Melancong bareng Abah Alwi: Menelusuri Jejak Arab di Jakarta

Februari 29, 2012

Saya kelimpungan gara-gara desperate mencari teman seperjalanan untuk sebuah acara tur. Acaranya enggak gede-gede amat dan enggak butuh keberanian yang gede-gede amat juga, secara yang saya ikuti adalah tur yang pasti semua kebutuhan sudah terjamin oleh panitia. Yang perlu saya lakukan adalah duduk dan foto-foto objek yang memang perlu difoto. Enggak berat, kan, dibanding jalan sendiri? Tapi, bagi saya tetep berat karena takut cengo kalau sendirian.


Tur yang saya ikuti adalah Melancong bareng Abah Alwi: Menelusuri Jejak Bangsa Arab. Yang ngadain acara tur ini adalah surat kabar Republika dan biayanya sekitar 350ribuan. Dulu sih saya tahu ada acara beginian karena saya juga tahu bahwa Abah Alwi memang penulis tetap soal-soal sejarah Jakarta di Republika. Namun, baru kali ini saya bisa ikutan bergabung dengan tur ini setelah beberapa tahun lewat, Basi banget sebenarnya hahaha.

Nah, mencari teman seperjalanan rada-rada ribet. Saya harus meneror satu per satu teman saya untuk bisa dijadikan partner in crime dalam tur ini. Nyatanya, dari sekian orang yang saya pikir tertarik untuk ikut beginian, hanya satu yang mau terjebak bersama saya. Itu pun setelah saya membuat status menyedihkan di twitter. Yang terjebak itu baru nyahut keesokan harinya saat-saat genting mau bayar tur dan kehabisan tempat. Itu pun perlu negosiasi yang lama lewat pesan singkat sama teman saya ini. Akhirnya, teman saya ini mau deh ikutan setelah saya paksa-paksa *devil smile*.

Melancong bareng Abah Alwi pun dimulai *joget-joget*.

Pukul 07.30, para peserta sudah dikumpulkan untuk briefing. Saya--seperti biasa--dateng telat dong. Teman saya malah sudah ngeteh-ngeteh, makan-makan, dan sudah ganti kaus dengan gambar kartun Abah Alwi. Saat buru-buru, eh dipanggil dengan Pak Satpam di sana--teman saya nongkrong dulu kalau nunggu jemputan. Ngobrol sebentar, eh di sebelahnya ada bos saya juga. Akhirnya, kami ngobrol-ngobrol dong soal kenapa, apa, di mana, dan bagaimana. Selesai ngobrol, saya segera minta jatah ke panitia: kaus, tas selempang, dan buku tur. Tak disangka, yang menjadi pendamping Abah adalah senior saya di kampus, yang turnya pernah saya ikuti. Yaaaaaah, elo lagi elo lagi :)).

Persinggahan pertama di acara melancong ini adalah Museum Fatahillah. Dulu, saya pernah ke museum ini, tapi lama banget dan saya juga lupa dalamnya seperti apa. Ketika masuk lagi, ternyata begini lho dalamnya :D. Tentu ada peninggalan kuno yang patut dilihat, mulai kursi-kursi dan ukiran-ukiran barang yang dipakai pada abad XVII. Yang paling saya ingat adalah Meriam Sijagur.


Benda apakah ini? Meriam Sijagur ini bisa dibilang benda keramat karena ada mitos yang menghinggapi meriam ini hingga dia begitu istimewa. Dulu, sebelum dipindah ke Museum Fatahillah, meriam ini diletakkan di Museum Gajah. Saat itu, benda yang emang bentuknya agak aneh ini disembah-sembah alias dijadikan tempat semedi buat orang-orang yang mau punya anak.

Kisah aslinya adalah meriam ini dibawa oleh Belanda dari Malaka setelah direbut dari tangan Portugis. Di meriam ini ada tulisan ex me ipsa renata sum (saya lahir dari diri sendiri). Kemungkinan meriam ini dibuat oleh MT Bocarro di Macao (Cina) untuk benteng Portugis di Malaka.

Setelah dari Museum Fatahillah, tur pun berlanjut ke daerah Pekojan--tempat para Arab tinggal pada masa dulu.


Daerah Pekojan ini ada di pinggir kali muara angke. Dulu, orang Arab di sini masih banyak dan hampir menguasai daerah ini. Konon, tiap kali ada orang Arab yang turun dari kapal pasti dibawa ke Pekojan, entah ada keluarganya atau tidak. Kebanyakan di daerah ini para penduduknya menjual kambing, tetapi sekarang jumlah mereka sudah sedikit dibanding dulu karena pindah ke daerah lain. Rumahnya pun cenderung memanjang ke belakang.


Di daerah ini ada mushala dan masjid bersejarah, yaitu Langgar Tinggi dan Masjid Jami Annawir. Dua-duanya adalah tempat ibadah cagar budaya dan menjadi tempat perjuangan ketika melawan penjajahan Belanda. Sayangnya, banyak bagian masjid yang tidak terawat, terutama Masjid Annawir yang kotor dan kondisinya menyedihkan. Padahal, masjid itu dibangun oleh saudagar Arab kaya pada masa itu dan diarsiteki oleh orang Prancis yang juga mengarsiteki Istana Bogor.

Setelah capek keliling-keliling, para peserta tur diajak mencicipi nasi kebuli daerah Pekojan beserta lauk-pauk yang berbau daging semua. Baru kali itu saya makan nasi kebuli pake kismis di dalamnya. Rasanya nikmat sekalee. Teman-teman media bahkan ada yang nambah. Kenyang banget deh.

Setelah dari sana, perjalanan pun berlanjut ke daerah Kampung Bandan. Kami mengunjungi Masjid Al-Mukaromah atau Masjid Kramat Kampung Bandan karena di sini ada beberapa orang suci setingkat wali yang dimakamkan di sini. Jadi, banyak peziarah dari mana-mana yang datang ke sini.

Kondisi Masjid Al-Mukaromah ini lebih terawat dibanding masjid-masjid sebelumnya. Lebih bersih walau boleh dibilang sederhana. Pengurus masjid menyediakan karpet untuk kami sambil mendengarkan kisahnya tentang orang Arab di Kampung Bandan. Konon, masjid ini adalah satu dari masjid perjuangan melawan penjajahan juga. Bangsa Arabnya juga memiliki hubungan dengan bangsa Arab di Hadramaut karena pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Bahkan, ada beberapa pohon dari tanah Arab yang tumbuh subur di sini, seperti kurma dan buah tin. Bahkan di antara tujuh sumur yang dimiliki oleh masjid ini, ada satu yang airnya tawar. Maka itu, masjid ini dinamai Mukaromah karena selalu diberkati oleh Allah.


Selesai di sini, jalan-jalan pun berlanjut menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Di sini, para peserta tur foto bareng dengan latar belakang kapal-kapal dan cuaca yang mendung. Ini dia ajang untuk narsis buat dipajang di facebook. Tadinya saya rada males juga jadi objek foto, secara iri berat sama fotografer yang kameranya cakep banget. Lagian saya belum ada dokumentasi resmi bareng partner in crime saya kali ini. Jadilah saya ikutan foto bareng partner in crime walau kaus rasanya udah rada-rada bau dan muka udah lecek. Hahaha.

Abis narsis, kami segera ke Museum Bahari yang dulunya gudang rempah-rempah zaman Belanda.

Tiang di gudang itu sebagian besar adalah kayu jati besar dan dibangun pada masa Belanda. Sampai sekarang, kayu itu tetap kokoh dan besar-besar.


Di museum ini, saya ingat lokasi syuting Si Manis Jembatan Ancol yang bintangnya masih Diah Permatasari. Tempatnya klasik banget buat foto, apalagi buat prewed.

Destinasi selanjutnya adalah Menara Syahbandar.


Sebenarnya, ini menara biasa aja karena dipakai buat para syahbandar yang mau ngeliat kapal masuk. Tapi, yang menarik adalah nilai sejarahnya dan capeknya untuk bisa sampai puncak sana. Pas di atas, napas udah ngos-ngosan :)) *becanda lho*.

Boleh dikata, Menara Syahbandar ini saingannya Menara Pisa. Mengapa? Sama-sama miring. Konon, kemiringan Menara Syahbandar disebabkan oleh banyaknya truk kontainer yang lewat. Saking beratnya truk itu, fondasi menara jadi ikutan miring. Tapi, selama saya naik, kemiringannya enggak terasa. Pas turun, baru deh kayak orang mau terjun ke depan. Hihihi.

Actually, those are beautiful moments of course, like other days. That's why we always plan the journey :D.

NB. those pictures are my copyright. Don't use it without permission *devil face*.

You Might Also Like

1 komentar