Sampek dan Engtay: Adaptasi Lakon Cinta dari Negeri Cina
Juni 27, 2018
Kebanyakan kita lebih sering mengenal kisah cinta Romeo dan Juliet
dibanding kisah-kisah cinta lainnya, seolah-olah tak ada yang lebih pilu
dibanding dua anak manusia dari keluarga Montague dan Capulet itu. Shakespeare
memang mampu membuat banyak mata menangis melihat tragisnya kisah cinta Romeo
dan Juliet. Buktinya bisa dilihat berbagai adaptasi yang dilakukan oleh pekerja
seni kreatif dengan kisah cinta yang tragis itu, mulai dari pekerja seni amatir
hingga pekerja seni kelas Hollywood.
Namun, jangan salah, kisah cinta sejenis Romeo dan Juliet ini sebenarnya bertebaran
di berbagai penjuru bumi dengan bumbu-bumbu tragisnya yang begitu menyayat
hati. Konon, sebelum Romeo dan Juliet populer, ada juga legenda mengenai
Tristan dan Isolde yang bisa dibilang tragis. Di belahan bumi yang lain, terdapat
kisah Qais dan Laila dari negeri Arab, kisah Roro Mendut dan Pronocitro dari
negeri Jawa, atau kisah Sampek dan Engtay dari negeri Cina yang juga menampilkan
kisah cinta tragis yang membuat hati mencelos.
Sampek dan Engtay adalah dua nama tokoh yang populer dalam legenda cinta
dari Cina. Namanya tentu kalah populer dengan Romeo dan Juliet, tetapi kisah
cintanya tak kalah tragis dengan Romeo dan Juliet. Kisah ini pernah beberapa
kali diproduksi dalam bentuk film: Sampek Engtay (1931), The Love Eterne
(1963), The Lovers (1994), dan The Butterfly Lovers a.k.a. The Assassin’s Blade
(2008). Dari keempat produksinya, yang saya pernah tonton adalah The Lovers
pada Sinema Sabtu Pagi RCTI beberapa tahun silam. Saat itu, pemeran Sampeknya
adalah Nicky Wu, artis Cina yang juga populer seperti Jimmy Lin :D.
Kisah cinta Sampek dan Engtay yang populer ini ternyata menarik minat seniman
teater yang mengangkatnya menjadi seni pertunjukan di atas panggung. Adalah
Teater Koma di bawah besutan N. Riantiarno yang mengangkat kisah cinta Sampek
dan Engtay ke atas panggung dengan latar belakang Betawi dan menjadi lakon yang
paling banyak dipentaskan sejak pertama tampil tahun 1988. Bahkan, tahun 2015
adalah tampilnya lakon Sampek dan Engtay yang ke-101.
Jujur, saya belum lihat lakon ini dan pengen banget (berharap banget) Teater
Koma menampilkan kembali lakon Sampek dan Engtay di atas panggung. Keinginan dan
harapan saya agak sedikit terobati ketika saya membaca Naskah Sandiwara Teater
Koma: Sampek dan Engtay karya N. Riantiarno yang diterbitkan oleh Galang Press
tahu 2004.
Dalam sandiwara ini, ada sekitar 21 pelakon ditambah kelompok-kelompok
pelakon yang tidak disebutkan nama karena biasanya masuk panggungnya gerombolan.
Lakon dimulai dari Dalang sebagai pengantar dan penghubung cerita yang kemudian
juga bercakap dengan salah satu pelakon bernama Sukiu—bujang Sampek.
Ketika lampu berubah, kisah pun dimulai di rumah keluarga Ciok, yaitu
keluarga Engtay. Engtay adalah putri satu-satunya keluarga Ciok yang kaya raya.
Engtay memiliki keinginan untuk sekolah di Betawi, tetapi tidak diizinkan oleh
orang tuanya. Pada masa itu, perempuan sekolah merupakan hal yang tabu karena
perempuan diyakini harus di rumah: mengurus rumah dan suami. Apalagi Engtay
yang sudah dijodohkan dengan Macun, anak Kapten Liong—sosok yang pernah menolong
perdagangan keluarga Engtay. Namun, karena keinginan kuat Engtay, orang tua
Engtay pun mengizinkan Engtay sekolah di Betawi. Kepergian Engtay ini pun
dirahasiakan oleh keluarganya jika Kapten Liong dan Macun bertanya soal Engtay.
Di Betawi, Engtay yang dari Serang bertemu dengan Sampek dari Pandeglang yang
juga murid baru di sekolah Betawi. Pada pertemuan pertama itu, mereka berdua
memutuskan menjadi saudara dengan Sampek sebagai kakak serta Engtay sebagai
adik dan tentunya mereka ditempatkan sekamar. Awalnya, Engtay takut tidur
bersisian dengan Sampek. Ia curiga Sampek akan melakukan hal yang tidak baik
dengannya. Ia pun mencari cara supaya ia bisa tahu apakah Sampek memiliki hati
yang jahat atau hati yang baik. Nyatanya, Sampek adalah pemuda lurus dan
berhati baik hingga Engtay lama-lama jatuh cinta kepadanya. Bahkan, saking
lurusnya, Sampek tak mengerti kode-kode yang diberikan oleh Engtay. Begitu juga
kode terakhir yang diberikan Engtay sebelum ia kembali ke rumah keluarganya
untuk menunggu Sampek datang melamarnya. Sampek tentu datang ke rumah Engtay,
tetapi lewat lama sekali, keburu Engtay dilamar Macun.
Kesedihan pun melanda Sampek yang terlambat meminang kekasihnya. Sampek
pun sakit keras hingga meninggal dunia. Kematian Sampek membuat Engtay patah
hati. Setelah pernikahannya dengan Macun, Engtay pun diboyong ke rumah Macun di
Rangkasbitung. Di tengah perjalanan, Engtay meminta mereka berhenti karena
ingin menyekar di kuburan temannya yang baru meninggal. Macun tidak curiga dan
mengizinkan Engtay untuk pergi ke kuburan temannya. Namun, Macun tidak melihat
kesedihan yang menghinggapi Engtay.
Di kuburan Sampek, Engtay menangis karena dia tahu bahwa Sampeklah
laki-laki yang ia cintai selama ini. Kemudian, Engtay pun berkata, “Kau taruh
tusuk kondeku di sini. Aku tahu, apa yang kau harapkan dariku. Sampek, kuambil
tusuk konde ini. Akan kuketuk-ketuk di kuburanmu. Kalau kita memang berjodoh,
kuburan ini pasti akan terbuka. Lalu, aku akan masuk dan menjadi satu dengan jasadmu
untuk selama-lamanya. Tapi, kalau kita memang tidak berjodoh, tentu aku akan terus
dibawa Macun ke Rangkasbitung dan jadi istrinya seumur hidup. Sampek, kau mati
lantaran aku. Buktikan bahwa kematianmu tidak sia-sia. Aku ketukkan tusuk konde
ini tiga kali. Terbukalah. Terbukalah kuburmu ini.”
Kuburan Sampek pun terbuka dan Engtay pun masuk ke kuburan itu. Macun dan
Kapten Liong memerintahkan orang untuk menggali kuburan itu. Namun, bukan jasad
dua manusia yang ditemukan, tetapi dua keping batu biru dan sepasang tawon
kuning.
Lakon pun ditutup oleh koor yang menyanyi dengan syahdu.
Drama yang dibawakan oleh Teater Koma memang selalu menarik. Dan,
lagi-lagi saya pengen banget lakon ini dipentaskan kembali. Membaca naskah
dramanya saja sudah bisa membawa saya menyelami dunia lakon Sampek dan Engtay: melihat
Sampek sebagai pemuda yang lurus dan baik hatinya, kemudian Engtay sebagai
perempuan pendobrak pada masanya yang ingin posisinya disetarakan dengan
laki-laki yang bersekolah. Ada benarnya juga jika Engtay berkata, “Mungkin aku
lahir terlalu cepat.”
Gaya tutur dalam naskah drama ini adalah gaya tutur Teater Koma. Ada bagian yang membuat saya terkikik dan ada bagian yang membuat saya bersedih. Dan, sepanjang saya membaca naskah sandiwara ini, saya menikmati kisah cinta antara Sampek dan Engtay.
0 komentar