Ketika Kuliah Menghalangi Karier

Februari 03, 2008


Sebuah telepon berdering di pagi menjelang siang. Telepon dari sebuah perusahaan yang meminta saya datang pada pukul 13.00. Pada saat itu, ada sedikit rasa senang dan ada pula rasa kesal. “Mengapa telepon ini baru datang hari ini?” Padahal, dulu-dulu, saya benar-benar menjadi pengangguran yang paling merana mengaharapkan kehadiran telepon ini. Tiba-tiba, telepon pun berdering; meminta saya datang untuk memulai tahap-tahap yang mungkin akan saya lalui.

Dalam memulai tahap, tampaknya acara tunggu-menunggu sudah menjadi hal yang sangat wajar. Katanya yang pukul 1 menjadi lewat hingga pukul 4 karena menunggu. Tapi semua saya jalani dan tabah saja karena ingin memulai jalan baru. Jadi, biar lama saya pun jabanin. Toh, berkorban waktu tak apalah demi cita-cita.

Setelah lama menunggu, dari perut yang mules, mual, hingga mata terasa ngantuk, saya pun dipanggil ke dalam ruang eksekusi. Muncullah berbagai pertanyaan yang mengalir dari berbagai sudut pandang. Mengalir pulalah jawaban yang menurut saya rada-rada aneh dan sekenanya. Karena saya berpikir pada saat itu adalah jadi gak jadi yang penting itu jalan yang terbaik. Gara-gara memulai tahap ini, banyak janji dan rencana yang saya singkirkan, terutama rencana mengambil mata kuliah.

Saya pun berkata jujur bahwa sedang kuliah. Lalu, muncullah keraguan di antara para eksekutor itu. Keraguan itu muncul ketika saya menyebut kata kuliah itu. Sama dengan yang sebelum-sebelumnya, ada keengganan ketika melihat calon pegawai baru itu masih kuliah. Mungkin, ada perusahaan yang langsung bilang “tidak” ketika tahu yang diwawancara itu masih kuliah.
Lalu, begimana nasib mahasiswa-mahasiswa yang freshgraduate dan langsung lanjut kuliah? Apa mereka seharusnya tidak postgraduate dulu sebelum yakin diterima kerja? Sayangnya, panggilan pekerjaan itu kan datang sesuka hatinya. Ketika kita butuh dan menunggu-nunggu panggilan pekerjaan, nggak ada satu pun perusahaan yang manggil. Akhirnya, waktu terbuang percuma. Daripada waktu terbuang percuma, mending diisi aja langsung dengan perkuliahan, mumpung masih ada rezeki dan masih bersemangat belajar. Kadangkala, kalau kita sudah fokus ke karier, biasanya akan males untuk belajar lagi.

Kadang-kadang umur juga menjadi hitungan untuk memilih antara kuliah dan karier. Biasanya, banyak lowongan pekerjaan yang memberikan usia maksimum untuk jabatan tertentu. Jika si freshgraduate ini umurnya 23 tahun ketika lulus dan sempet nganggur setahun untuk mencari masukan, usia 24 masuk kuliah lagi; ada kemungkinan si freshgraduate ini lulus usia 26 tahun. Itu pun kalau benar-benar 2 tahun. Kalau tiba-tiba kuliahnya lebih karena tesis gak lolos-lolos, jelas umurnya bertambah. Apakah ada perusahaan yang akan menerima orang-orang seperti ini? Ditambah lagi, si freshgraduate ini belum punya banyak pengalaman, bahkan belum berpengalaman sama sekali.

Lalu, masalahnya kenapa perusahaan seolah-olah menolak orang yang sedang kuliah postgraduate? Padahal, ada juga kan para pekerja yang juga kuliah. Lalu, kata si eksekutor, “Mereka pasti sudah lama kerjanya.” Ketika mendengar itu, saya hanya mengangguk. Ooh, jadi harus kerja yang lama dulu baru boleh kuliah lagi. Kalau seperti ini, saya rasa nggak akan ada yang menerima rekor MURI sebagai postgraduate termuda. Dan, nggak ada freshgraduate yang akan langsung ngambil postgraduate, kecuali orang tuanya kaya raya dan siap menampung si freshgraduate di kantornya.

*Foto dari sini.

You Might Also Like

3 komentar

  1. makanya karier-karier aja, kuliah-kuliah aja. cuma kuliah aja lo dah lupa silaturahmi, pegimane kalo nyambi kerja. Itu tandanya Allah ngasi lo kesmepatan buat merekatkan silaturahmi lur. begitcu deh...

    BalasHapus
  2. Kadangkala, Allah emang nunjukin jalan yang terbae buat para hamba-Nya yang beriman. Yah, kalo emang udah jalannya biasanya emang dilurusin walau kita bete dengan segala hal. Tapi, semuanya patut disyukuri kan yaaaa karena doa pun akhirnya terkabul...

    BalasHapus