sehari menjadi anak punk

Oktober 19, 2015

Bulan Agustus kemarin, saya dan teman-teman mencoba menjadi orang yang berbeda saat perayaan ulang tahun si rumah biru. Pilihan yang diajukan ada beberapa. Tanya sana-sini dan diskusi dengan beberapa orang, akhirnya dipilihlah punk. Oke, saya dan teman-teman akan menjadi anak punk hanya dalam waktu satu hari.

Ternyata, menjadi anak punk itu gak segampang kelihatannya. Saya dan teman mesti browsing lagi sejarah punk seperti apa dan bagaimana dia bisa menjadi suatu subbudaya. Saya melihat postifnya karena awal gerakan ini ternyata sebagai bentuk protes pemuda yang berlandaskan we can do it ourselves yang akhirnya merambah ke fashion, musik, dan mungkin gaya hidup. Kalau boleh saya bilang, mungkin protes itu ada terhadap hal yang mainstream dan mapan hingga mengekang kebebasan pemuda pada waktu itu untuk berkreasi, terutama dalam bidang musik. Mungkin, ini yang jarang dilihat orang kebanyakan, apalagi warga Jakarta, salah satunya saya :D.

Ya, mungkin kebanyakan orang menganggap "what you see is what you believe". Di beberapa sudut Jakarta, saya suka melihat sekumpulan orang yang mengatasnamakan anak punk. Mereka yaa sering berpakaian hitam-hitam, tindikan, beberapa bergaya rambut mohawk, dan kadang bersepatu boots. Sering juga memakai emblem yang dijahit berantakan atau berpeniti. Kebanyakan mengamen di bus atau angkot, berjualan pernak-pernik punk, dan entah yang lainnya. Dan, biasanya yang paling sering terngiang-ngiang dalam ingatan saya, mereka jarang mandi dan terkesan dekil. Mungkin itu gambaran saya terhadap mereka karena seperti itulah mereka terlihat di mata saya walaupun (saya tahu) tidak boleh melihat orang hanya dari tampilan luarnya ~ don't judge a book by its cover.

Nah, melihat cara pandang ini, saya dan teman-teman malah tertantang untuk membawa tema punk dalam perayaan ulang tahun rumah biru. Bukan melihat dari cara pandang orang-orang awam seperti saya, tapi melihat punk sebagai suatu bentuk berekspresi dan berkreasi.

Karena perayaan ulang tahun ini berbentuk parade berbalut gerak jalan, saya dan teman-teman terfokus di penampilan: bagaimana membuat tampilan pekerja kantoran berubah menjadi tampilan anak punk. Yang kami taruh dalam daftar utama adalah kaus hitam, celana jeans ketat hitam, dan boots. Untungnya, tiga item utama ini punya semua. Selebihnya, yang harus dilakukan adalah mencari pernak-pernik yang boleh dibilang ribet. Kalau boleh saya bilang, pernak-pernik untuk punk, seperti gelang, anting, kalung, dan emblem, bukan barang murah. Boleh dibilang mahal. Untungnya sih, semua barang itu gak harus dicari di pusat kota, tapi di pasar-pasar biasa juga ada. Tapi, harus telaten dan punya koneksi yang baik dengan penjualnya. Kadang, ada penjual yang agak malas menjual emblemnya dengan alasan takut disalahgunakan. What?


Kalau mau cari aksesori yang agak mahal, mungkin bisa dicari di online shop yang variasinya cukup banyak. Di zalora, dijual gelang dengan gaya anak punk yang harganya lumayan mahal. Di tokopedia, ada yang jual anting bibir yang tidak permanen dan dijual satuan. Anting bibir ini antara gampang dan gak gampang. Kalau beli di online, harga satuannya lumayan mahal, padahal butuh beberapa item. Akhirnya, kami mengakalinya dengan anting telinga melengkung yang hanya disangkutkan ke bibir. Efeknya, enggak apa-apa, tapi gak boleh ketawa dan gak boleh makan karena anting bibir teman saya ada yang tertelan ketika dia sedang makan.

Selain aksesori itu, make up-nya pun gak kalah pusingnya. Karena pekerja 9 to 5 yang jauh dari yang namanya rambut warna-warni, akhirnya saya dan teman keliling toko kosmetik untuk mencari pewarna rambut nonpermanen. Dulu ada satu merek pewarna rambut nonpermanen, tapi sekarang udah gak ada karena isu merkuri di dalamnya. Tapi, tenang, saya menemukan merek lain yang yang sama: tinggal disemprot. Kuteks warna hitam juga gampang dicari. Begitu juga dengan eyeshadow. Untuk tato nonpermanen, saya mencarinya di toko aksesori yang sedang diskon: beli satu gratis satu. Lumayan untuk menghemat.

Yang agak ribet adalah hairspray rambut supaya bergaya mohawk dan lipstik warna hitam. Merek hairspay dan gel yang banyak di pasaran ternyata tidak membuat rambut menjadi berdiri dan kaku seperti mohawk. Gara-gara ini teman kami harus kembali browsing dan mencari-cari apa yang bisa membuat rambut kaku hingga akhirnya ditemukan satu merek.Saking kakunya, pas saya pegang, rambutnya malah mirip kertas. Hahaha.



Yang gak kalah ribet adalah lipstik hitam. Hampir semua outlet kosmetik di mal-mal sudah ditanyain dan gak ada satu pun yang jual lipstik hitam. Agak putus asa sih, tapi ada satu toko yang memberikan saya nama pidi hitam. Pidi? Apaan lagi tuh? Saya tahunya Pidi Baiq hehehe. Berdasarkan penjelasan SPG-nya, pidi itu dipakai oleh pengantin Jawa untuk mengukir bagian kepala dan biasanya juga dipakai untuk make up teater. Lalu saya pastikan lagi, aman gak untuk bibir. Katanya sih aman. Setelah dicoba sama teman-teman yang ikut parade, alhamdulillah gak ada yang bermasalah dengan perutnya. Berarti aman.

Acara parade berjalan lancar walau rute yang ditempuh yaa jauh banget. Sebenarnya, rutenya itu rute normal. Tiap ada parade, pasti selalu lewat situ aja. Yang kesian itu teman saya yang baru ikut pertama kali, mungkin doi gempor :D. Yaa, waktu saya pertama kali lewat rute itu aja udah bikin mau pingsan, apalagi dulu ada hitungan waktunya. Telat sedikit udah langsung disalip.

Tapi, seperti yang senior saya bilang, "Harus total make up. Walau gak menang, kita udah bisa menghibur masyarakat sekitar dengan dandanan kita." Beneeer, sih, makanya kita juara pertama lomba ini walaupun hadiahnya cuma dapat kaus yang kami desain sendiri. Hahaha. Balik modal? Gak banget. Tapi, beramal karena menghibur orang hahaha.    

You Might Also Like

0 komentar