Peluncuran dan Diskusi Buku Dilarang Bercanda dengan Kenangan Karya Akmal Nasery Basral
Desember 12, 2018
Apa yang terlintas pertama kali ketika membaca judul buku Dilarang
Bercanda dengan Kenangan? Kata M. Yoesoev—selaku kepala Program Studi
Susastra FIB UI, ada dua karya yang mengingatkannya dengan judul buku Dilarang
Bercanda dengan Kenangan. Karya yang pertama adalah “Dilarang Mencintai
Bunga-bunga” karya Kuntowijoyo. Karya yang kedua adalah cerpen “Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma. Saya pun setuju itu.
Bedanya, saya hanya ingat karya Seno Gumira Ajidarma :D. Intinya, dari judul
yang ditampilkan, penggunaan kata “dilarang” tetap terkesan unik dan menarik.
Dilarang Bercanda dengan Kenangan merupakan karya ke-11 dari
Akmal. Saya berkata “mungkin” karena tidak mengikuti tulisan-tulisannya secara
intens, hanya saja saya memiliki bukunya yang berjudul Ada Seseorang di
Kepalaku yang Bukan Aku sehingga saya cukup mengenal namanya. Nyatanya,
Akmal Nasery Basral adalah salah satu penulis dan mantan wartawan yang namanya
dikenal dalam dunia sastra Indonesia (kelihatan banget minim
pengetahuan nama-nama penulis Indonesia :D).
Perlu diketahui juga bahwa Dilarang Bercanda dengan Kenangan adalah
novel yang dikembangkan dari sebuah cerpen. Judul cerpennya pun sama dan pernah
dipublikasikan di Jurnal Nasional tahun 2006. Kata Ibnu Wahyudi, model-model
seperti ini mirip dengan Hujan Bulan Juni yang awalnya sebuah puisi yang
dikembangkan menjadi sebuah novel, kemudian film. Entah pengembangan sebuah
karya itu—baik dari puisi ke novel maupun dari cerpen ke novel—adalah ide-ide
yang pernah terlupakan atau sekadar keterbatasan ide sang penulis dalam membuat
karya baru. Entahlah.
Acara peluncuran ini dibuka oleh video testimoni dari beberapa orang terhadap
novel tersebut, salah satunya Iwel Sastra, yang
dilanjutkan dengan beberapa sambutan, yaitu dari Kaprodi Susastra M. Yoesoev, GM
Promosi dan Redaksi Republika Penerbit Syahruddin el-Fikri, serta Ketua Iluni
UI Arif B. Hardono. Kemudian, acara berlanjut pada sesi diskusi karya oleh dua
ahli sastra, yaitu Ibnu Wahyudi (staf pengajar di FIB UI) dan Ana Mustamim
(pemred Majalah Majas) serta dimoderatori oleh Elba Damhuri (redpel Republika
Online).
Mengenai karya ini, Ibnu Wahyudi mengatakan bahwa novel ini layak dibaca
karena menampilkan realitas sehari-hari, yaitu kenangan dan ingatan, yang pasti
dialami oleh semua orang. Namun, kadar kenangan yang dapat diingat oleh orang
itu berbeda-beda, tergantung seberapa banyak dia akan berpengaruh pada kehidupan
kita. Maksudnya, novel ini dapat dibilang representasi
kita dalam kehidupan nyata. Di samping itu, karena latar belakang Akmal yang
seorang mantan wartawan, hawa-hawa jurnalistiknya masih terasa dalam
detail-detail yang ditampilkan. Nah, detail-detail itulah yang menguatkan narasi novel ini, seperti saat
ia menggambarkan Kensington Palace yang tentunya dituliskan
dengan begitu indah. Sayangnya, keakuratan dan
ketidakonsistenan novel ini masih terasa, terutama dalam soal waktu dan typo
untuk beberapa kata.
Berbeda dengan Ibnu Wahyudi, Ana Mustamim menyukai judul bukunya yang
menarik. Namun, ia menganggap bahwa kisah yang ditampilkan ini tidak memenuhi
ekspektasinya, terutama karena ia tahu latar belakang Akmal yang memiliki jam
terbang yang sudah tinggi dalam bidang penulisan. Penggunaan sudut pandang
akuan dari tokoh cowok ini juga dirasa kurang tepat. Apalagi tokoh cowok itu
merupakan sosok yang digambarkan kurang sensitif sehingga tidak dalam untuk menggali
emosi tokoh-tokoh yang lain. Mungkin, alangkah lebih baik jika sudut pandang
itu adalah sudut pandang orang ketiga yang dapat melihat emosi dari tiap tokoh,
terutama emosi tokoh perempuan dalam novel ini yang tidak terlihat.
Soal sudut pandang ini, Akmal menjawab bahwa sang pencerita yang sebenarnya
adalah seorang wartawan bernama Aldebaran, bukan si tokoh utama bernama Jo. Jo
hanya meminta kepada Aldebaran untuk menceritakan apa yang sudah dia alami.
Berkurangnya peran Aldebaran ini mungkin berhubungan dengan pemangkasan halaman
yang dilakukan oleh penerbit yang awalnya 700 halaman menjadi sekitar 400
halaman. Enggak kebayang betapa beratnya tugas seorang editor untuk meramu
ulang sebuah naskah menjadi utuh, apalagi dengan pemangkasan sebanyak 300
halaman. Rasanya pengen nangis T_T.
Acara ini juga tidak hanya membahas peluncuran dan diskusi buku, tetapi
juga tips bagaimana menulis kreatif. Banyak tips yang diberikan oleh para
pembicara dan tips dari bintang tamu. Bahkan, ada juga tanya jawab dengan
peserta. Namun, yang namanya peluncuran buku alangkah baiknya cukup ditampilkan
proses kreativitas si penulis dalam menghasilkan karya ketimbang membedah isi
buku. Alangkah baiknya juga fokus acaranya cukup bertajuk peluncuran buku dan
gak perlu tambahan diskusi buku. Apa sebab? Karena, ini adalah peluncuran yang
notabene pengenalan sebuah karya kepada masyarakat alias menjual sebuah karya.
Ketika sebuah karya dibedah begitu tajam oleh para ahli, saya yang sebagai
orang awam agak ragu-ragu untuk membeli karena merasa layak gak sih dibeli dan dibaca karena dibedahnya sampai begitu rupa. Padahal, peluncuran ini, kan, gunanya untuk
mempromosikan sebuah karya supaya dibaca banyak orang. Mungkin, perlu acara
sendiri untuk yang namanya diskusi buku.
Akan tetapi, perlu juga dipahami bahwa interpretasi pembaca terhadap
suatu karya itu berbeda. Mungkin, para ahli menganggapnya seperti itu, tetapi
bisa saja saya menganggap novel tersebut seperti ini. “Ini kan pendapat saya,”
seperti kata Ana Mustamim ketika selesai membedah novel tersebut. Ya, namanya
sebuah karya—karya sastra—tentunya banyak interpretasi dan kita enggak bisa
memaksakan interpretasi kita masuk dalam pikiran orang-orang.
FYI, konon novel Dilarang Bercanda dengan Kenangan belum tersedia di toko-toko buku. Tapi, untungnya, alumni kampus memberikan hibah kepada 100 audiens yang hadir pada acara tersebut. Yuk, mari membaca.
0 komentar