Bertemu Mice ^_^v

Oktober 08, 2017

Untuk orang-orang zaman now, mungkin enggak ada yang enggak kenal sama Mice ya. Kebanyakan orang kenal Mice sebagai partnernya Benny dalam kartun Benny dan Mice yang tiap minggu nongol di Kompas. Bahkan, kumpulan kartunnya ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku dalam beberapa jilid, seperti Lagak Jakarta, 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta, Benny & Mice Atas Bawah, Benny & Mice Luar Dalem, serta Benny & Mice Lost in Bali 1 dan 2. Kartunnya menarik karena menggambarkan realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Biasanya kartun Benny dan Mice menyentil tindak-tanduk masyarakat, dari yang paling biasa hingga yang paling amazing. Sayangnya, kebersamaan Benny dan Mice harus berakhir. Mice tetap di surat kabar Kompas dengan judul “Mice Cartoon”, sedangkan Benny di surat kabar lain. Mereka tetap berkarya dalam dunia kartun, tetapi dengan ide masing-masing.


Pada September 2017 lalu, Indonesia International Book Fair mengundang Mice menjadi pembicara di lounge Bekraf. Saya niat datang ke acara ini ya karena ada Mice, selain menemani teman saya berburu buku. Awalnya, agak bingung juga mencari lokasi talkshow bareng Mice. Sudah keliling-keliling dan menemukan dua panggung besar, tetapi pengisi acaranya bukan Mice. Eh, nggak tahunya, lounge Bekraf itu dekat pintu masuk utama. Bukan panggung besar, hanya panggung mini yang mirip bincang-bincang kecil. Duduklah saya di sana bareng teman saya sambil mendengar celotehan Mice soal dunia kreatif perkartunan.


Mungkin banyak kartunis masa kini yang memulai gambar sejak duduk di bangku sekolah. Rata-rata dari mereka hampir semuanya berproses untuk bisa menghasilkan gambar seperti saat ini. Begitu juga dengan Mice yang memulai menggambar kartun sejak dia duduk di bangku sekolah. Bahkan, saat SMA, dia pun mulai menggambar komik dengan tokohnya dia sendiri. Narsis ya? Dengan tertawa, Mice mengiyakan. Sebenarnya, sih, bukan karena narsis, tetapi tokoh siapa lagi yang bisa terlihat lebih satir dibanding diri sendiri.

Mengenai gambar, Mice bilang gambarnya itu jauh dari gambar “cakep”. Gambarnya jauh lebih jelek jika dibandingin dengan gambar dari komik Eropa dan Jepang. Istilahnya, kalau gambar di komik Eropa dan Jepang itu gambar dengan garis lurus sempurna; kalau gambar Mice itu gambar dengan garis mencong-mencong alias gak lurus. Geradakan dan cenderung berantakan. Bahkan, Mice menyebut karyanya sebagai gambar jelek karena jauh dari istilah cakep. Tapi, bisa jadi, ini adalah ciri khas Mice sendiri. Karena sesuatu yang satir, tidak perlu digambar dengan sempurna.

Nah, kalau ditanya tentang ciri khas komik Indonesia? Mice bilang, sepertinya belum ada. Kalau kartun Amerika, terutama superhero, memiliki kecenderungan yang sama, yaitu gambar bagus. Begitu juga dengan Jepang dengan istilah manga yang semua gambar para komikus/kartunisnya hampir sama. Di Indonesia, tidak ada pakem yang serta-merta mencirikan bahwa satu gambar jenis begini adalah punya Indonesia. Hampir semua komikus/kartunis memiliki ciri khasnya mereka sendiri. Inget sumplemen Poskota, kan? Lembergar? Gambar yang dimuat di Lembergar itu adalah macam-macam gambar yang tidak sama satu dengan yang lain. Ada gambar yang baguuus banget dan ada juga gambar yang biasa aja. Gak berciri. Beda dengan gambar Jepang yang menerbitkan satu majalah kartun, tetapi hampir semua gambar di dalamnya berjenis sama alias setipe.

Namun, menurut Mice, ternyata bukan hanya gambar yang membuat orang inget sama dia, tetapi ide cerita atau kisah yang diangkat dalam kartun yang dia buat. Ide cerita malah mungkin lebih menarik ketimbang gambarnya. Makanya, si Mice—selain sebagai tukang gambar—juga membangun ide cerita yang dia gali sendiri. Di luar negeri, terutama di Amerika, tukang gambar dan tukang cerita merupakan profesi yang berbeda. Akan tetapi, untuk Mice, dialah sang tukang cerita sekaligus sang tukang gambar. Ide kisah-kisahnya didapat dari kepoin orang. Kepo bukan dalam arti negatif ya, tetapi peduli tentang sesuatu.

Dan, seperti kebanyakan dunia kreativitas, riset itu penting untuk menghasilkan sebuah karya, ditambah dengan pengalaman. Begitulah Mice ketika membuat suatu kartun. Pengalaman dan riset juga tidak ujug-ujug langsung ditampilkan, tetapi perlu pemikiran yang matang. Bagi Mice, perlu dilihat kemaslahatannya bagi banyak orang. Kalau banyak mudaratnya lebih baik kartunnya tidak ditampilkan. Biasanya, yang model begini mengangkat isu-isu yang sensitif sehingga perlu pemikiran yang matang untuk ditampilkan atau tidak. Apalagi, Mice selama ini adalah editor untuk dirinya sendiri, tidak ditemani oleh editor/penanggung jawab yang ada di institusi tempat Mice menampilkan karya.

Selain karya-karyanya Mice yang menggelitik, sebenarnya ada lagi pertanyaan yang agak ngotot dari audiens. Bisa hidup gak sih seorang komikus/kartunis di Indonesia, di samping nama besar Mice? Awalnya, Mice menjawab malu-malu dengan argumen yang cukup bijak. Tapi, lama-lama Mice pun bercerita bahwa apa yang ada untuk dia selama ini merupakan buah dari istiqomah saat pertama kali terjun sebagai kartunis. Dia pun bersyukur, dengan menjadi kartunis di dua surat kabar dan royalti dari buku komik yang dia terbitkan, dia bisa membuat dapur keluarga ngebul dan menyekolahkan anak-anaknya karena dia percaya bahwa rezeki bisa datang dari mana saja.

Melihat sosok Mice, saya yakin bahwa sebenarnya Mice itu adalah sosok yang humble. Gaya bicaranya santai dan asyik, tapi gak ceplas-ceplos juga. Banyak pengalaman yang dia bagi seputar dunia kreativitasnya sebagai kartunis. Tentu saja semuanya menarik. Rasanya lega ya kalau sudah bertemu langsung dengan sosok di balik sebuah karya. Mendengar bagaimana jalan yang dilalui untuk bisa sampai di titik sekarang tentunya memotivasi banyak orang, termasuk saya. Intinya harus tetap istiqomah untuk berjalan di tempat yang diyakini #jangankasihkendor.

You Might Also Like

0 komentar