Mahabarata (Asmara Raja Dewa): Adaptasi Kisah Mahabarata di Tanah Jawa
November 19, 2018
Sudah lama sekali saya
tidak nonton teater. Sudah lama sekali enggak singgah di Gedung Kesenian Jakarta
atau Graha Bhakti Budaya. Sudah lama sekali enggak mampir makan di
warung-warung tenda setelah nonton teater. Terakhir kali, mungkin sekitar tahun
2012 saat nonton Teater Koma dengan lakon Sie Jin Kwie. Itu yang berhasil saya
rekam di sini.
Seperti sebelumnya, ada seorang teman memposting produksi terbaru Teater
Koma yang membuat saya segera meluncur ke laman Teater Koma. Nyatanya, memang
ada produksi baru berjudul Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Sebuah produksi yang
lumayan cepat penggarapannya setelah Gemintang tampil sekitar Juni—Juli 2018. Saya
pikir akan butuh berbulan-bulan atau mungkin setahun untuk memproduksi satu pentas
yang aduhai.
Untuk membeli tiket pertunjukan, silakan kunjungi laman teaterkoma.org.
Di sana, ada pembelian hari dan tanggal berapa kita mau nonton serta denah
kursi yang masih tersedia. Biasanya, saya nonton teater pada malam hari, entah
akhir pekan atau setelah jam kerja. Nah, karena enggak mau pulang malem-malem
dan karena enggak mau dikunciin orang rumah, saya pilih pertunjukan pada siang
hari pas akhir pekan. Di bayangan saya, pasti rame banget—secara dulu juga rame
banget peminatnya sampai tiket terjual semua. Untuk Mahabarata, ramenya tetep
terasa, tapi tiket masuk masih bisa dibeli di tempat.
Mahabarata: Asmara Raja Dewa merupakan produksi ke-154 Teater Koma.
Kisahnya mengadaptasi lakon lama dari karya yang pernah diterjemahkan pada
zaman Mpu Sendok sehingga muncul tokoh-tokoh lokal yang tidak ada pada kisah
yang asli, seperti Togog dan Semar.
Kisahnya bermula dari kekosongan yang ditampilkan oleh nyanyian.
Kemudian, seperti sebelumnya, muncul dalang yang menghubungkan kisah-kisah dari
yang dilakonkan. Dari kekosongan itu, diciptakan tiga dunia, yaitu mayapada (dunia
kekal atau dunia atas) yang dihuni oleh dewa dan dewi, bidadari, serta apsara
dan apsari; madyapada atau dunia gelap yang dihuni oleh setan, demit, jin,
makhluk halus, dan peri; serta marcapada atau dunia bawah atau dunia wayang
yang dihuni leh wayang, denawa, raksasa, dan margasatwa. Ketiga dunia itu
disebut tribuana.
Wenang memberikan kekuasaan kepada Hyang Tunggal untuk memerintah tirbuana
yang menimbulkan kemarahan Idajil yang berasal dari api dan cahaya. Terjadilah
perang dahsyat. Idajil kalah dan dibelenggu. Setelah itu, Hyang Tunggal
dinikahkan oleh Dewi Rekatawati yang melahirkan telur. Dari telur ini,
muncullah empat dewa yang langsung dewasa, yaitu Antaga, Ismaya, Manikmaya, dan
Manan yang suka tertawa. Mereka berempat berkelahi dan memperdebatkan siapa
yang paling tua gegara hasutan ayam raksasa. Akibat perkelahian itu, Antaga
berubah menjadi Togog, Ismaya berubah menjadi Semar, Manan berubah menjadi
Narada, dan Manikmaya diangkat menjadi raja tribuana dan bergelar Batara Guru.
Batara Guru kemudian menikah dengan Umiya yang dikaruniai Ganisya. Di
sisi lain, ketika sedang berduaan dengan
Umiya, Batara Guru tak kuasa menahan nafsunya. Terjadi perkelahian antara mereka
berdua hingga muncul taring di mulut Batara Guru dan Umiya berubah menjadi
raksasa. Kemudian, Hyang Tunggal meramalkan bahwa Batara Guru akan menikah
dengan seorang putri yang akan menjadi permaisurinya. Bertemulah Batara Guru
dengan Umarakti. Dengan hadirnya Umarakti, terjadilah pertukaran roh antara Umiya
dan Umarakti. Tentunya, Umarakti begitu sakit hati dengan perpindahan tersebut,
tetapi ia mendapatkan fasilitas terbaik yang diberikan oleh Batara Guru.
Peristiwa lainnya, muncul kegaduhan di lautan. Ada raksasa yang tak puas
dengan melahap berbagai jenis ikan di kedalaman samudra. Tak disangka, raksasa itu
adalah keturunan dari Batara Guru yang lahir bukan pada tempatnya, yaitu ketika
ia memaksa Umiya memenuhi nafsunya. Raksasa itulah yang diberi nama menjadi
Batara Kala yang kemudian dinikahkan dengan Umarakti yang juga berwujud
raksasa.
Inilah ringkasan yang dapat saya cerna dari lakon Mahabarata persembahan
Teater Koma. Kisah yang menarik dan pertunjukan yang megah. Baru kali ini saya
melihat pertunjukan drama yang melibatkan teknologi multimedia dalam
pertunjukan langsung. Properti yang digunakan juga membuat saya takjub. Betapa
kreatifnya orang-orang untuk membuat mamot yang tinggi di atas panggung. Betapa
kerennya melihat Andini—si lembu yang menjadi tunggangan Batara Guru—bisa dikendarai
layaknya sebuah motor. Belum lagi kostum yang digunakan para tokoh yang membuat
saya berdecak kagum. Penampilan yang total sekali.
Dari cerita, tentunya pengetahuan saya bertambah. Mahabarata yang saya
tahu hanya seputar Pandawa dan Kurawa ternyata juga ada kisah lain yang mungkin
tidak sepopuler Pandawa dan Kurawa. Kisah ini boleh dibilang ada sebelum
Pandawa dan Kurawa karena awal lakon bermula dari kekosongan dan konflik yang
terjadi di dunia langit sana. Mungkin, suatu saat nanti, Teater Koma akan menampilkan
kisah-kisah Mahabarata lainnya, termasuk yang cukup dikenal masyarakat, yaitu
Pandawa dan Kurawa. Mudah-mudahan *berdoa.
Pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa dipentaskan mulai 16 hingga 25
November 2018 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Sampai tulisan ini
dipublikasikan, pementasan masih berlangsung. Untuk pemesanan tiket secara
online, bisa langsung meluncur di laman Teater Koma atau mungkin dapat beli
langsung di sana. Untuk amannya sih, beli online aja biar jelas tempat duduknya
dan gak dapat kursi sisa.
Selamat menonton 😊.
0 komentar