Annyeonghaseyo, Seoul-Busan!
September 30, 2018
Selamat datang di Korea Selatan. Itulah ucapan saya terhadap diri sendiri ketika menjejakkan kaki di Bandara Incheon, Seoul. Pasalnya, baru kali pertama perjalanan saya menuju Asia Timur.
Degdegan tentunya karena penasaran seperti apa sih negerinya si Super Junior ini. Apakah dipenuhi oleh oppa-oppa ganteng seperti yang berseliweran di drama-drama Korea? Apakah wajahnya akan semulus para bintang K-Pop? Apakah wajah-wajah orang Korea seperti wajah-wajah yang sering saya temui di kelas BIPA? Who knows? Yang jelas, bagi saya, framing seorang bintang di Korea Selatan begitu kuat hingga kita disuguhi standar wajah cantik dan ganteng itu seperti apa.
Perjalanan ini diikuti oleh 10 orang perempuan dari yang paling muda anak kelas 1 SMA hingga yang tertua—pegawai instansi yang lagi butuh hiburan :D. Ya, karena isinya perempuan semua, perjalanannya ya penuh dengan celotehan khas perempuan. Kalau ada oppa ganteng, semua mata tanpa perlu komando langsung ngelirik si oppa sambil senyum-senyum tertahan. Mirip ikan kalo lagi tertarik sama cahaya. Yang paling menang banyak kalau diajak ngobrol oppa cakep atau duduk sebelahan sama oppa yang cool. Lelah karena kecapekan jalan cukuplah terobati.
Ini bukan perjalanan instan tentunya. Butuh beberapa waktu untuk saya menabung hingga bisa beli tiket pesawat, menginap di sana, transportasi, dan makan. Bahkan, satu teman trip saya berkali-kali menyebutkan bagaimana usahanya menabung selama dua tahun agar bisa ikutan trip ini. Maka itu, usaha menabung sekian lama pun dibarengi dengan semangat 45 untuk berkunjung ke negeri gingseng. Gak hanya dia aja sih, kami semua memiliki semangat yang sama. Apalagi, trip ini barengan K-Poppers garis keras. Saya yang bukan penggemar drakor dan bukan K-Poppers ya lama-lama agak terkena terpaan dari hawa-hawa mereka juga. Saya jadi tahu yang namanya Black Pink, BTS, Red Velvet, Seventeen, bahkan Kang Daniel yang poster besarnya terpampang di sebuah stasiun.
Kami menghabiskan empat hari di Seoul dan satu hari di Busan serta dua hari dihitung perjalanan. Lokasi wisata yang kami kunjungi adalah lokasi yang populer di kalangan turis. Kalau di Seoul, tempat yang kami kunjungi adalah Gwanghwamun Square, Bukchon Hanok Village, N Seoul Tower, Nami Island, Petite France, Gyeongbokgung Palace, Itaewon, Gangnam Road, Apgujeong Rodeo, dan Coex. Nah, kalau di Busan, kami mengunjungi Gamcheon Culture Village, Gwanganli Beach, dan Oryukdo Skywalk.
Semua tempat wisata yang kami kunjungi itu unik sih dan punya ciri khas sendiri. Misalnya, di Gwanghwamun Square, ada sebuah patung raja Sejong--penemu tulisan Hangul. Di dekatnya ada patung Admiral Yi Sun-sin. Square ini diperuntukkan sebagai ruang publik untuk mengadakan kegiatan. Nah, pada saat kami datang, memang ada tenda-tenda bazar yang sedang menampilkan industri kreatif orang-orang Korea. Ada suvenir seperti tote bag dengan motif lukisan yang dibuat sendiri, lukisan di atas ornamen kayu, atau baju-baju karya orang-orang Korea.
Di dekat Gwanghwamun Square, ada Gyeongbokgung Palace--istana raja zaman dahulu. Sekarang, istana ini gak lagi digunakan karena Korea Selatan sudah menjadi sebuah republik. Walau dibuka untuk umum, konon istana ini gak digunakan buat syuting. Peruntukan istana buat syuting katanya sih beda lagi dan memang sengaja dibuat oleh production house sendiri. Nah, di sekitaran istana, ada banyak tempat yang menyewakan pakaian-pakaian tradisional Korea untuk dipakai keliling-keliling istana selama dua jam. Motif dan harga sangat bervariasi. Ada yang polos dan ada yang motif bunga brukat. Saat itu, kami memilihnya yang ada motif-motif bunga di pakaiannya sehingga gak terkesan polos banget. Harganya sewanya sekitar 13.000 won, tapi ada tempat yang menyewakan 10.000 won. Untuk yang memakain Hanbok, gak perlu lagi membayar tiket masuk ke istana. Kalau yang gak pake Hanbok, bayarnya sekitar 3000 won. Ada teman saya yang pernah ke Korea sekitar tahun 2014 yang bilang bahwa pada tahun itu memakai pakaian tradisional gak bayar; ya pakai aja dan masuk istana juga gak bayar. Untung banget ya. Ya, mungkin sekarang regulasinya sudah berubah.
Di dekat Gwanghwamun Square, ada Gyeongbokgung Palace--istana raja zaman dahulu. Sekarang, istana ini gak lagi digunakan karena Korea Selatan sudah menjadi sebuah republik. Walau dibuka untuk umum, konon istana ini gak digunakan buat syuting. Peruntukan istana buat syuting katanya sih beda lagi dan memang sengaja dibuat oleh production house sendiri. Nah, di sekitaran istana, ada banyak tempat yang menyewakan pakaian-pakaian tradisional Korea untuk dipakai keliling-keliling istana selama dua jam. Motif dan harga sangat bervariasi. Ada yang polos dan ada yang motif bunga brukat. Saat itu, kami memilihnya yang ada motif-motif bunga di pakaiannya sehingga gak terkesan polos banget. Harganya sewanya sekitar 13.000 won, tapi ada tempat yang menyewakan 10.000 won. Untuk yang memakain Hanbok, gak perlu lagi membayar tiket masuk ke istana. Kalau yang gak pake Hanbok, bayarnya sekitar 3000 won. Ada teman saya yang pernah ke Korea sekitar tahun 2014 yang bilang bahwa pada tahun itu memakai pakaian tradisional gak bayar; ya pakai aja dan masuk istana juga gak bayar. Untung banget ya. Ya, mungkin sekarang regulasinya sudah berubah.
Daerah wisata lain yang ada di sekitaran istana adalah Bukchon Hanok Village. Ini sebenarnya perumahan orang Korea, tapi dengan rasa tradisional. Di bagian mana ada rasa tradisionalnya? Sebagian besar di bentuk atap dan pagar rumahnya. Di perumahan ini, ada salah satu rumah yang dijadikan tempat syuting Personal Taste.
Tempat populer lain yang kami kunjungi adalah Namsan Seoul Tower--tempatnya gembok cinta. Di sini, selain menara yang tinggiiii banget, ada banyak spot pengakuan cinta yang bertebaran di mana-mana alias tempat masang gembok ada di mana-mana. Dari yang udah karatan sampai yang baru dipasang. Dari yang gembok lucu imut sampai gembok pagar yang besar. Dari gembok yang pake tulisan kata cinta sampai casing hape dengan foto sang kekasih. Beragam dan tentunya dari penjuru dunia. Tapi, konon, untuk beberapa orang yang memasang gembok di sini, cinta yang diharapkan bertahan lama dan langgeng, malah jadi kebalikannya. Entahlah. Apa daya magis cintanya sudah berkurang atau sudah terlalu banyak dengki di antara kita. Tsaelah. Oh iya, gembok cinta juga bisa dibeli di toko suvenir di Namsan. Harganya bervariasi, tapi yang paling murah harganya sekitar 9500 won.
Wisata lain yang butuh waktu seharian untuk dikunjungi adalah Nami Island. Perjalanannya panjang dan perlu menggunakan kapal feri. Di Nami Island ini, terdapat hamparan pohon-pohon pinus yang memang bagus untuk spot foto. Gak hanya hamparan pohon pinus aja, tapi ada juga panggung hiburan, toko-toko suvenir, dan rumah makan. Di pulau ini juga pernah dijadikan syuting drakor Winter Sonata dan dua pemeran utamanya diabadikan melalui patung yang saling berhadapan.
Di sekitaran Nami Island, ada tempat wisata Petite France. Ketika membaca namanya, saya ingat The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery. Dan, memang Petite France ini terinspirasi oleh karya Mr. Saint-Exupery.
Isinya seperti apa? Tentunya spot foto dan nama besarnya dipopulerkan oleh syuting drakor di tempat tersebut. Kalau menurut saya, tempat ini mirip Farmhouse di Lembang. Jadi, ada satu lokasi yang memang dijadikan tempat buat foto-foto aja. Nah, Petite France ini, mengadaptasi perkampungan di Prancis. Muncullah rumah-rumah replika lengkap dengan isinya. Koleksi-koleksi antik khas Prancis atau Eropa juga diperlihatkan di sini. Entah mengapa saya baru ngeh bahwa ada koleksi pajangan ayam dengan berbagai bentuk. Mungkin, ada hubungannya antara ayam dan maskot Prancis karena maskot timnasnya ada lambang ayam jagonya.
Namun, pengalaman di Petite France kalah menariknya dengan teman trip saya Ika yang menghampiri Anggi dengan tiba-tiba. Saat itu, kami sudah berada di dalam bus menuju stasiun untuk kembali ke Seoul.
"Kak Anggi, Kak Lena ketinggalan," kata Ika panik.
"Ha? Serius lo?" Anggi balik bertanya. Ia segera bangkit dari kursinya dan mulai menghitung anggota kami. "Iya, kurang satu. Ya, ampun, Lena."
Anggi langsung mencoba menghubungi Lena yang hanya mengandalkan wifi gratisan. Ketika terhubung, Anggi segera ngomong, "Len, elo di mana?"
Lena menjawab dengan santai, "Di hatimuuuu."
Anggi yang panik sekaligus geli. Sayangnya, wajahnya panik kembali ketika dua bus yang kami tunggu di halte stasiun tidak membawa Lena kembali. Bus ketiga pun tiba dan di sanalah Lena--teman satu trip kami--datang menghampiri kami dengan wajah ngantuknya. Apa yang membuat Lena tertinggal? Bukan karena dia tidur, tapi hanya memenuhi panggilan alam aja yang tak tertahankan :D.
Trip kami ini tak lupa menapaki lokasi wajib anak-anak K-Pop, yaitu Gangnam Road. Di sini, kami melintasi boneka Gangnam yang dipajang di trotoar dengan tiap boneka mewakili tiap grup penyanyi debutan SM Entertainment. Mulai dari Super Junior hingga BTS. Ada juga boneka Gangnam yang besar yang menurut saya mewakili Psy :D. Yang masih satu tempat dengan Gangnam Road adalah Apgujeong Rodeo. Agak bingung ada apa di sini, selain tempat belanja. Dan di seberang halte bus yang saya tunggu, ada mal gede banget dengan lampu warna-warni.
Gak jauh dari Gangnam Road, ada SMTown untuk mengobati kerinduan para penggemar K-Pop dengan artis-artis idolanya. Gedung yang modern dan tampilan video dengan teknologi canggih membuat SMTown terlihat glamor. Kalau di Hollywood, ada walk of fame, di SMTown ada cetakan tangan dari artis debutan mereka. Menarik untuk para penggemar K-Pop karena telapak tangan idolanya ada di sana.
Nah, bagaimana dengan perjalanan di Busan?
Perjalanan ke Busan ditempuh dengan waktu sekitar 3 jam dengan KTX--kereta cepatnya Korea. Harga tiketnya ada yang dapet 273.000 won bertiga orang dan ada yang perorangan sekitar 121.000 won. Keretanya bersih dan terlihat lebih moden, tetapi namanya kereta kurang lebih sama aja sih. Cuma guncangannya berkurang dibanding kereta Purwokerto--Jakarta :D. Di kereta yang saya pikir tidak akan ada penumpang yang berdiri karena antarkota dan antarprovinsi, ternyata ada juga penumpang yang berdiri hingga padat walau tidak desak-desakan. Mungkin, karena kereta cepat, berdiri pun gak apa-apa. Toh, jarak tempuhnya enggak sampai Busan juga. Lagi pula, di Korea kayaknya enggak ada deh penumpang gelap seperti kereta-kereta masa-masa dulu di Indonesia. Semuanya pasti punya tiket.
Busan ini boleh saya bilang sebagai kota pelabuhan karena posisinya di pinggir laut. Tapi, ada desa-desa di pinggir bukit dan tembok rumah pendudukanya dicat warna-warni, yaitu Gamcheon Culture Village. Kami mengunjungi desa ini dan diberikan tantangan untuk menyelesaikan misi berdasarkan peta yang ada di pusat informasi. Menarik sekaligus tepar karena posisi desa mengikuti kontur bukit, kami pun harus berjalan serta naik turun di jalan-jalan desa. Saya hampir dehidrasi karena kurang minum. Untung ada mesin minuman dan toko kecil tempat saya menghilangkan dahaga. Ketika matahari tenggelam, barulah kami keluar dari Gamcheon.
Masih kelelahan dari Gamcheon, kami istirahat di pinggir pantai Gwanganli Beach. Saya yang berpikir bahwa akan banyak angin pantai seperti anginnya di pantai Anyer, nyatanya enggak ada angin walau berasa lebih adem. Pantainya tetap ramai. Jalan-jalan dan toko-toko di sekitara pantai juga ramai. Sayangnya, karena malam hari, pantainya enggak kelihatan bening atau butek. Rasanya gelap aja gitu. Di pantai ini, tim juri melakukan penilaian dari misi yang berhasil diselesaikan. Dan, kelompok kami mendapatkan juara kedua dengan hadiah notebook Kakaotalk.
Besok paginya, kami menuju Oryukdo Skywalk--tempat wisata yang baru aja dibuka. Ini adalah wisata di tebing pantai dengan pemandangan yang aduhai. Rasanya tuh biruuu semua ketika mata memandang. Karena skywalk, di sini ada jembatan U-shape yang gak terlalu besar dan transparan. Jadi, kami bisa melihat tebing di bawah kami. Ngeri sih untuk yang takut ketinggian. Jalan ke skywalk ini gratis dan pengunjung harus melapisi sepatunya dengan alas kaki dari bahan beludru. Saat di skywalk berasa jalan di atas laut sambil ngeliat gugus pulau-pulau kecil yang ada di dekatnya.
Mungkin, ada yang bertanya, kok ke Korea gak ke tempat belanja?
Myeondong kala senja |
Oh, tentu, kami ke tempat belanja. Saya ke tempat belanja, tetapi teman-teman saya yang belanja :D. Ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi buat belanja di Korea. Nah, yang kemarin kami kunjungi itu adalah Insadong, Myeondong, Hongdae, Go to Mall, dan Itaewon. Sebenarnya, tempat-tempat itu hampir mirip, yaitu tempat perbelanjaan yang kanan kirinya banyak toko-toko. Tapi, yang selalu jadi populer di kalangan anak-anak muda Korea dan turis adalah Myeondong dan Hongdae. Di Myeondong, banyak food street khas Korea yang layak dicoba, sedangkan di Hongdae banyak pertunjukan seni dengan banyak talenta keren-keren. Toko-tokonya kurang lebih sama di antara mereka.
Salah satu performance di Hongdae |
Insadong agak berbeda dengan Myeondong dan Hongdae. Di sini, abang-abang kaki lima jarang. Toko-tokonya cenderung toko-toko yang gak memproduksi secara massal karena produksinya adalah hasil kerajinan seniman. Lebih kalem gemerlapnya dibanding Myeondong dan Hongdae. Di sini, kata teman, harga kaus bertuliskan Korea dibanderol 18.000 won. Padahal, di Myeondong bisa dapat 5000 won untuk ukuran S sampai dengan XXL.
Tiga tempat ini berbeda dengan Go to Mall. Jangan ngebayangin Go to Mall kayak mal di sini karena ada nama mal-nya. Beda banget dari kesan mal, yang ada kesan ITC :D. Go to Mall ini adalah tempat belanja underground mirip yang di Myeondong dan disebut underground karena ada di bawah tanah dan deket stasiun kereta. Di sini, toko-tokonya menjual barang-barang yang berhubungan dengan style alias fashion. Harganya juga standar harga Korea. Ada yang 3000 won, 5000 won, 10.000 won, atau 20.000 won. Saya dapat sweater yang ternyata kegedean dengan harga 5000 won dan sampai sekarang belum dipakai. Setiap belanja di sini, walaupun tokonya berbeda-beda, kantong belanja tetap sama, yaitu dengan tulisan Go to Mall, makanya saya jadi tahu bahwa toko-toko di underground itu namanya Go to Mall.
Tempat belanja yang empat itu beda lagi sama Itaewon. Di sini, banyak tempat makan halal, mulai dari khas Korea hingga Indonesia. Di sini pula ada satu masjid besar yang sepertinya menjadi pusat studi agama Islam di Seoul. Selain masjid, yang menarik juga adalah toko Line Friends yang konon lebih besar dibanding di Myeondong. Baru sampai depan pintu toko rasanya enggak mau pulang karena udah disambut Brown dengan kostum musim panasnya. Muter-muter di dalam toko, kepincut bantal Brown yang tatapannya manis banget. Kayaknya, kepala saya isinya hanya Brown lagi muter-muter.
Nah, dari tempat-tempat belanja itu, toko yang selalu ada pastinya toko komestik Korea :D. Dari merek yang saya kenal sampai yang gak saya kenal biasanya ada di tempat-tempat belanja itu, kecuali Itaewon ya karena saya gak mengeksplor jauh, kecuali toko Line :D, seperti Nature Republic, Etude House, The Face Shop, Innisfree, Skin Food, The Saem, Olive Young, Holika Molika, dan lain-lain. Untuk Nature Republic, dia bahkan buka gerai di pintu masuk stasiun. Mungkin, kosmetik dan perawatan ini adalah standar Korea karena melihat mereka dandan kayaknya enggak luntur-luntur. Nempel aja terus walau tersengat matahari yang panasnya nauzubillah.
Memang sih saat kami tiba di sana, Korea sedang panas-panasan alias musim panas. Jadi, ketika keluar dari subway menuju hostel, sengatan panas sudah menusuk-nusuk kulit. Menyengat masih bisa tertolong kalau ada angin. Masalahnya, angin hampir enggak ada hingga udaranya engap. Kebayang, kan, di tengah panasnya Seoul, kami jalan di trotoar sambil geret-geret koper yang ukurannya medium. Rasanya tuh ada yang buka pintu neraka, tapi lupa ditutup :D.
Tapi, sepanas-panasnya Seoul ternyata ada hujannya juga. Konon, hujan itu lebih ada saat musim panas ketimbang musim yang lain. Saat di Insadong, kami harus berlari-lari cari tempat berteduh karena tiba-tiba hujan turun.
Nah, karena ini trip ala backpacker, kami lebih banyak jalan dan naik transportasi umum. Sepatu yang nyaman dan empuk sangat diwajibkan supaya kaki nyaman selama perjalanan. Mengapa? Karena, sepatu yang teplek alias flatshoes membuat kaki lecet. Kaki saya pun lecet, padahal sepatunya menurut saya udah enak banget sepanjang saya menggunakannya di Jakarta. Mungkin, jalan di sana terlalu overload hingga bikin lecet.
Bagaimana dengan pembayaran transportasi di sana? Metode pembayarantransportasi umum di Korea menggunakan T-Pop yang sudah terintegrasi antara kereta dan bus. Untuk top-up pengisiannya biasanya dilakukan di stasiun kereta dengan mesin tersendiri. Rapi dan layaknya kota modern. Model kayak begini mengingatkan saya dengan Singapura dan berharap di Indonesia--minimal di kota-kota besarnya--sudah ada sistem model begini. Sekarang sih di Indonesia sudah bertahap pembayaran dengan kartu antara bus, kereta, dan jalan tol. Namun, hampir semuanya menggunakan platform bank yang pengisiannya lebih gampang di ATM bank tersebut. Ada juga yang terintegrasi lewat kartu OK Trip, tapi terintegrasinya antara angkot dan busway. Pengennya saya ada satu kartu yang gak perlu dibuat oleh bank, tapi bisa digunakan sebagai alat pembayaran transportasi yang terintegrasi antara kereta dan bus. Jadi, gampang buat turis yang mau mengeksplor Indonesia.
Soal pesawat, sebenarnya naik apa aja asal bisa sampai di Incheon dengan selamat :D. Saya enggak canggih dalam mencari-cari tiket pesawat karena biasanya dicarikan teman. Untungnya, perjalanan kemarin kami naik Garuda yang langsung ke Incheon dengan harga tiket yang masih bisa ditoleransi. Katanya sih untuk harga segitu termasuk murah dengan satu kali makan dan snack :D.
Lagi-lagi, saya akan bilang bahwa perjalanan ke Korea Selatan ini menarik karena tentunya enggak ada perjalanan yang gak menarik. Pasti akan ada cerita. Bahkan, untuk perjalanan kedua, ketiga, atau ke berapa pun ke negara atau tempat yang sama, pasti akan ada cerita yang berbeda.
Maybe, someday, I'll visit Korea again with different stories :).
Bagaimana dengan pembayaran transportasi di sana? Metode pembayarantransportasi umum di Korea menggunakan T-Pop yang sudah terintegrasi antara kereta dan bus. Untuk top-up pengisiannya biasanya dilakukan di stasiun kereta dengan mesin tersendiri. Rapi dan layaknya kota modern. Model kayak begini mengingatkan saya dengan Singapura dan berharap di Indonesia--minimal di kota-kota besarnya--sudah ada sistem model begini. Sekarang sih di Indonesia sudah bertahap pembayaran dengan kartu antara bus, kereta, dan jalan tol. Namun, hampir semuanya menggunakan platform bank yang pengisiannya lebih gampang di ATM bank tersebut. Ada juga yang terintegrasi lewat kartu OK Trip, tapi terintegrasinya antara angkot dan busway. Pengennya saya ada satu kartu yang gak perlu dibuat oleh bank, tapi bisa digunakan sebagai alat pembayaran transportasi yang terintegrasi antara kereta dan bus. Jadi, gampang buat turis yang mau mengeksplor Indonesia.
Soal pesawat, sebenarnya naik apa aja asal bisa sampai di Incheon dengan selamat :D. Saya enggak canggih dalam mencari-cari tiket pesawat karena biasanya dicarikan teman. Untungnya, perjalanan kemarin kami naik Garuda yang langsung ke Incheon dengan harga tiket yang masih bisa ditoleransi. Katanya sih untuk harga segitu termasuk murah dengan satu kali makan dan snack :D.
Lagi-lagi, saya akan bilang bahwa perjalanan ke Korea Selatan ini menarik karena tentunya enggak ada perjalanan yang gak menarik. Pasti akan ada cerita. Bahkan, untuk perjalanan kedua, ketiga, atau ke berapa pun ke negara atau tempat yang sama, pasti akan ada cerita yang berbeda.
Maybe, someday, I'll visit Korea again with different stories :).
0 komentar