Rumah Pasir: Pesan Teater Koma untuk HIV/AIDS

November 02, 2010


Teater. Sudah lama sekali saya tidak mendengar kata itu dan sudah lama pula enggak nonton acara-acara itu. Dulu, ketika masih aktif jadi mahasiswa muda (ciee), teater cukup akrab dengan saya karena kampus menyediakan fasilitas itu. Pementasan pertama saya adalah Adila. Di sini, saya berperan sebagai penata busana. Selebihnya, saya tetap berkecimpung pada pementasan-pemetasan kampus, tepatnya jurusan saya, dengan posisi kru. Pernah juga tampil di GKJ sebagai figuran untuk stand monolog teman saya. Bahkan, pernah diundang pula ke Performing Art Universitas Udayana di Bali.

Menonton teater sudah menjadi hal yang biasa. Dari kampus, auditorium gedung sebelah, GKJ, atau TIM. Sayangnya, lakon-lakon itu sudah lama tidak dijabani semenjak mencari sesuap nasi dan mencoba belajar serius. Teman saya yang suka berkecimpung dalam urusan beginian memberi tahu perihal pementasan. Lakonnya Teater Koma. Judulnya Rumah Pasir. Siapa sih yang enggak kenal Teater Koma? Teater yang dibentuk sejak 1977 ini biasanya selalu dapat standing applause. Terakhir, saya menonton lakon Roman Yulia yang panjang sekali. Sampai saya mikir, hebat sekali si pemainnya bisa hafal naskah sepanjang itu. Bahkan, di lakon ini, ada waktu break untuk para penonton dengan disajikan hidangan.

Nah, begitu ada omongan tentang Teater Koma yang akan membawakan lakon Rumah Pasir, saya langsung meluncur ke tempat pertunjukan. Acara dimulai pukul 8 malam. Saya duduk paling atas di deretan L.

Lakon ini bercerita tentang Leo Kastoebi, pengusaha muda dan kaya raya, tetapi senang berganti pasangan. Sebagai pengusaha muda, si Leo ini tampan dan banyak yang naksir walau para cewek-cewek itu tahu betapa bejatnya si Leo. Salah satu cewek yang naksir adalah Wieske--perempuan baik-baik yang naksir berat si Leo. Si cewek ini rela menyerahkan apa saja untuk Leo.

Karena gaya hidup Leo yang seperti itu, penyakit pun datang kepadanya. Dia divonis HIV/AIDS oleh dokter Tatyana. Karena penyakit juga, Leo pun terpuruk hingga meninggal dunia. Permasalahan enggak selesai di situ. Wieske yang naksir berat si bos ternyata hamil. Wieske juga divonis terinfeksi HIV/AIDS. Untungnya, virus itu belum menyerang sang janin hingga si janin selamat pas lahir di dunia. Di sinilah akhir dari lakon tersebut. Semua tokoh berakhir bahagia. Keluarga kastoebi tetep punya keturunan bernama Lei.

Alur ceritanya memang sederhana. Enggak terlalu absurd atau membuat jidat kita berkerut-kerut karena berpikir. Pesan yang ingin disampaikan oleh N. Riantiarno yang punya gagasan juga enggak muluk-muluk. Pesannya jelas dan lugas. Lewat lakon ini, sang sutradara ingin menyampaikan bahwa perlu keberanian untuk menanggung perbuatan sendiri.

Memang, setiap orang pasti akan mati, tetapi menjemput kematian dengan main-main dengan pucuk-pucuk kematian itu bukankah itu sama saja dengan bunuh diri. Menjaga diri sendiri dan melakukan sesuatu yang bermanfaat akan jauh lebih baik untuk kita dan bahkan orang-orang di sekitar kita. Ada jejak-jejak kita yang tentunya akan diingat oleh orang lain. Bukan seperti rumah pasir yang selalu lenyap tak berbekas ketika disapu ombak laut. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh sang penggagas dalam lakon ini.

Pesan tersurat lain juga ditampilkan dalam tulisan-tulisan yang disajikan lewat infocus di layar putih sebagai backgroundnya. Mulai dari penjelasan apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularannya, obatnya, dan apa yang harus dilakukan oleh orang yang divonis HIV/AIDS.

Tentu, ciri khas teater ini selalu ada. Ada tokoh-tokoh lain, di samping tokoh-tokoh utama. Tokoh-tokoh lain ini ditampilkan dalam kostum serba hitam yang ketat. Mereka disebut sebagai bayang-bayang yang sekaligus penyiap properti panggung. Satu kostum dengan dua fungsi. Tokoh-tokoh ini yang membuat cerita menjadi lebih hidup karena mereka melakukan hal tak terduga.

Sepanjang pertunjukan, saya sangat menikmatinya. Pesan yang ditampilkan tidak berbelit dan sudah lama enggak nonton teater. Yaaah, walau ada yang bilang lakonnya kali ini enggak terlalu bagus, but it's worth it with the message inside.

You Might Also Like

2 komentar