saya membaca: the girl on the train

Februari 04, 2016

Kau tak mengenalnya, tapi dia tahu siapa dirimu. Tagline yang menarik dan membuat saya penasaran. Setelah nonton (bukan membaca) Gone Girl, konon The Girl on the Train digadang-gadang untuk menjadi the next Gone Girl yang kisahnya bikin sebel karena cukup berhasil membuat emosi penonton teraduk-aduk. Nah, karena digadang-gadang akan sebagus Gone Girl, saya pun tertantang untuk membaca bukunya dulu sebelum nonton filmnya. Katanya sih, The Girl on the Train akan segera difilmkan karena insanely sudah menjadi New York Times Bestseller. Konon, sudah terjual lebih dari 4 juta eksemplar di Amerika dan Inggris dan juga sudah diterbitkan dalam 60 edisi. Cukup membanggakanuntuk debut pertama Paula Hawkins sebagai penulis.


The Girl on the Train bercerita mengenai perempuan berusia 30-an yang bernama Rachel Watson. Ia adalah pecandu alkohol berat. Hidupnya boleh dikatakan berantakan. Gara-gara alkohol, dia bercerai dengan suaminya dan kehilangan pekerjaannya. Ia juga harus diusir dari rumahnya dan menyewa satu kamar di apartemen teman kuliahnya. Untungnya, dia masih memiliki tabungan untuk membayar sewa. Karena berhenti bekerja dan harus menyewa kamar, dia pun pura-pura bekerja, padahal ia hanya pengguna kereta yang pergi pada saat jam masuk kantor dan pulang pada saat jam pulang kantor. Kehidupannya amat sangat membosankan karena hanya ada di seputar alkohol. Tapi, ia pemerhati yang baik. Ketika berada dalam kereta, pandangannya selalu terpaku pada rumah nomor lima belas. Di rumah itu, ia melihat kehidupan pasangan yang membahagiakan. Jauh berbeda dengan kehidupannya yang berantakan. Dia bercerai dengan Tom karena dia adalah pecandu alkohol berat dan iri melihat kehidupan baru Tom yang sepertinya bahagia. Hampir setiap saat, ia menelepon Tom hingga istri baru Tom--Ana--ketakutan dan tidak nyaman.

Karena Rachel selalu terpaku dengan pasangan bahagia, ia melihat sesuatu di luar kebiasaan pasangan tersebut. Megan, salah satu nama pasangan itu, bersama pria lain di rumah tersebut. Bukan Scott, suami Megan. Hingga suatu saat, Megan menghilang dan pada waktu bersamaan Rachel kehilangan kesadaran akibat alkohol yang ia minum. Awal inilah yang membuat Rachel merasa harus terlibat dengan penyelidikan menghilangnya Megan. Ia yakin bahwa menghilangnya Megan berhubungan dengannya karena entah mengapa kepalanya berdarah ketika ia terbangun di tempat tidurnya. Ia mencoba menelusuri apa yang dia lakukan pada saat menghilangnya Megan. Penyelidikan demi penyelidikan pun dilakukan oleh Rachel, tanpa diketahui polisi karena polisi sama sekali tidak berpihak kepadanya. Hingga pada akhirnya, ia tahu siapa yang menyebabkan Megan menghilang.

Ide cerita The Girl on the Train ini memang menarik, terutama digambarkan tokoh utamanya adalah seorang pecandu alkohol. Gambaran bahwa Rachel adalah alkoholik itu sangat jelas di setiap kalimat-kalimatnya. Penggambarannya (Rachel) menurut saya sangat total. Namun, gambaran ini sepertinya tidak didukung dengan alur cerita yang menarik. Alur ceritanya cenderung lambat, tetapi kita masih mendapat efek suram dari kisah tersebut. Kadang flashback (walau dituliskan tanggal dan pukul) cenderung membingungkan karena saya harus mondar-mandir melihat waktu kejadian untuk bisa menelusuri rentetan kisah yang sebenar-benarnya. Clue yang biasanya ada di kisah kriminal malah kurang meski penjahatnya gampang ketebak. Hawkins sepertinya lebih fokus ke penggambaran sosok Rachel yang pecandu alkohol daripada membuat kisahnya menjadi lebih "ngegemesin". Ending-nya? Hm, not too good and not so bad-lah. Ya, gitu, gak membuat saya terperangah sih :).

Tapi, kisah Rachel ini cukup menghiburlah. Apalagi konon filmnya akan segera tayang 2016 ini. Bintangnya Emily Blunt. Jadi, sebelum nonton, ada baiknya dibaca dulu biar disinkronkan apa yang ada di kepala kita sebagai pembaca dan di kepala yang ngebuat film. Happy reading! ;)

You Might Also Like

0 komentar