Serapan atau Transliterasi?

April 06, 2010



Saya mau bicara agak serius tentang bahasa Indonesia. Dalam perkuliahan sastra Indonesia, ada satu mata kuliah yang bernama Sejarah Studi Bahasa Indonesia. Di mata kuliah ini, diajarkan bahasa-bahasa tua yang akhirnya menghasilkan bahasa Indonesia. Di sini, terlihat bahwa bahasa Indonesia dan tentunya bahasa-bahasa lain yang ada di dunia mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lain. Mereka tidak berdiri atau ujug-ujug muncul bahasa X. Pasti, ada urut-urutan hingga ia berproses seperti sekarang ini. Kuliah ini dipadukan dengan Linguistik Historis Komparatif yang melihat perbandingan-perbandingan bahasa. Dari sini, akan terlihat bahwa bahasa yang berada dalam jarak tertentu memiliki bahasa yang rada-rada mirip. Dulu, ketika kuliah ini, contoh kasus yang diberikan adalah bahasa Sulawesi Tengah (kalau enggak salah, kayaknya perlu bongkar tugas-tugas kuliah lagi).

Oke, itu selayang pandang aja. Karena ada hal sesungguhnya yang mengusik saya. Begini, suatu kali ada yang menyodorkan tabel transliterasi bahasa Arab dari salah satu penerbit. Seseorang ini bertanya kepada saya, "Kalau zuhur itu ditulisnya apa? Apakah dzuhur, dhuhur, atau hanya zuhur?"

Saya yang berpatokan dengan KBBI menjawab, "Zuhur." Alasan saya karena kata itu sudah diserap oleh bahasa Indonesia.

Kemudian, saya kembali disodorkan beberapa contoh huruf hijaiyah yang menjadi kebingungan. Ada pedoman yang diperlihatkan: Cak Nur, SKB, dan KBBI. Penjelasan pun diuraikan mengenai perbedaan-perbedaan itu dan yang bertanya kepada saya cenderung menggunakan pedoman Cak Nur dalam transliterasi.

Di sini--jika saya tidak ada yang memotong--tentu ada perbedaan antara serapan dan transliterasi. Transliterasi adalah alih aksara. Transliterasi tidak mengubah penulisan apa pun, hanya mengalihkan aksaranya. Misalnya, ayat-ayat Al-Quran. Dalam transliterasi, itu tentu ditulis panjang dan pendek, lalu disesuaikan dengan pedoman yang digunakan, apakah menggunakan Cak Nur atau SKB.

Hal ini tentu akan berbeda jika memasuki ranah serapan. Dari apa yang saya pelajari dan sumber-sumber yang saya baca, bahasa Indonesia memiliki banyak kata serapan. Bahkan, Alif Danya Munsyi menulis buku yang berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Jadi, bahasa Indonesia tentunya bukan bahasa Indonesia yang benar-benar murni bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pun menyerap dari bahasa asing untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia, misalnya dari bahasa Belanda, Arab, Portugis, Sanksekerta, dan sebagainya. Menurut beberapa sumber, serap-menyerap ini adalah wajar dan terjadi di seluruh bahasa-bahasa di dunia karena persinggungan kebudayaan. Tentu, bahasa Indonesia memiliki konsep-konsep untuk membentuk istilah asing menjadi bahasa Indonesia. Itu terlihat dalam pembentukan istilah yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa.

Lalu, saya disodori beberapa contoh yang menjadi asal kata dari zuhur, yaitu dhuhur (pedoman transliterasi Cak Nur), memang itu dua makna yang berbeda antara zuhur dan dhuhur. Apalagi, jika pelafalannya berbeda karena sifat dari bahasa Arab adalah panjang pendek dan pelafalan hurufnya memiliki makna sendiri. Sifat ini berbeda dengan bahasa Indonesia dan beberapa bahasa dunia yang tidak mementingkan panjang pendek kata.

Di sini, perlu dilihat bahwa KBBI berbeda dengan pedoman transliterasi yang dibuat Cak Nur atau SKB karena fungsi mereka sebagai alih aksara, bukan menyerap. Sementara itu, KBBI memiliki fungsi menunjukkan penyerapan yang ada dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, buku tebal itu bukan pedoman transliterasi. Kata 'zuhur' sudah menjadi milik bahasa Indonesia yang mengacu pada waktu salat bagi Muslim siang hari.

Lalu, diungkapkan lagi tentang mukminin yang seharusnya mu'minin. Dalam bahasa Indonesia, tentu tidak dikenal bunyi hamzah atau menggunakan tanda apostrof (') sehingga pengganti tanda itu adalah huruf /k/. Sama halnya dengan /rokok/ atau /becak/ yang huruf /k/ itu tidak pernah dibaca.

Namun, saya dianggap tidak konsisten karena menggunakan kata yang tidak sesuai dengan bahasa aslinya berarti merusak makna dan ini sangat berbahaya untuk generasi muda yang membaca tulisan itu. Saya malah berpikir, jika permasalahannya itu, tergantung bagaimana memosisikan si generasi muda. Apakah ia mau membaca tulisan atau ia mau mengaji? Menurut saya, jika yang digunakan adalah pedoman transliterasi, berapa banyak orang yang tahu jika 'dh' mewakili huruf hijaiyah ke-17 atau berapa banyak orang yang tahu tentang pedoman transliterasi dari Cak Nur? Lalu, apakah secara otomatis masyarakat pembaca akan langsung melafalkan 'dh' sebagai huruf hijaiyah ke-17? Jika pedoman transliterasi yang digunakan, berapa banyak kata bahasa Arab yang digunakan di Indonesia akan berubah penulisannya? Jika bahasa Arab diperlakukan seperti itu, bagaimana dengan bahasa yang lain? Apakah kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Belanda, Portugis, atau Sanksekerta akan dikembalikan ke bentuk asalnya karena mungkin berbeda arti? Jika ini dilakukan, mungkin muncul kekacauan sistem bahasa.

Saya pikir, KBBI bukan tidak konsisten. KBBI cukup konsisten menjaga penyerapan makna. Namun, institusi atau lembaga yang sering menciptakan tulisan sering kali memiliki gaya penulisan sendiri yang kebijakannya tidak sama satu dengan lainnya.

Jadi, melihat ini, mungkin perlu dipahami terlebih dulu, apa yang dimaksud dengan serapan dan transliterasi.

*Foto dari sini.

You Might Also Like

0 komentar