dari sebuah pementasan drama musikal
dengan judul yang sama dan drama musikal tersebut merupakan produksi ke-57
Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI).
Ada delapan kisah yang ditampilkan dalam buku ini. Pertama, judul
“Mmmwwwhhh atawa Komposisi untuk Putri Salju” karya Seno Gumira Ajidarma. Kisah
yang diangkat oleh SGA ini tidak begitu rumit, lebih banyak permainan kata-kata
untuk menggambarkan dua bibir yang saling berpagutan. Tidak banyak percakapan,
hanya gambaran betapa dahsyatnya sebuah ciuman.
Kisah kedua berjudul “Ciuman di Arnhem” karya Tommy F. Awuy. Beda dengan
yang pertama, kisah ini bercerita soal mahasiswa Indonesia di negeri Belanda.
Dia adalah pria yang terkaget-kaget ketika perempuan muda yang baru bertemu
dengannya tanpa tedeng aling-aling langsung mendaratkan ciuman. Bukan di pipi,
tetapi di bibir. Tidak hanya ciuman, bahkan ada yang minta lebih dari itu.
Alasannya simpel, hanya sebagai bentuk motivasi untuk peran drama nanti. Awal
yang terkaget-kaget itu membuat tokoh utama menikmati perannya, sebagai teman
bercinta.
Kisah selanjutnya adalah “Ciumlah Aku, Kau Kukejar” karya Jujur Prananto.
Kisah ini bercerita mengenai seorang kontraktor bernama Redana yang ditugaskan
di luar kota Jakarta. Ada sebuah warung makan yang sering disinggahi oleh sang
kontraktor. Pemilik warung tersebut memiliki seorang putri bernama Syafrini
yang masih menempuh pendidikan di SMA. Percakapan antara mereka dimulai dari
sapaan-sapaan biasa hingga Syafrini berkonsultasi mengenai tugas-tugas sekolah.
Ketika Redana akan kembali ke Jakarta, Syafrini tidak muncul di warung makan
hingga Redana mendatangi rumah Syafrini. Di rumah tersebut yang tidak ada
siapa-siapa di sana, Syafrini meminta ciuman dari Redana. Mereka berciuman di
rumah tersebut dan di sanalah Redana tahu bahwa Syafrini sebenarnya sakit dan
umurnya tidak lama lagi. Makanya, ia ingin merasakan ciuman. Beberapa tahun
kemudian, Redana yang akhirnya menikah dan memiliki anak tiba-tiba mendapatkan
telepon tengah malam dari Syafrini yang katanya ada di Jakarta dan menginap di rumah
seberangnya. Nyatanya, Redana mengigau dan ponselnya tidak nyala sejak sore. Jadi,
siapakah yang bicara dengan Redana tengah malam?
“Barang Siapa Mau Mencium” adalah tulisan berikutnya karya Yanusa
Nugroho. Kisah ini berlatar belakang kerajaan karena ada sayembara yang dibuat
oleh sang raja untuk anak gadisnya yang sakit. Namun, sayembara tidak diumumkan
ke khalayak, hanya bisik-bisik. Tokoh Mat Lebak yang pemalas sangat bersemangat
mengikuti sayembara ini hingga ia memberi tahu sahabatnya Do’on. Akan tetapi,
ia curiga, jangan-jangan Do’on akan menikung dia dalam sayembara ini. Nyatanya,
Do’on memberikan daun yang dicari-cari Mat Lebak untuk memenangkan sayembara. Dengan
takut-takut, Mat Lebak masuk ke dalam istana untuk menyembuhkan sang putri.
Ajaibnya, sang putri pun sembuh dan menikahi Mat Lebak. Sayangnya, Mat Lebak
tidak merasakan kebahagiaan. Ia malah merindukan kehidupannya yang dulu dan
sahabatnya Do’on yang entah ada di mana.
Lalu, ada kisah “Maaf” karya Reda Gaudiamo yang berbicara mengenai tokoh
aku yang dapat berbicara dengan sosok tak kasat mata. Tokoh aku adalah
laki-laki dan sosok tak kasat mata adalah perempuan. Mereka tidak sekadar
bicara pendek, tetapi bicara panjang lebar, bahkan curhat. Hingga suatu hari
sosok tak kasat mata itu bercerita bahwa dia jatuh cinta. Tokoh aku mendesak
siapa yang membuat dia jatuh cinta, tetapi tidak dijawab oleh sosok tak kasat
mata yang pergi begitu saja ketika tokoh aku menawarkan akan mencium dia. Setelah
pergi beberapa lama, sosok tak kasat mata kembali dan memberi tahu siapa yang
dia cintai. Sosok tak kasat mata mencintai tokoh aku. Entah apa yang
mendorongnya, tokoh aku mencium sosok tak kasat mata hingga ia terseret ke
dalam dunia tak kasat mata.
Kisah berikutnya adalah karya Veven
Sp. Wardhana yang berjudul “Membendung Waktu”. Kisah ini bercerita mengenai sepasang
laki-laki dan perempuan usia dewasa yang bertemu kembali setelah berpisah
sekian lama. Awalnya hanya pertemuan biasa hingga muncul gairah di antara
mereka. Tiap kali mereka bertemu dan bercinta, tiap kali pula sang perempuan
merasakan usia mudanya muncul kembali. Bahkan, sang suami bahagia ketika sang
istri terlihat semakin muda. Namun, ia pun merasa menjadi sosok yang semakin
muda ketika seorang laki-laki setengah baya menuntunnya untuk kembali pulang ke
rumahnya. Di rumah tersebut, sudah menunggu pria tua yang kehilangan istrinya.
Ketika melihat perempuan muda yang dituntun laki-laki itu, si pria tua merasa
bahwa perempuan muda itu mirip dengan istrinya yang sudah lama tidak kembali.
Kemudian, Putu Wijaya pun menuliskan kisah berjudul “Ngok”. Di kisah ini,
ada Ami yang mengunci pintu kamarnya, lalu menangis. Sang ibu yang khawatir
mengapa Ami menangis mengetuk pintu kamarnya. Namun, Ami malah tersenyum dan
mengatakan tidak ada apa-apa kepada ibunya. Setelah ibunya pergi, Ami kembali
menangis lagi. Tangisan Ami yang menyayat itu terdengar kembali, bahkan
didengar oleh tetangganya. Namun, tiap kali ditanya, dia menjawab baik-baik
saja. Keluarga Ami pun berspekulasi, mungkin Ami hamil. Nyatanya, Ami
mempertanyakan kejujuran alias keterusterangan. Jika ia terus terang, mungkin
tidak akan ada yang percaya dengan dia. Apalagi ketika ia bercerita bahwa soal
keadaan negara dan pacarnya yang meminta ciuman kepada Ami. Menurutnya, terus
terang itu tidak sulit. Yang sulit itu bagaimana menilai terus terang itu
sendiri.
Kisah terakhir ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dengan judul “Ratapan
Anak Tiri”. Ini macam cerita berbingkai atau cerita dalam cerita. Tokoh aku
seperti biasa mendengar temannya yang sedang bercerita mengenai seorang anak
tiri. Anak ini ingin sekali dicium karena ia tidak pernah dicium oleh bapak dan
ibu tirinya. Bapaknya tidak sempat menciumnya karena sibuk mencium istri kedua.
Suatu kali, si anak mendapatkan tugas dari sekolah untuk membuat sebuah
karangan. Karena ingin sekali dicium, si anak pun menulis perihal cium-mencium
dengan tokoh-tokohnya dari teman-temannya sendiri. Dengan karangan tersebut, sang
guru menyuruh si anak menulis lagi. Namun, sang anak pun menulis hal yang sama.
Ia bingung karena merasa bahwa gurunya tidak mengerti penderitaannya yang ingin
sekali dicium. Akhirnya, si anak kembali menulis karangan lagi mengenai anak
yang ingin mencium pipinya sendiri. Tokoh aku terbawa oleh cerita temannya itu.
Sesampainya di rumah, tokoh aku pun melihat cermin dan tersadar bahwa memang
sulit mencium pipi sendiri bahkan di hadapan cermin. Tiap kali hendak mencium
pipi, yang kena cium pasti bayangan bibir.
Seperti judul bukunya, kisah-kisah yang diangkat tak kalah menariknya
dengan judul bukunya. Delapan kisah tersebut memiliki gayanya sendiri dengan
makna yang bermacam-macam. Menarik, itu yang dapat saya katakan. Tidak
membosankan dan malah membuat penasaran. Di satu sisi, topiknya memang tabu. Di
sisi lain, ciuman itu wajar aja asalkan sudah sah alias pasangan yang ciuman
sudah diakui secara hukum dan agama. Tapi, mungkin untuk sebagian orang masih
dianggap tabu, apalagi diumbar di depan publik dan belum diresmikan. Ya,
sebagian besar masyarakat memang menganggapnya seperti itu. Namun, apakah
mungkin lama-kelamaan ciuman tidak lagi dianggap tabu dan kita-kita akan saling
memaklumi jika ada yang mengumbar di tempat umum? Mungkin begitu dan mungkin
juga tidak. Entahlah. Sepertinya kita harus meresapi kutipan tulisan Sudjiwo
Tedjo di atas :D.
Nah, bagi yang mau membaca, silakan dibaca, tetapi hanya untuk yang sudah
17 tahun ke atas :D. Bagi yang penasaran ingin membeli buku ini, silakan dibeli
karena boleh banget dijadikan koleksi. Namun, saya enggak tahu apakah cetakan
barunya masih dijual di toko-toko buku besar. Yang paling mungkin sih
mencarinya di penjual buku bekas karena siapa tahu mereka punya buku ini atau
siapa tahu ada yang mau menghibahkan buku ini.
Selamat membaca!
0 komentar