The Dinner: Sisi Gelap Manusia

Januari 21, 2018

Homo monini lupus ~ manusia adalah serigala bagi manusia lainnya
—Plautus

Prince pernah mengatakan, “There’s a dark side to everything.” Ada sisi gelap dari segalanya. Tak terkecuali manusia: ada sisi gelap dari setiap individu, entah bagaimana baiknya. Namanya juga manusia tentu tidaklah sempurna. Pastinya ada kesalahan atau keburukan yang pernah terjadi atau pernah dilakukan. Maka itu, sebagai manusia, kita diminta untuk belajar supaya kesalahan yang lalu tidak terulang.


Mungkin, sisi gelap manusia ini yang ingin diangkat oleh Herman Koch lewat novel The Dinner. Kisah ini bermula dari makan malam yang dilakukan oleh dua pasang suami istri di sebuah restoran mahal. Paul Lohman dan Claire serta Serge Lohman dan Babette. Paul dan Serge adalah dua kakak beradik yang memiliki latar kehidupan yang berbeda. Serge adalah politikus ternama di Belanda dan sedang mengikuti pemilihan perdana menteri. Sementara itu, Paul adalah seorang guru yang memiliki masalah dengan sekolah tempatnya bekerja sehingga dia diminta untuk cuti panjang. Sebagai seorang politikus ternama, Serge mendapat kemudahan-kemudahan dengan namanya, seperti saat memesan tempat di restoran mahal tersebut. Lagi pula, Serge terlihat sangat percaya diri dengan posisinya sekarang. Namun, Serge selalu menjadi bulan-bulanan bagi Paul dalam banyak hal walau Paul tidak pernah mengucapkan langsung kepada abangnya itu.

Makan malam dua pasang suami istri itu bukan tanpa alasan. Serge sengaja mengundang adik dan istrinya untuk berbicara tentang anak-anak mereka. Di Belanda, terjadi tindakan kriminal yang dilakukan oleh ABG yang mengakibatkan tewasnya seorang tunawisma di sebuah kotak ATM. Tindakan kriminal tersebut memicu kemarahan seluruh warga Belanda, apalagi tindakan tersebut terekam dalam CCTV. Namun, belum ada yang menduga siapa ABG yang terekam dalam CCTV itu. Baik Paul, Claire, Serge, maupun Babette tahu bahwa yang ada di CCTV itu adalah anak-anak mereka: Michel dan Rick. Akan tetapi, di mana anak angkat satu lagi yang bernama Beau? Ternyata, Beau merekam kejadian tersebut serta memeras Michel dan Rick untuk menutup mulutnya.

Paul berpikir bahwa Beau—anak angkat dari benua lain—memiliki pengaruh buruk terhadap anak-anak mereka, terutama Michel. Nyatanya, apa yang terjadi dalam diri Michel dan Rick bisa dikatakan adalah pengaruh dari gen yang mengalir di dalam darah mereka. Paul dan Serge sebagai dua kakak beradik memang memiliki kehidupan yang berbeda. Serge yang seorang politikus kondang nyatanya dan memiliki kehidupan yang “wah” ternyata tidak temperamental seperti sang adik, Paul. Ada sesuatu dalam diri Paul yang membuat dia terkadang hilang kendali dan berujung pada kekerasan. Hal tersebut pernah dialami oleh Serge ketika ia ingin membantu sang adik mengurus Michel yang masih kanak-kanak. Habis-habisan Paul memukuli Serge di rumahnya sendiri sambil disaksikan oleh Michel. Gen itu ada dalam diri Paul dan tanpa dia sadari telah diturunkan kepada Michel.

Insiden di ATM membuat Serge harus berinisiatif membicarakan masa depan anak-anak mereka. Serge dengan pemikiran bijaknya ditambah posisinya sebagai kandidat perdana menteri dalam pemilu di Belanda berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh anak-anak mereka harus dipertanggungjawabkan. Tidak mungkin harus bersembunyi terus-terusan. Bahkan, dia siap dengan konsekuensinya untuk berhenti menjadi kandidat perdana menteri di Belanda. Toh, itu untuk masa depan anaknya, Rick. Begitu pikir Serge. Namun, tentangan datang dari Claire—istri Paul. Ia adalah tipe ibu yang akan membela dan melindungi anaknya sebisa dan semampunya, apa pun caranya. Claire tidak akan mau menyerahkan Michel untuk mengakui perbuatannya, apalagi rekaman CCTV tidak terlalu jelas dan ada kemungkinan pelakunya adalah ABG mana saja, bukan anaknya. Namun, keputusan Serge sudah bulat. Dia harus menerima konsekuensinya. Tidak hanya dia, tetapi mereka. Claire tak terima. Dengan sepengetahuan Paul, Claire pun menyakiti Serge hingga kakak iparnya itu harus cacat seumur hidup dan karier politiknya hancur. Pada saat itu juga, Beau—sang anak angkat—menghilang tanpa jejak dan Michel pulang ke rumah dengan buku-buku jari terdapat percikan darah. Dan, mungkin, itu bukan kali pertama buku-buku jari Michel seperti itu dan Paul akan tertawa ketika Michel menceritakan apa yang terjadi dengan ibu yang siap melindungi.

Setelah The Girl on the Train, kini The Dinner digadang-gadang sebagai the next Gone Girl versi Eropa. Kisah ini ditulis oleh Herman Koch, yaitu seorang penulis sekaligus aktor di Belanda. Buku ini terbit pertama kali tahun 2009 dengan judul asli Het Diner dan telah mendapat gelar international bestseller. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul The Dinner dan sudah diterbitkan oleh Bentang Pustakan pada April 2017 (cetakan pertama).

Dari judul dan tagline, buku ini memang menarik, apalagi setelah membaca sinopsis di sampul belakang yang membuat saya penasaran. Namun, menurut saya, isinya tidak menjawab rasa penasaran saya yang berharap sang penulis menyajikannya seperti yang saya harapkan. Jujur, alurnya cenderung lambat dan agak malas untuk beberapa saat kok malas ya meneruskan membaca. Mungkin latarnya hanya terpusat pada saat makan malam walau ada beberapa flashback yang membawa saya kembali ke masa lalu yang dinarasikan oleh Paul sebagai tokoh aku. Sebenarnya, flashback ini adalah petunjuk yang diberikan Koch kepada pembaca. Mengapa? Karena, dari flashback itu, terungkaplah sosok Paul dengan segala kehidupannya.

Di sisi lain, Koch berhasil membawakan kesan muram dalam keseluruhan novel ini, terutama saat Paul berceritakan masa lalunya. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan, alurnya bergerak lambat. Penokohannya pun kurang terlalu kuat. Tokoh utama—Paul Lohman—yang menjadi sentral dalam cerita ini malah terlihat sebagai sosok yang bingung dengan karakternya sendiri. Mungkin, Koch ingin menggambarkan Paul sebagai sosok yang terlihat biasa-biasa saja, tetapi memiliki sisi lain dalam kehidupannya. Begitu juga dengan Serge atau Babette sekalipun yang malah mirip cameo di kisah ini. Malah sosok Claire yang karakternya agak lebih kuat dibanding yang lain—termasuk Paul.

Beda dengan kisah-kisah sejenis, The Dinner tidak membuat saya penasaran :D. Mungkin karena jawabannya sudah ketahuan siapa yang membunuh tunawisma di ruang mesin ATM itu. Kisah ini lebih menampilkan bagaimana para tokohnya berdamai dengan kenyataan bahwa anak-anak mereka yang masih ABG terlibat pembunuhan terhadap tunawisma dan pembunuhan lainnya—bukan kisah bagaimana misteri suatu pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya terjadi, seperti Gone Girl atau The Girl on the Train. Di kisah ini, saya tidak lagi menduga-duga siapa yang jahat, tetapi saya berusaha mencoba memahami bagaimana para orang tua mencari solusi yang tepat untuk anak-anaknya yang terlibat tindakan kriminal

Bolehlah saya katakan, di antara kisah-kisah bertema kriminal, saya selalu berharap bahwa kebaikan akan selalu menang walaupun kejahatan seolah-olah mendominasi.

Selamat membaca :)

You Might Also Like

0 komentar