Dark Places (Film): Kisah Libby Day Sang Penyintas

Agustus 06, 2016

Poster Film Dark Places (2015)

Masih ingatkah dengan Libby Day?

Sebenarnya, saya pernah mengulas kisah Libby Day dari buku yang saya baca. Nah, kalau masih belum baca atau lupa-lupa ingat, bisa langsung menuju "Darkplaces: Kisah Sang Penyintas".

Trus, bedanya dengan yang sekarang apa?

Sebenarnya sama :D. Bedanya, yang artikel sebelumnya saya membahas bukunya (novel), sedangkan di artikel ini, saya akan membahas film yang baru saja saya nonton. Memang agak telat saya mengulas ini karena niat saya memang tidak mau nonton (Dark Places dirilis tahun 2015). Alasannya, karena saya enggan merusak imajinasi saya dari buku yang saya baca, takut kecewa. Eh, Fox Movie tiba-tiba menampilkan premiere-nya, mau enggak mau saya nonton juga.

Secara garis besar, kisah Libby Day sama dengan yang di buku. Libby Day adalah satu dari keluarga Day yang selamat dari sebuah pembantaian. Begitu kata orang-orang. Sebenarnya, ada dua orang keluarga Day yang selamat: Libby dan Ben—kakaknya. Namun, Ben diduga sebagai tersangka karena hanya dia yang dianggap sebagai pemuja setan, sedangkan Libby masih berusia tujuh ketika pembantaian keluarganya terjadi. Ketika Libby yang sebatang kara—sebenarnya enggak sebatang kara juga karena ada Ben dan ayahnya, tetapi hubungan mereka tidak baik—kehabisan uang, mau tidak mau dia menerima tawaran dari seseorang bernama Lyle untuk menyelidiki pembunuhan keluarganya karena terdapat dugaan bahwa Ben itu sebenarnya enggak bersalah. Karena uang, dia mau melakukannya walau dengan hati setengah mau setengah enggak. Lama-lama tabir yang terjadi pada pembunuhan keluarganya pun terbuka hingga dia tahu bahwa ada orang yang hendak membunuhnya.

Ringkasannya—kurang lebih—seperti itu.

Ketika Dark Places menjadi sebuah buku, saya suka bagaimana Gillian Flynn meramu peristiwa dengan kata-kata yang tidak begitu detail dan tidak lebay, tetapi membuat pembacanya merasakan bagaimana depresi dan sinisnya Libby Day terhadap kehidupannya. Ben Day—anak muda yang ragu-ragu dan sulit mengambil keputusan. Patty Day yang begitu kelelahan dan terpuruk dengan kehidupannya sebagai single mother yang banyak utang. Begitu juga dengan Diondra—kekasih Ben—yang manja, nakal, dan labil. Penggambaran tokoh-tokohnya—menurut saya—lebih kuat dibanding alur cerita yang cukup membingungkan walau ujungnya akan ketemu benang merahnya.    

Namun, ketika Dark Places diangkat menjadi sebuah film, saya hanya bisa melongo. Kok, begini? Ya, walau alur cerita secara garis besar sama, benang-benang lainnya yang menjalin kisah itu malah kurang banget. Saya malah ngerasa terlalu banyak minusnya dibanding plusnya. Yang membuat saya paling kecewa adalah tokoh-tokohnya, padahal tokoh-tokoh di bukunya lebih kuat dibanding alur. Ya, hampir semua tokoh yang ada di film Dark Places tidak sama seperti di kepala saya karena di filmnya tidak tergambar seperti yang di buku.

Nah, kalau bicara tokoh-tokohnya, saya akan mulai dari Libby Day. Tokoh Libby Day diperankan oleh Charlize Theron. Tahu, kan, kualitas aktingnya Charlize Theron kayak gimana? Bagus banget. Di film ini, akting Charlize Theron juga bagus. Tapi, secara fisik, Charlize Theron itu terlalu sempurna untuk menggambarkan Libby Day. Charlize Theron itu tinggi langsing, sedangkan Libby Day dalam buku tergambar sebagai perempuan yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran bule. Tingginya enggak sampai 160 cm. Dia juga bermasalah dengan jari-jari kakinya yang diamputasi sehingga menurut saya jalannya cenderung gak sempurna.

Chloe Grace Moretz juga aktingnya biasa aja. Malah lebih bagus ketika dia main The Equilizer bareng Denzel Washington. Pemeran tokoh Ben juga sama. Clue penting yang ada di Ben juga tidak ditunjukkan dengan jelas. Cuma sebentar dan samar. Seharusnya Libby bisa ngomong aja ketika Libby sedang berhadapan dengan Ben untuk menguatkan clue, tetapi soal ini, sutradaranya pakem banget sama buku. Dua saudara perempuan Libby malah terkesan seperti tempelan, sifat mereka berdua kurang diangkat, seperti Michelle yang hobi curhat di buku diary dan biang gosip malah terkesan biasa-biasa aja. Dia memang bawa buku tulis sih, tapi yaa bawa buku aja, enggak dikasi liat buku tulis itu buat apa. Trey Trepano—temen deket Diondra—juga digambarkan biasa aja, malah saya melihatnya muncul secara ujug-ujug. 

Hmm, siapa lagi ya?

Pemeran tokoh Lyle aktingnya bagus, tapi—lagi-lagi—gak seperti Lyle yang ada di kepala saya. Tokoh Krissi Cates juga sama aja, aktingnya gak seperti Krissi Cates yang ada di buku. Tokoh Crystal yang digambarkan tinggi, langsing, dan usianya 24 tahun, eh ternyata mungil kayak anak-anak. Nah, tokoh-tokoh itu sebenarnya gak terlalu mengecewakan banget dibanding tokoh Patty Day.

Mungkin, kalau tokoh-tokoh yang lain ada kekurangan, saya bisa memaklumi. Tapi, enggak sama Patty Day karena apa yang digambarkan dalam buku, beda banget dengan filmnya. Aktingnya Christina Hendriks kurang banget alias datar. Dia nggak menunjukkan stresnya Patty ketika harus menjadi single mother empat orang anak dengan utang yang bertumpuk. Ditambah lagi, bentuk fisik Christina Hendriks kurang mendukung dia untuk memerankan Patty Day. Di gambaran saya, Patty itu kurus karena badannya terkuras oleh pikirannya yang ruwet dan dia terlihat lebih tua dari usianya, tetapi dalam film ini Patty Day terlihat lebih berisi. Mungkin, yang cocok memerankan tokoh Patty Day itu Mireille Enos karena akting dia di The Killing bagus banget untuk memperlihatkan orang yang suram dan mungkin agak depresi. Secara fisik, dia juga cukup mendukung sosok Patty Day.

Ada juga beberapa latar yang tidak sama antara film dan buku. Cukup mengecewakan, tapi enggak seberapa dibanding kekurangan yang ada di tokoh-tokohnya. Misalnya, Lyle digambarkan pengusaha laundry dan Libby bertemu Lyle pertama kali di tempat laundry. Padahal, mereka bertemu pertama kali di tempat makan. Latar ketika terjadi pembunuhan itu sebenarnya bersalju dan saljunya lagi tebal-tebalnya. Jari-jari kaki Libby diamputasi ya karena dia terkena hipotermia ketika sembunyi saat pembunuhan berlangsung. Di film, salju dihilangkan. Jari-jari kaki Libby memang terluka dan berdarah-darah, tetapi bukan karena salju, melainkan karena terkena kawat berduri. Kematian sang ibu—Patty Day—yang saya pikir di teras rumah atau pintu masuk malah ada di lorong lantai atas. Yang paling aneh, seingat saya, Libby Day mengambil lipstik di kamar mandi rumah Diondra dan Crystal, tapi di filmnya dia malah mengambil kalung yang ternyata punya Patty Day. Di buku, Libby menyelamatkan diri sendiri dan menelepon Lyle untuk dijemput; di film Libby diselamatkan Lyle ketika sembunyi di hutan. Ujung-ujungnya sama sih, Diondra yang sekarang bernama Polly akhirnya tertangkap walau Crystal tetap kabur. Namun, yang agak aneh di film, bagaimanakah Diondra tertangkap, padahal buktinya enggak ada? Kalau di buku, Libby mengambil lipstik sehingga bisa disamakan DNA-nya dengan darah yang tidak dikenal di seprai Michelle. Oh, mungkin, karena di film rumah yang ditempati Diondra tidak terbakar sehingga bisa dikumpulkan bukti-bukti yang banyak; sedangkan di buku, Diondra dan Crystal membakar habis rumah mereka untuk menghilangkan bukti.

Mungkin film Dark Places ini dibuat untuk mengulang sukses film Gone Girl yang juga diangkat dari novel karya Gillian Flynn. Sayangnya, film ini cukup jauh dari yang namanya sukses dan agak mengecewakan. Apakah saya menikmati? Enggak *jujur*. Saya lebih senang membaca bukunya ketimbang nonton filmnya. Ternyata, film adaptasi dari novel bestseller pun enggak selamanya bagus untuk diproduksi. Kalau enggak bagus, yaa siap-siap aja kecewa. Contohnya saya terhadap film ini. Karena saking kecewanya, kok sepertinya saya sudah menjadi spoiler ya? :D *maap*.

You Might Also Like

2 komentar